Alam Semesta
MEMAHAMI ALAM SEMESTA
“Agama Masa Depan adalah Agama Kosmik (berkenaan
dengan Alam Semesta atau Jagad Raya). Melampaui Tuhan sebagai suatu pribadi
serta menghindari Dogma dan Teologi (ilmu ketuhanan). Meliputi yang Alamiah
maupun yang Spiritual, Agama yang seharusnya berdasarkan pada Pengertian yang
timbul dari Pengalaman akan segala sesuatu yang Alamiah dan Perkembangan
batiniah, berupa kesatuan yang penuh arti. Buddhism sesuai dengan Pemaparan ini.
Jika ada agama yang sejalan dengan kebutuhan Ilmu Pengetahuan Modern, maka itu adalah
Ajaran Buddha.”
Ajaran Buddha.”
(Albert Einstein).
“Namo Tassa Bhagavato Arahato Sammāsambuddhassa”
Sotthi Hontu,
Saudara-saudara
yang berbahagia, kita akan membahas mengenai alam semesta tempat kita
hidup ini. Setiap agama yang telah lahir dan diciptakan sendiri oleh manusia
serta dijaga, dipelihara dan disebarkan, mempunyai mitos dan konsep yang
mencoba menerangkan asal dan segi-segi alami dari alam semesta.
Suatu
agama yang tumbuh di Mesir-Kuno mengajarkan bahwa sesosok Dewa yang bernama
“Khnumm” menciptakan alam-semesta beserta isinya ini kemudian membuat manusia
dari tanah liat, lalu Dewi Hathor meniupkan kehidupan pada manusia
tanah liat tersebut.
Konsep
Mesir-Kuno ini nampaknya serupa dengan konsep dalam agama Islam, mengenai
penciptaan alam semesta, yang menyatakan bahwa Allah menciptakan alam semesta
dan lalu menciptakan manusia dari tanah liat, kemudian Allah meniupkan “ruh”
kehidupan pada mereka.
Kemudian,
sebuah agama yang berkembang di Yunani-Kuno mengajarkan konsep bahwa segala
sesuatu dibuat oleh Oceanus, air yang pertama.
Yahudi-Kuno
serta kaum Kristen memiliki dua legenda penciptaan, keduanya tercatat dalam
Alkitab. Legenda penciptaan yang pertama menyatakan, Allah menciptakan alam
semesta serta terang dan gelap pada hari pertama, air dan daratan kering pada
hari kedua, semua tumbuhan pada hari ketiga, matahari dan bulan serta
bintang-bintang pada hari keempat, semua burung dan hewan pada hari kelima,
lalu laki-laki dan wanita pertama ( Adam dan Hawa ) pada hari keenam.
Legenda
yang kedua menyatakan bahwa Tuhan membuat bumi, lalu laki-laki pertama, lalu
tumbuh-tumbuhan dan binatang, lalu terakhir seorang wanita.
Bangsa
Cina-Kuno juga mempunyai suatu tradisi kepercayaan, yang mempercayai sesosok
Dewa bernama “ P’an Ku “ memahat alam semesta yang sebelumnya “berantakan”.
Setelah P’an Ku itu mati, tulangnya kemudian berubah menjadi bukit, dagingnya
menjadi tanah, giginya menjadi kandungan logam, dan seterusnya, keseluruhan
kejadian itu berjalan selama 18.000 tahun.
Umur Dan Luas Alam
Semesta Menurut Agama-Agama
Setiap
agama tersebut mempunyai konsep sendiri-sendiri mengenai umur dan luas alam
semesta, yang kebanyakan masih dalam jangkauan pikir/logika manusia.
Alkitab,
mengajukan konsep bahwa alam semesta berumur beberapa ribu tahun saja (
terhitung sejak masa penciptaannya ). Al-Quran, sepertinya tidak jauh berbeda
dengan konsepsi Alkitab dalam hal usia alam semesta, terlihat mengenai kesamaan
pengakuan laki-laki dan perempuan pertama ( Adam & Hawa ), yang jika
ditelusur usianya berkisar beberapa ribu tahun yang lalu. Hal-hal lain mengenai
alam semesta Al-Quran juga terlihat senada. dengan Alkitab.
Alam Semesta Menurut
Ilmu Pengetahuan Dan Para Ilmuwan
Setelah
melalui perjalanan sejarahnya, sampailah manusia pada peradaban mutakhirnya,
yaitu berakhirnya masa kegelapan, berganti jaman “Pencerahan”, jaman dimana
Ilmu Pengetahuan dan Teknologi berkembang. Mitos dan legenda mulai
dipertanyakan kebenarannya.
Perkembangan
dari Ilmu Fisika modern saat ini telah sampai pada kesimpulan bahwa ALAM
SEMESTA TIDAK BERAWAL SECARA SERENTAK. Alam semesta secara berkesinambungan
berubah dari suatu keadaan ke keadaan yang lain, terbentuk dan hancur, SUATU
PROSES TANPA AWAL DAN AKHIR.
Dengan
sendirinya, bila dinyatakan, bahwa bila alam semesta berawal secara serentak,
maka diperlukan energi awal yang terjadi dari sesuatu yang tidak ada, dan hal
ini jelas bertentangan dengan kaidah ilmu pengetahuan.
Alam Semesta Menurut
Sang Buddha
Menurut
Sang Buddha Gotama, pengenal segenap alam semesta (Lokavidu), alam
semesta ini – yang berliau sebut sebagai Samsara – adalah TANPA AWAL. Sang
Bhagava Guru, Sang Sugatha, bersabda, “Tak dapat ditentukan awal dari
alam semesta. Titik terjauh dari kehidupan, berpindah dari kelahiran ke
kelahiran, terikat oleh ketidak-tahuan dan keinginan, tidaklah dapat
diketahui.”
Para
ilmuwan dewasa ini meyakini (setelah melalui riset yang panjang, lama,
memakan puluhan tahun), bahwa alam semesta ini adalah suatu
sistem yang “berdenyut”, yang setelah mengembang secara maksimal, lalu
menciut dengan segala energi yang ditekan pada suatu bentukan massa; sedemikian
besar sehingga menyebabkan ledakan yang dikenal sebagai “BIG BANG”, yang
berakibat pelepasan energi. Pengembangan dan penciutan alam semesta berlangsung
dalam kurun waktu milyaran tahun. Sang Buddha telah memaklumi pengembangan dan
penciutan alam semesta seperti hasil penelitian ilmiah para ilmuwan, Beliau
bersabda, “Akan tiba saatnya, cepat atau lambat, sesudah masa
waktu yang sangat panjang sekali alam semesta MENCIUT…dan cepat atau lambat,
sesudah masa yang lama sekali, alam semesta ini MULAI MENGEMBANG”.
Penemuan
teknologi, terutama yaitu teleskop konvensional dan teleskop radio yang
ditemukan belakangan, telah memungkinkan para ahli astronomi untuk mengetahui
tidak saja asal dan sifat alami dari alam semesta, tetapi juga susunannya.
Sekarang
ini diketahui, bahwa alam semesta terdiri dari sekian milyar bintang, planet, asteroid,
dan komet. Semua benda langit tersebut berkelompok dalam bentuk cakram atau
spiral yang disebut galaksi. Planet bumi kita hanya satu titik kecil yang
terdapat pada suatu galaksi yang diberi nama Bimasakti (Inggris:
Milky Way).
Bima
Sakti atau Milky Way terdiri
atas kurang lebih 100 milyar bintang dengan jarak dari ujung ke ujung 60.000
tahun cahaya. Telah diketahui pula bahwa galaksi-galaksi di alam semesta
ini tersusun berkelompok. Kelompok galaksi dimana Bimasakti kita
berada terdiri dari dua lusin galaksi; kelompok lain, kelompok Virgo misalnya
terdiri dari ribuan galaksi.
Sejalan
dengan penemuan para ilmuwan tersebut, yang menyatakan bahwa terdapat tata
surya, galaksi, dan kelompok galaksi, yang itupun baru saja diketahui di dunia
barat setelah penemuan tekhnolgi canggih, ternyata Sang Buddha Gotama pun
telah mengetahui hal yang sama tersebut sejak lebih dari 2500
tahun yang lalu.
Sang
Buddha Gotama sejak lebih dari 2500 tahun yang lalu telah
menggambarkan galaksi sebagai berbentuk spiral. Istilah galaksi ini didalam
bahasa Pali adalah “CAKKAVALA”, yang berasal dari kata “CAKKA” yang
berarti “ CAKRAM/RODA”.
Sang
Buddha Gotama secara sangat jelas dan tepat menggambarkan kelompok-kelompok
galaksi, yang oleh para ilmuwan baru ditemukan. Sistem dunia ini,
oleh Sang Buddha disebut sebagai “Loka Dhatu” dan menambahkan
perbedaan dalam ukurannya; sistem dunia ribuan-lipat, sistem dunia puluhan-ribu
lipat, sistem dunia besar, dan seterusnya, dan seterusnya. Beliau menyebutkan
sistem dunia terdiri (sesuai dengan yang ditemukan oleh para ilmuwan
sekarang) , yakni: M I L Y A R A N , T R I L Y U N A N matahari dan
planet. Berikut adalah penggalan Sabda Sang Buddha mengenai hal itu:
“Ananda,
apakah kau pernah mendengar tentang seribu Culanika loka dhatu ( tata surya
kecil )? … Ananda, sejauh matahari dan bulan berrotasi pada garis
orbitnya, dan sejauh pancaran sinar matahari dan bulan di angkasa, sejauh
itulah luas seribu tata surya.
Didalam
seribu tata sruya terdapat seribu matahari, seribu bulan, seribu Sineru, seribu
Jambudipa (Jambudipa = India, Jawadipa = Nusantara / Indonesia), seribu
Aparayojana, seribu Uttarakuru, seribu Pubbavidehana… Inilah,Ananda, yang
dinamakan SERIBU TATA SURYA KECIL. (SAHASSI CULANIKA LOKADHATU)”.
Ananda,
seribu kali Sahassa Culanika Lokadhatu dinamakan “DVISAHASSA MAJJHIMANIKA
LOKADHATU”. Ananda, seribu kali Dvisahassa Majjhimanika Lokadhatu dinamakan
“TISAHASSI MAHASAHASSI LOKADHATU”.
Ananda,
bilamana Sang Tathagata (sebutan lain bagi Sang Buddha Gotama) mau, maka ia
dapat memperdengarkan suara-Nya sampai terdengar di Tisahassi Mahasahassi
Lokadhatu, ataupun melebihinya lagi.”
Sesuai
dengan kutipan diatas, didalam sebuah Dvisahassi Majjhimanika lokadhatu terdapat
1.000 X 1.000 = 1.000.000 tata surya. Sedangkan dalam Tisahassi
Mahasahassi Lokadhatu terdapat 1.000.000 X 1.000 = 1.000.000.000 tata
surya. Alam semesta bukan hanya terbatas pada satu milyar tata surya saja,
tetapi masih melampauinya.
Dahulu,
dalam waktu yang sangat lama, manusia tidak dapat membayangkan luas alam-semesta
baik dalam satuan waktu maupun ruang untuk dapat memahami asal dan luas
alam-semesta. Pemikiran saat itu terbatas serta terikat ke pemahaman dunia
semata.
Didalam
Alkitab misalnya, dipahami bahwa seluruh alam semesta diciptakan dalam enam
hari dan bila ditelusur secara kronologis-historis, kejadian penciptaan yang
diceritakan itu barulah terjadi beberapa ribu tahun yang lalu. Demikian pula
jika kita mengacu Al Quran tidak akan jauh berbeda, karena kisah yang
diceritakan juga serupa, termasuk mengenai manusia yang petama kali ada, Adam
dan Hawa.
Sekarang
ini, para ahli astronomi menghitung bintang dalam satuan ribuan milyar dan
mengukur jarak alam semesta dalam satuan tahun cahaya; satu tahun cahaya adalah
jarak yang dapat ditempuh oleh cahaya dalam waktu satu tahun. Manusia jaman
dulu jelas tidak dapat membayangkan dimensi seperti itu. Akan tetapi, Sang
Buddha Gotama adalah pengecualian.
Dengan
kebijaksanaan-Nya yang tak terbatas, Sang Buddha Gotama dapat memahami dari
konsep alam semesta yang tak terbatas. Beliau menyebut adanya “ daerah
gelap, hitam, kelam, diantara sistem-sistem dunia, sedemikian rupa sehingga
cahaya matahari dan bulan sekalipun tak dapat mencapainya… .”
Waktu
yang diperlukan untuk terbentuk dan hancurnya suatu sistem dunia sangatlah
panjang; diperlukan sangat banyak kappa (sebagai satuan
waktu) untuk itu. Sewaktu Sang Buddha ditanya tentang panjang kurun
waktu satu kappa, Beliau menjawab:
“
Sangat panjang kurun waktu satu kappa. Tak dapat diperhitungkan dengan tahun,
abad ataupun ribuan abad.”
“
Bila demikian, Guru, dapatkah dengan menggunakan perumpamaan?”
“Dapat,
Bayangkan bongkahan batu besar, tanpa retak, tanpa celah, padat,
berukuran panjang 1 mil, lebar 1 mil dan tingginya juga 1 mil. Lalu bayangkan
setiap seratus tahun ada orang datang menggosoknya dengan sepotong sutra Benares.
Maka, akan lebih cepat batu itu habis tergosok daripada suatu masa
kappa berlalu. Pula ketahuilah, lebih dari satu, lebih dari ribuan, lebih dari
ratusan ribu kappa, sebenarnya telah berlalu”.
Dari
situ terlihat, betapa Sang Buddha menggunakan perumpamaan seperti diuraikan
diatas untuk memberi gambaran tentang “jarak ruang dalam satuan waktu”;
sama halnya para ahli astronomi saat ini menggambarkan “jarak-jarak di
angkasa luar dengan menggunakan satuan tahun cahaya.”
Memahami Alam Semesta
Dan Awal Penciptaan Tidak Mengantar Pada Pembebasan
Sang
Buddha membahas tentang asal dan perluasan alam semesta hanya sepintas lalu.
Sebab, Beliau tidak menganggap, bahwa pengetahuan tentang asal
muasal terciptanya alam semesta, perluasan, hancurnya alam semesta, adalah
lebih penting dari masalah mendasar umat manusia, yakni Dukkha.
Sang
Buddha menganggap bahwa pengetahuan mengenai “Jalan-Pencerahan” untuk
membebaskan umat manusia dari penderitaan dunia adalah jauh lebih penting
ketimbang pengetahuan tentang usia alam semesta, asal-usul alam semesta, dan
lain-lain.
Mengakhiri
penderitaan, dan mencapai kebahagiaan sejati, diatas kesenangan inderawi,
kebahagiaan yang diinginkan, membahagiakan, dan abadi, adalah yang terutama.
Itu adalah Nibbana (Pali) atau Nirvana (Sanskerta).
Ketika
seseorang mendesak Sang Buddha untuk menjawab pertanyaan tentang luasnya alam
semesta, dan penciptaan alam semesta, maka Sang Buddha membuat perumpamaan, “orang
tersebut bagaikan seseorang yang terkena panah beracun, yang memberinya
sakit-derita yang hebat, yang akan membawanya ke kematian, namun menolak
diobati dan dicabut anak panah yang menancap tersebut, sebelum orang tersebut
mengetahui dengan jelas siapakah yang melepaskan anak panah beracun tersebut”. Sang
Buddha, kemudian bersabda:
“Menjalani
hidup yang suci tak dikatakan tergantung apakah alam semesta ini berbatas atau
tidak, atau keduanya, atau tidak keduanya. Sebab apakah alam semesta ini,
berbatas atau tidak, tetaplah ada kelahiran, tetap ada usia lanjut, tetap ada
kematian, kesedihan, penyesalan, penderitaan, keperihan dan keputus-asaan; dan
untuk mengatasi semua itulah semua yang Saya ajarkan”.
Jadi,
dengan hanya berbekal pengetahuan tentang bagaimana alam semesta ini terjadi,
kita tidak akan dapat mengatasi penderitaan, juga tidak akan dapat
mengembangkan kemurahan hati, kebajikan dan cinta kasih. Bagi Sang Buddha,
pertanyaan mengenai hal-hal ini (mengembangkan kemurahan hati,
kebajikan, cinta kasih, dan lain-lain tentang Sang Jalan), adalah jauh
lebih penting daripada “berdiskusi” tentang asal-mula alam semesta.
Namun,
meskipun demikian, ajaran Sang Buddha tentang alam-semesta yang ternyata sangat
tepat dan sangat “maju” (bila dibandingkan dengan kenyataan bahwa
ajaran itu diucapkan lebih dari 2500 tahun yang lalu, dan sekarang
ini ilmuwan membuktikan kebenarannya), membuat kita bertanya, “Bagaimana
mungkin Beliau bisa mengetahui hal itu semua? “Bagaimana mungkin seseorang
mengetahui tentang berkelompoknya Bima Sakti dan bahwa Bima Sakti itu berbentuk
spiral, jauh sebelum penemuan teleskop dan tekhnologi canggih lainnya?
Bagaimana, Beliau (sang Buddha), yang hidup di jaman lampau demikian
menghayati ke-tak-terbatasan ruang dan waktu?”.
Jawaban
satu-satunya ialah karena, Beliau, sebagai yang disebut oleh Beliau sendiri,
adalah Buddha, yang telah “Tercerahkan-Buddhi-Nya”, yang telah
mencapai Pencerahan Sempurna (Enlightenment). Batin-Nya
demikian sempurna, bebas dari prasangka dan kekhayalan yang biasanya
menyelimuti batin seorang manusia bagaikan kabut pekat. Pengetahuan-Nya telah
berkembang diluar kemampuan manusia biasa. Sang Buddha menyatakan diri-Nya
sebagai “Pengenal Alam-Semesta” (Lokavidu), dan
pernyataan Beliau memang terbukti, benar adanya.
(Pustaka: “Dasar Pandangan Agama Buddha”,
Ven.S.Dhammika.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar