Rabu, 25 Januari 2017

PUJA DALAM AGAMA BUDDHA


1. Pengertian puja/upacara/menghormat
1) Suatu cetusan hati nurani manusia terhadap suatu keadaan.
2)Sebagai salah satu bentuk kebudayaan dapat kita selenggarakan sesuai dengan tradisi dan perkembangan jaman asalkan selalu didasarkan pada pandangan benar.
3) Buddha Dhamma sebagai ajaran universal, tidak mengalami perubahan (penguranga nmaupun tambahan).Oleh sebab itu, manifestasi pemujaan kita pada Tiratana yang dijelmakan dalam bentuk upacara dan cara kebaktian hendaknya tetap didasari dengan pandangan benar sehingga tidak menyimpang dari Buddha Dhamma itu sendiri.

2. Sejarah terjadinya puja dalam agama Buddha
Puja dalam zaman pra-Buddha, puja lebih bermakna sebagai persembahan kepada para dewa. Hal ini dilakukan dengan cara mengorbankan hewan, bahkan mengorbankan manusia kepada para dewa. Sejarah puja kepada para dewa ini diawali dengan munculnya ajaran brahmanisme. Ajaran ini menunjukkan bahwa ada
makhluk dewa yang berkuasa atau mengatur segala sesuatu yang akan diterima oleh manusia. Dengan alasan itu, para brahmin menciptakan sarana puja kepada dewa-dewa dengan jalan upacara-upacara korban. Tujuannya adalah dengan korban yang diberikan kepada para dewa, mereka akan menjadi senang dan tidak menjatuhkan malapetaka bagi manusia.

1) Sang Buddha tidak pernah mengajar cara puja. Sang Buddha hanya mengajarkan Dhamma agar semua makhluk terbebas dari penderitaan.
2) Upacara yang ada pada saat itu hanyalah upacara penahbisan bhikkhu dan samanera.
3) Puja/upacara yang sekarang
ini kita lihat merupakan perkembangan dari kebiasaan yang ada, yang terjadi sewaktu Sang Buddha masih hidup, yaitu yang disebut `Vattha’, yang artinya kewajiban yang harus dipenuhi oleh para bhikkhu seperti merawat Sang Buddha
, membersihkan ruangan, mengisi air, dsb; dan kemudian mereka semua bersama dengan umat lalu duduk mendengarkan khotbah Sang Buddha.
4) Setelah Sang Buddha parinibbana, para
bhikkhu dan umat tetap berkumpul untuk mengenang Sang Buddha dan menghormat Sang Tiratana, yang sekaligus merupakan kelanjutan kebiasaan Vattha.
3. Dua cara pemujaan
Dalam agama Buddha juga terdapat ajaran tentang `pemujaan’. Namun, pemujaan dalam agama Buddha ditujukan pada obyek yang benar (patut) dan didasarkan pada pandangan benar. Menurut naskah Pali – Dukanipata, Anguttara Nikaya, Sutta Pitaka, ada dua cara pemujaan, yaitu:
A. Amisa Puja
1) Makna Amisa Puja
– Secara harafiah berarti pemujaan dengan persembahan. Kitab Mangalattha-dipani menguraikan empat hal yang perlu diperhatikan dalammenerapkan Amisa Puja ini, yaitu:
a.     Sakkara: memberikan persembahan materi
b.    Garukara: menaruh kasih serta bakti terhadap nilai-nilai luhur
c.     Manana: memperlihatkan rasa percaya/yakin
d.    Vandana: menguncarkan ungkapan atau kata persanjungan.
– Selain itu, ada tiga hal lagi yang juga harus diperhatikan agar Amisa Puja dapat diterapkan dengan sebaik-baiknya. Ketiga hal tersebut yaitu:
a. Vatthusampada: kesempurnaan materi
b. Cetanasampada: kesempurnaan dalam kehendak
c. Dakkhineyyasampada :kesempurnaan dalam obyek pemujaan
2) Sejarah Amisa Puja
Asal mulanya dari kebiasaan Bhikkhu Ananda yang selalu merawat Sang Buddha.

B. Patipatti Puja
1) Makna Patipatti Puja
Secara harafiah berarti pemujaan dengan pelaksanaan. Sering jugadisebut sebagai Dhamma puja.
Menurut
Kitab Paramatthajotika, yang dimaksud “pelaksanaan” dalam hal ini adalah:
a. Berlindung
pada Tisarana (Tiga Perlindungan), yakni Buddha, Dhamma, dan Ariya Sangha
b. Bertekad
untuk melaksanakan PancaSila Buddhis (Lima Kemoralan) yakni pantangan untuk membunuh, mencuri, berbuat asusila, berkata yang tidak benar, mengkonsumsi makanan/minuman yang melemahkan kewaspadaan
c. Bertekad
melaksanakan AtthangaSila (DelapanSila) padahari-hari Uposatha.
d. Berusaha
menjalankan Parisuddhi Sila (Kemurnian Sila), yaitu:
–Pengendalian
diri dalam tata-tertib (Patimokha-samvara)
–Pengendalian
enam indera (Indriya-samvara)
–Mencari
nafkah hidup secara benar (Ajiva-parisuddhi)
– Pemenuhan
kebutuhan hidup yang layak (Paccaya-sanissita)
2) Pahala Patipatti Puja
– Dalam Sutta Pitaka bagian Anguttara Nikaya, Dukanipata, dengan sangat jelas Sang Buddha Gotama menandaskan demikian: “Duhai para bhikkhu, ada dua cara pemujaan, yaitu Amisa Puja dan Dhamma Puja. Di antara dua cara pemujaan ini, Dhamma Puja (Patipatti Puja) adalah yang paling unggul”.
– Dengan
demikian sudah selayaknya jika umat Buddha lebih menekankan pada pelaksanaan Patipatti Puja alih-alih Amisa Puja.


3) Sejarah Patipatti Puja
– Cerita tentang Bhikkhu Tissa yang bertekad berpraktek Dhamma hingga berhasil menjelang empat bulan lagi Sang Buddha parinibbana. Dalam hal tersebut Sang Buddha bersabda: “Duhai para bhikkhu, barang siapa mencintai-Ku, ia hendaknya bertindak seperti Tissa. Karena, mereka yang memuja-Ku dengan mempersembahkan berbagai bunga, wewangian, dan lain-lain, sesungguhnya belumlah bisa dikatakan memuja-Ku dengan cara yang tertinggi/terluhur. Sementara itu, seseorang yang melaksanakan Dhamma secara benar itulah yang patut dikatakan telah memuja-Ku
dengan
cara tertinggi/terluhur”.
– Peristiwa yang mirip
juga terjadi atas diri Bhikkhu Attadattha, sebagaimana yang dikisahkan dalam Kitab Dhammapada Atthakatha.
– Menyadari
betapa penting hal tersebut untuk dipahami dengan jelas, Sang Buddha Gotama secara resmi juga menandaskan kembali kepada Ananda Thera demikian:
“Duhai
Ananda, penghormatan, pengagungan, dan pemujaan dengan cara tertinggi/terluhur bukanlah dilakukan dengan memberikan persembahan bunga, wewangian, nyanyian, dan sebagainya. Akan tetapi Ananda, apabila seseorang bhikkhu, bhikkhuni, upasaka, atau upasika, berpegang teguh pada Dhamma, hidup sesuai dengan Dhamma, bertingkah laku selaras dengan Dhamma, maka orang seperti itulah yang sesungguhnya telah melakukan penghormatan, pengagungan, dan pemujaan dengan cara tertinggi/terluhur. Karena itu Ananda, berpegang teguhlah
pada
Dhamma, hiduplah sesuai dengan Dhamma, dan bertingkahlakulah selaras dengan Dhamma. Dengan cara demikianlah engkau seharusnya melatih diri”.
– Penerapan Patipatti Puja secara telak dapat menepiskan anggapan salah masyaraka tumum bahwa agama Buddha tidak lebih hanyalah suatu agama ritualistis (peribadatan/persembahyangan) belaka.
4. Makna Puja/Upacara
1)    Semua bentuk upacara agama Buddha, sebenarnya terkandung prinsip-prinsip sebagai berikut:
Menghormati dan merenungkan sifat-sifat luhur Sang Tiratana)
2)    Memperkuat keyakinan (Saddha) dengan tekad (Adhitthana)
3)    Membina empat kediaman luhur (Brahma Vihara)
4)    Mengulang dan merenungkan kembali khotbah-khotbah Sang Buddha
5)    Melakukan Pathanumodana, yaitu `melimpahkan’ jasa perbuatan baik kita kepada makhluk lain
5. Manfaat Puja/Upacara
Secara terperinci manfaat yang langsung didapat dari upacara adalah sebagai berikut:
1)    Saddha: keyakinan dan bakti akan tumbuh berkembang
2)    Brahmavihara: empat kediaman/keadaan batin yang luhur akan berkembang
3)    Samvara : indera akan terkendali
4)    Santutthi : puas
5)    Santi : damai
6)    Sukha : bahagia
6. Sikap dalam Puja/Upacara
Upacara merupakan suatu manifestasi dari keyakinan dan kebaktian, oleh sebab itu sikap yang patut diperhatikan oleh umat dalam melakukan upacara adalah sebagai berikut ini:
1) Sikap menghormat, 
Ada beberapa cara antara lain:
a. Anjali
b. Namakara
c. Padakkhina
2) Sikap membaca Paritta
a.     Dilakukan dengan khidmat dan penuh perhatian
b.    Dibaca secara benar sesuai dengan petunjuk-petunjuk tanda-tanda bacaannya dan harus sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang telah dijelaskan dalam Kitab Suci Tipitaka (Pali Text), seperti pada Vinaya Pitaka, II.108, di mana Sang Buddha bersabda kepada para bhikkhu tentang masalah melagukan pembacaan Dhamma, yaitu sebagai berikut: “Para bhikkhu, ada lima bahaya (keburukan) jika Dhamma diucapkan dengan suara yang dinyanyikan:
– Ia akan senang (bangga) pada dirinya sendiri sehubungan dengan suaranya yang telah didengarnya
– Orang lain akan senang mendengar suaranya tersebut (mereka akan tertarik pada lagunya tersebut, bukan pada Dhammanya)
– Umat awam akan mencemoohkan (karena musik hanya pantas untuk mereka yang masih menyukai kesenangan indera)
– Karena sibuk mengatur suaranya tersebut, maka konsentrasinya menjadi pecah (ia melupakan makna dari apa yang sedang dibacanya)
– Orang-orang yang mendengarnya bisa terjebak dalam pandangan-pandangan yang mengandung persaingan (dengan berkata: “Guru-guru dan pembimbing kami melagukannya seperti itu”, hal ini akan menyebabkan timbulnya pertentangan dan saling membanggakan diri pada umat Buddha generasi yang akan datang)

3) Sikap Bersamadhi
a.     Rileks, duduk bersila (bersilang kaki) dan tumpuan kedua tangan di atas pangkuan
b.    Memusatkan pikiran kita kepada obyek meditasi yang biasanya cocok untuk kita gunakan, misalnya pernafasan, sifat-sifat luhur Sang Tiratana, Empat Keadaan Batin yang Luhur (Brahma Vihara), dan sebagainya
7. Cara melakukan Puja/upacara yang benar
1)    Mengerti akan makna upacara seperti yang telah diuraikan di atas
2)    Setiap melakukan upacara harus benar-benar memahami apa yang dilakukan, bukan semata-mata tradisi yang mengikat yang tidak membawa kita pada pembebasan (Silabbataparamasa-samyojjana)


1 komentar: