Jumat, 21 Juni 2013

Pandangan Buddhisme Tentang Alam Semesta (kosmologi Buddhism)


Alam Semesta
MEMAHAMI ALAM SEMESTA

“Agama Masa Depan adalah Agama Kosmik (berkenaan dengan Alam Semesta atau Jagad Raya). Melampaui Tuhan sebagai suatu pribadi serta menghindari Dogma dan Teologi (ilmu ketuhanan). Meliputi yang Alamiah maupun yang Spiritual, Agama yang seharusnya berdasarkan pada Pengertian yang timbul dari Pengalaman akan segala sesuatu yang Alamiah dan Perkembangan batiniah, berupa kesatuan yang penuh arti. Buddhism sesuai dengan Pemaparan ini. Jika ada agama yang sejalan dengan kebutuhan Ilmu Pengetahuan Modern, maka itu adalah
Ajaran Buddha.” 
(Albert Einstein).


“Namo Tassa Bhagavato Arahato Sammāsambuddhassa”

Sotthi Hontu,
Saudara-saudara yang berbahagia, kita akan membahas mengenai alam semesta tempat kita hidup ini. Setiap agama yang telah lahir dan diciptakan sendiri oleh manusia serta dijaga, dipelihara dan disebarkan, mempunyai mitos dan konsep yang mencoba menerangkan asal dan segi-segi alami dari alam semesta.

Suatu agama yang tumbuh di Mesir-Kuno mengajarkan bahwa sesosok Dewa yang bernama “Khnumm” menciptakan alam-semesta beserta isinya ini kemudian membuat manusia dari tanah liat, lalu Dewi Hathor meniupkan kehidupan pada manusia tanah liat tersebut.

Konsep Mesir-Kuno ini nampaknya serupa dengan konsep dalam agama Islam, mengenai penciptaan alam semesta, yang menyatakan bahwa Allah menciptakan alam semesta dan lalu menciptakan manusia dari tanah liat, kemudian Allah meniupkan “ruh” kehidupan pada mereka.
Kemudian, sebuah agama yang berkembang di Yunani-Kuno mengajarkan konsep bahwa segala sesuatu dibuat oleh Oceanus, air yang pertama.
Yahudi-Kuno serta kaum Kristen memiliki dua legenda penciptaan, keduanya tercatat dalam Alkitab. Legenda penciptaan yang pertama menyatakan, Allah menciptakan alam semesta serta terang dan gelap pada hari pertama, air dan daratan kering pada hari kedua, semua tumbuhan pada hari ketiga, matahari dan bulan serta bintang-bintang pada hari keempat, semua burung dan hewan pada hari kelima, lalu laki-laki dan wanita pertama ( Adam dan Hawa ) pada hari keenam.
Legenda yang kedua menyatakan bahwa Tuhan membuat bumi, lalu laki-laki pertama, lalu tumbuh-tumbuhan dan binatang, lalu terakhir seorang wanita.
Bangsa Cina-Kuno juga mempunyai suatu tradisi kepercayaan, yang mempercayai sesosok Dewa bernama “ P’an Ku “ memahat alam semesta yang sebelumnya “berantakan”. Setelah P’an Ku itu mati, tulangnya kemudian berubah menjadi bukit, dagingnya menjadi tanah, giginya menjadi kandungan logam, dan seterusnya, keseluruhan kejadian itu berjalan selama 18.000 tahun.

Umur Dan Luas Alam Semesta Menurut Agama-Agama

Setiap agama tersebut mempunyai konsep sendiri-sendiri mengenai umur dan luas alam semesta, yang kebanyakan masih dalam jangkauan pikir/logika manusia.
Alkitab, mengajukan konsep bahwa alam semesta berumur beberapa ribu tahun saja ( terhitung sejak masa penciptaannya ). Al-Quran, sepertinya tidak jauh berbeda dengan konsepsi Alkitab dalam hal usia alam semesta, terlihat mengenai kesamaan pengakuan laki-laki dan perempuan pertama ( Adam & Hawa ), yang jika ditelusur usianya berkisar beberapa ribu tahun yang lalu. Hal-hal lain mengenai alam semesta Al-Quran juga terlihat senada. dengan Alkitab.

Alam Semesta Menurut Ilmu Pengetahuan Dan Para Ilmuwan

Setelah melalui perjalanan sejarahnya, sampailah manusia pada peradaban mutakhirnya, yaitu berakhirnya masa kegelapan, berganti jaman “Pencerahan”, jaman dimana Ilmu Pengetahuan dan Teknologi berkembang. Mitos dan legenda mulai dipertanyakan kebenarannya.
Perkembangan dari Ilmu Fisika modern saat ini telah sampai pada kesimpulan bahwa ALAM SEMESTA TIDAK BERAWAL SECARA SERENTAK. Alam semesta secara berkesinambungan berubah dari suatu keadaan ke keadaan yang lain, terbentuk dan hancur, SUATU PROSES TANPA AWAL DAN AKHIR.
Dengan sendirinya, bila dinyatakan, bahwa bila alam semesta berawal secara serentak, maka diperlukan energi awal yang terjadi dari sesuatu yang tidak ada, dan hal ini jelas bertentangan dengan kaidah ilmu pengetahuan.

Alam Semesta Menurut Sang Buddha

Menurut Sang Buddha Gotama, pengenal segenap alam semesta (Lokavidu), alam semesta ini – yang berliau sebut sebagai Samsara – adalah TANPA AWAL. Sang Bhagava Guru, Sang Sugatha, bersabda, “Tak dapat ditentukan awal dari alam semesta. Titik terjauh dari kehidupan, berpindah dari kelahiran ke kelahiran, terikat oleh ketidak-tahuan dan keinginan, tidaklah dapat diketahui.”
Para ilmuwan dewasa ini meyakini (setelah melalui riset yang panjang, lama, memakan puluhan tahun), bahwa alam semesta ini adalah suatu sistem yang “berdenyut”, yang setelah mengembang secara maksimal, lalu menciut dengan segala energi yang ditekan pada suatu bentukan massa; sedemikian besar sehingga menyebabkan ledakan yang dikenal sebagai BIG BANG”, yang berakibat pelepasan energi. Pengembangan dan penciutan alam semesta berlangsung dalam kurun waktu milyaran tahun. Sang Buddha telah memaklumi pengembangan dan penciutan alam semesta seperti hasil penelitian ilmiah para ilmuwan, Beliau bersabda, “Akan tiba saatnya, cepat atau lambat, sesudah masa waktu yang sangat panjang sekali alam semesta MENCIUT…dan cepat atau lambat, sesudah masa yang lama sekali, alam semesta ini MULAI MENGEMBANG”.
Penemuan teknologi, terutama yaitu teleskop konvensional dan teleskop radio yang ditemukan belakangan, telah memungkinkan para ahli astronomi untuk mengetahui tidak saja asal dan sifat alami dari alam semesta, tetapi juga susunannya.
Sekarang ini diketahui, bahwa alam semesta terdiri dari sekian milyar bintang, planet, asteroid, dan komet. Semua benda langit tersebut berkelompok dalam bentuk cakram atau spiral yang disebut galaksi. Planet bumi kita hanya satu titik kecil yang terdapat pada suatu galaksi yang diberi nama Bimasakti (Inggris: Milky Way).
Bima Sakti atau Milky Way terdiri atas kurang lebih 100 milyar bintang dengan jarak dari ujung ke ujung 60.000 tahun cahaya. Telah diketahui pula bahwa galaksi-galaksi di alam semesta ini tersusun berkelompok. Kelompok galaksi dimana Bimasakti kita berada terdiri dari dua lusin galaksi; kelompok lain, kelompok Virgo misalnya terdiri dari ribuan galaksi.
Sejalan dengan penemuan para ilmuwan tersebut, yang menyatakan bahwa terdapat tata surya, galaksi, dan kelompok galaksi, yang itupun baru saja diketahui di dunia barat setelah penemuan tekhnolgi canggih, ternyata Sang Buddha Gotama pun telah mengetahui hal yang sama tersebut sejak lebih dari 2500 tahun yang lalu.
Sang Buddha Gotama sejak lebih dari 2500 tahun yang lalu telah menggambarkan galaksi sebagai berbentuk spiral. Istilah galaksi ini didalam bahasa Pali adalah “CAKKAVALA”, yang berasal dari kata “CAKKA” yang berarti “ CAKRAM/RODA”.

Sang Buddha Gotama secara sangat jelas dan tepat menggambarkan kelompok-kelompok galaksi, yang oleh para ilmuwan baru ditemukan. Sistem dunia ini, oleh Sang Buddha disebut sebagai “Loka Dhatu” dan menambahkan perbedaan dalam ukurannya; sistem dunia ribuan-lipat, sistem dunia puluhan-ribu lipat, sistem dunia besar, dan seterusnya, dan seterusnya. Beliau menyebutkan sistem dunia terdiri (sesuai dengan yang ditemukan oleh para ilmuwan sekarang) , yakni: M I L Y A R A N , T R I L Y U N A N matahari dan planet. Berikut adalah penggalan Sabda Sang Buddha mengenai hal itu:
“Ananda, apakah kau pernah mendengar tentang seribu Culanika loka dhatu ( tata surya kecil )? … Ananda, sejauh matahari dan bulan berrotasi pada garis orbitnya, dan sejauh pancaran sinar matahari dan bulan di angkasa, sejauh itulah luas seribu tata surya.
Didalam seribu tata sruya terdapat seribu matahari, seribu bulan, seribu Sineru, seribu Jambudipa (Jambudipa = India, Jawadipa = Nusantara / Indonesia), seribu Aparayojana, seribu Uttarakuru, seribu Pubbavidehana… Inilah,Ananda, yang dinamakan SERIBU TATA SURYA KECIL. (SAHASSI CULANIKA LOKADHATU)”.
Ananda, seribu kali Sahassa Culanika Lokadhatu dinamakan “DVISAHASSA MAJJHIMANIKA LOKADHATU”. Ananda, seribu kali Dvisahassa Majjhimanika Lokadhatu dinamakan “TISAHASSI MAHASAHASSI LOKADHATU”.
Ananda, bilamana Sang Tathagata (sebutan lain bagi Sang Buddha Gotama) mau, maka ia dapat memperdengarkan suara-Nya sampai terdengar di Tisahassi Mahasahassi Lokadhatu, ataupun melebihinya lagi.”
Sesuai dengan kutipan diatas, didalam sebuah Dvisahassi Majjhimanika lokadhatu terdapat 1.000 X 1.000 = 1.000.000 tata surya. Sedangkan dalam Tisahassi Mahasahassi Lokadhatu terdapat 1.000.000 X 1.000 = 1.000.000.000 tata surya. Alam semesta bukan hanya terbatas pada satu milyar tata surya saja, tetapi masih melampauinya.
Dahulu, dalam waktu yang sangat lama, manusia tidak dapat membayangkan luas alam-semesta baik dalam satuan waktu maupun ruang untuk dapat memahami asal dan luas alam-semesta. Pemikiran saat itu terbatas serta terikat ke pemahaman dunia semata.
Didalam Alkitab misalnya, dipahami bahwa seluruh alam semesta diciptakan dalam enam hari dan bila ditelusur secara kronologis-historis, kejadian penciptaan yang diceritakan itu barulah terjadi beberapa ribu tahun yang lalu. Demikian pula jika kita mengacu Al Quran tidak akan jauh berbeda, karena kisah yang diceritakan juga serupa, termasuk mengenai manusia yang petama kali ada, Adam dan Hawa.
Sekarang ini, para ahli astronomi menghitung bintang dalam satuan ribuan milyar dan mengukur jarak alam semesta dalam satuan tahun cahaya; satu tahun cahaya adalah jarak yang dapat ditempuh oleh cahaya dalam waktu satu tahun. Manusia jaman dulu jelas tidak dapat membayangkan dimensi seperti itu. Akan tetapi, Sang Buddha Gotama adalah pengecualian.
Dengan kebijaksanaan-Nya yang tak terbatas, Sang Buddha Gotama dapat memahami dari konsep alam semesta yang tak terbatas. Beliau menyebut adanya “ daerah gelap, hitam, kelam, diantara sistem-sistem dunia, sedemikian rupa sehingga cahaya matahari dan bulan sekalipun tak dapat mencapainya… .”
Waktu yang diperlukan untuk terbentuk dan hancurnya suatu sistem dunia sangatlah panjang; diperlukan sangat banyak kappa (sebagai satuan waktu) untuk itu. Sewaktu Sang Buddha ditanya tentang panjang kurun waktu satu kappa, Beliau menjawab:

“ Sangat panjang kurun waktu satu kappa. Tak dapat diperhitungkan dengan tahun, abad ataupun ribuan abad.”
“ Bila demikian, Guru, dapatkah dengan menggunakan perumpamaan?”
“Dapat, Bayangkan bongkahan batu besar, tanpa retak, tanpa celah, padat, berukuran panjang 1 mil, lebar 1 mil dan tingginya juga 1 mil. Lalu bayangkan setiap seratus tahun ada orang datang menggosoknya dengan sepotong sutra Benares. Maka, akan lebih cepat batu itu habis tergosok daripada suatu masa kappa berlalu. Pula ketahuilah, lebih dari satu, lebih dari ribuan, lebih dari ratusan ribu kappa, sebenarnya telah berlalu”.
Dari situ terlihat, betapa Sang Buddha menggunakan perumpamaan seperti diuraikan diatas untuk memberi gambaran tentang “jarak ruang dalam satuan waktu”; sama halnya para ahli astronomi saat ini menggambarkan “jarak-jarak di angkasa luar dengan menggunakan satuan tahun cahaya.”

Memahami Alam Semesta Dan Awal Penciptaan Tidak Mengantar Pada Pembebasan

Sang Buddha membahas tentang asal dan perluasan alam semesta hanya sepintas lalu. Sebab, Beliau tidak menganggap, bahwa pengetahuan tentang asal muasal terciptanya alam semesta, perluasan, hancurnya alam semesta, adalah lebih penting dari masalah mendasar umat manusia, yakni Dukkha.
Sang Buddha menganggap bahwa pengetahuan mengenai “Jalan-Pencerahan” untuk membebaskan umat manusia dari penderitaan dunia adalah jauh lebih penting ketimbang pengetahuan tentang usia alam semesta, asal-usul alam semesta, dan lain-lain.
Mengakhiri penderitaan, dan mencapai kebahagiaan sejati, diatas kesenangan inderawi, kebahagiaan yang diinginkan, membahagiakan, dan abadi, adalah yang terutama. Itu adalah Nibbana (Pali) atau Nirvana (Sanskerta).
Ketika seseorang mendesak Sang Buddha untuk menjawab pertanyaan tentang luasnya alam semesta, dan penciptaan alam semesta, maka Sang Buddha membuat perumpamaan, “orang tersebut bagaikan seseorang yang terkena panah beracun, yang memberinya sakit-derita yang hebat, yang akan membawanya ke kematian, namun menolak diobati dan dicabut anak panah yang menancap tersebut, sebelum orang tersebut mengetahui dengan jelas siapakah yang melepaskan anak panah beracun tersebut”. Sang Buddha, kemudian bersabda:
“Menjalani hidup yang suci tak dikatakan tergantung apakah alam semesta ini berbatas atau tidak, atau keduanya, atau tidak keduanya. Sebab apakah alam semesta ini, berbatas atau tidak, tetaplah ada kelahiran, tetap ada usia lanjut, tetap ada kematian, kesedihan, penyesalan, penderitaan, keperihan dan keputus-asaan; dan untuk mengatasi semua itulah semua yang Saya ajarkan”.
Jadi, dengan hanya berbekal pengetahuan tentang bagaimana alam semesta ini terjadi, kita tidak akan dapat mengatasi penderitaan, juga tidak akan dapat mengembangkan kemurahan hati, kebajikan dan cinta kasih. Bagi Sang Buddha, pertanyaan mengenai hal-hal ini (mengembangkan kemurahan hati, kebajikan, cinta kasih, dan lain-lain tentang Sang Jalan), adalah jauh lebih penting daripada “berdiskusi” tentang asal-mula alam semesta.
Namun, meskipun demikian, ajaran Sang Buddha tentang alam-semesta yang ternyata sangat tepat dan sangat “maju” (bila dibandingkan dengan kenyataan bahwa ajaran itu diucapkan lebih dari 2500 tahun yang lalu, dan sekarang ini ilmuwan membuktikan kebenarannya), membuat kita bertanya, “Bagaimana mungkin Beliau bisa mengetahui hal itu semua? “Bagaimana mungkin seseorang mengetahui tentang berkelompoknya Bima Sakti dan bahwa Bima Sakti itu berbentuk spiral, jauh sebelum penemuan teleskop dan tekhnologi canggih lainnya? Bagaimana, Beliau (sang Buddha), yang hidup di jaman lampau demikian menghayati ke-tak-terbatasan ruang dan waktu?”.
Jawaban satu-satunya ialah karena, Beliau, sebagai yang disebut oleh Beliau sendiri, adalah Buddha, yang telah “Tercerahkan-Buddhi-Nya”, yang telah mencapai Pencerahan Sempurna (Enlightenment). Batin-Nya demikian sempurna, bebas dari prasangka dan kekhayalan yang biasanya menyelimuti batin seorang manusia bagaikan kabut pekat. Pengetahuan-Nya telah berkembang diluar kemampuan manusia biasa. Sang Buddha menyatakan diri-Nya sebagai “Pengenal Alam-Semesta” (Lokavidu), dan pernyataan Beliau memang terbukti, benar adanya.

(Pustaka: “Dasar Pandangan Agama Buddha”, Ven.S.Dhammika.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar