Apa yang Diucapkan dalam Salam Buddhis? Ini Jawaban STI
Dalam dokumen Kesepakatan Sangha
Theravada Indonesia (STI) Nomor: 016/STI/VI/2015 dan ditandatangani oleh Y.M.
Bhikkhu Jotidhammo Mahathera sebagai Sanghanayaka (Ketua Umum) pada 19 Juni
2015 di Balikpapan, STI menyampaikan beberapa hal terkait dengan kalimat apa
yang diucapkan umat Buddha sebagai salam Buddhis maupun salam umum beserta
contoh penerapannya.
1. Salam Buddhis dan Salam
Umum
Ditujukan kepada sesama umat Buddha,
kata salam Buddhis yang digunakan adalah: “Buddhānubhāvena sotthi hotu“, berarti dengan kekuatan nilai-nilai luhur Buddha,
semoga kesejahteraan ada pada Anda/-sekalian, atau dapat disingkat menjadi “Sotthi hotu“, berarti semoga kesejahteraan
ada pada Anda/-sekalian.
ada pada Anda/-sekalian.
Ditujukan kepada masyarakat umum, kata
salam umum yang digunakan adalah: “Sotthi
hotu“, berarti
semoga kesejahteraan ada pada Anda/-sekalian.
Ditujukan kepada seseorang/orang-orang
yang dituakan atau dihormat, kata salam Buddhis dan salam umum menggunakan “Namaste“, berarti penghormatan (saya/kami) kepada Anda.
Keterangan:
Secara harfiah, kata “sotthi” berarti keadaan/keberadaan baik, dari partikel kata “su” berarti baik, dan “danatthi” berarti keberadaan.
Secara harfiah, kata “sotthi” berarti keadaan/keberadaan baik, dari partikel kata “su” berarti baik, dan “danatthi” berarti keberadaan.
2. Istilah “Namo Buddhāya”
Istilah “Namo Buddhāya” setara dengan frase “Namo Tassa
Bhagavato Arahato Sammasambuddhassa”, “Namatthu Buddhasa”, “Namo
Ranatattayaya”, dan beberapa lainnya.
Istilah-istilah tersebut
umumnya digunakan pada waktu seseorang sedang menyampaikan uraian berciri
keagamaan, berpidato, atau menyatakan ungkapan hati dengan penuh kesungguhan,
misalnya: bertekad dan bersumpah.
3. Istilah “Samvegacitta”
Untuk kepentingan
mengungkapkan rasa empati kepada kerabat dan kenalan sesama umat Buddha yang
sedang berada dalam suasana duka, kalimat yang diucapkan adalah:
“Turut ber-samvegacitta atas kewafatan mendiang Ibu/Bapak/Sudara/Saudari
……. ,
Ibunda/Ayahanda/Putri/Putra/Kakak/Adik ……………………….. ,
Sugatim vā saggam lokam uttarim vā upapajjatu.”
Ibunda/Ayahanda/Putri/Putra/Kakak/Adik ……………………….. ,
Sugatim vā saggam lokam uttarim vā upapajjatu.”
Keterangan:
Kalimat “Sugatim vā saggam lokam uttarim vā upapajjatu”, berarti semoga mendiang terlahir di alam surga menyenangkan atau lebih dari itu.
Kalimat “Sugatim vā saggam lokam uttarim vā upapajjatu”, berarti semoga mendiang terlahir di alam surga menyenangkan atau lebih dari itu.
Jika yang meninggal lebih
dari 1 orang, kata ‘upapajjatu’ diubah menjadi ‘upapajjantu’.
Samvegacitta merupakan
pikiran disertai hal-hal batiniah yang kuat muncul sebagai tanggapan atas
kejadian menggugah hati, mengarah ke perenungan pada pengetahuan kebenaran
alamiah, misalnya pada saat kejadian orang yang dicinta/dihormat meninggal
dunia.
Ada sebuah kronologis, pada
waktu Guru Agung Buddha Parinibbāna, para awam menangis berderai air mata,
sedangkan para ariyasāvaka memasuki pemikiran yang diwarnai oleh samvega
(hal-hal batiniah yang kuat).
Hal-hal batiniah (cetasika)
di atas mengacu ke nilai-nilai positif, seperti: paññā (kebijaksanaan), mettā
(cinta kasih), karuņā (welas asih), upekkhā (keseimbangan batin), dan
lain-lain, khususnya adalah paññā dan upekkhā.
4. Istilah “Anumodana” dan
“Terima Kasih”
Penggunaan kata “Anumodana” berbeda sedikit dengan kata “Terima kasih”
Penggunaan kata “Anumodana” berbeda sedikit dengan kata “Terima kasih”
Kata ‘anumodana’ berarti
sikap turut bersuka cita atas perbuatan baik yang telah dilakukan seseorang.
Ini berbeda sedikit dengan kata ‘terimakasih’ yang berarti sikap
menghargai/senang atas barang atau jasa yang orang lain berikan kepada dirinya.
Perbedaanya terletak pada penekanan di sisi perbuatan untuk makna kata
anumodana, dan penekanan di sisi hal-hal terkait dengan perbuatan itu yaitu
berupa barang atau jasa yang diberikan untuk kata terimakasih.
Perbedaan dalam bentuk
praktiknya adalah, jika ada seseorang yang melakukan kebaikan berupa memberi
namun barang yang diberikan tersebut bukan ditujukan untuk diri penerima secara
pribadi, atau melakukan kebaikan dalam bentuk lain, misalnya bertekad
melaksanakan uposathasila atau berlatih meditasi, sikap yang kita tunjukkan
kepadanya adalah turut bersuka cita atas perbuatan yang dilakukan, yaitu kita
mengucapkan kata ‘anumodana’. Sedangkan, jika ada seseorang yang melakukan
kebaikan, khususnya berupa memberi, dan pemberian itu ditujukan kepada diri
kita secara pribadi, sikap yang kita tujukkan kepadanya adalah
menghargai/senang atas barang atau jasa yang diberikan itu, yaitu kita
mengucapkan kata ‘terima kasih’.
Contoh kasus:
a. Kumara mendengarkan cerita Taruna, temannya, bahwa Taruna baru
saja mendanakan tanahnya kepada sebuah lembaga yatim piatu.
b. Kumara mendengarkan cerita Bhante Tissa, gurunya, bahwa beliau
baru saja memberikan uraian Dhamma kepada anak-anak di sebuah lembaga yatim
piatu.
c. Kumara yang menjabat sebagai bendahara sebuah vihara atau
perkumpulan Buddhis menerima sumbangan dana dari Taruna untuk biaya operasional
vihara atau perkumpulan itu.
Untuk kasus a, b,
dan c di atas, kata yang diucapkan adalah
‘anumodanā’.
d. Taruna menerima pemberian buku Dhamma dari Kumara.
e. Taruna, sebagai pimpinan pujabakti, bersama dengan
teman-temannya menerima wejangan Dhamma dari Bhante Tissa.
f. Taruna memberi obat kepada Ibunya Kumara dengan cara
menyerahkan obat itu kepada Kumara untuk diberikan kepada Ibunya. Kumara
menerima obat itu.
g. Bhante Tissa menerima pemberian jubah dari Bhante Puņņa untuk
dirinya. Bhante Puņņa juga memberi jubah bagi para sāmaņera murid Bhante Tissa
yang diberikan melalui Bhante Tissa.
Untuk kasus d hingga g di atas, kata yang diucapkan adalah
‘terimakasih’. Untuk kasus f, Kumara mengucapkan terima kasih untuk mewakili Ibunya.
Demikian pula kasus g.
h. Bhante Tissa menerima dana tiket kereta api untuk perjalanan beliau kembali ke viharadari Taruna.
Untuk kasus h di atas, kata yang diucapkan adalah
‘anumodanā’ karena Bhante Tissa, termasuk juga pada umumnya para bhikkhu,
dalam hubungannya dengan umat lebih menitikberatkan pada sisi perbuatannya
alih-alih pada barang atau jasa yang umat berikan. Walau demikian, dalam
situasi yang persis sama seperti itu, para bhikkhu bisa juga mengucapkan
‘terima kasih’.
Keterangan:
Istilah ‘anumodāmi’ atau ‘sādhu, anumodāmi’ dapat pula digunakan sebagai varian istilah anumodanā.
Istilah ‘anumodāmi’ atau ‘sādhu, anumodāmi’ dapat pula digunakan sebagai varian istilah anumodanā.
Kata ‘anumodanā’ adalah kata
benda, berarti tindak turut bersuka cita. Sedangkan, kata anumodāmi’ adalah
kata kerja, berarti ‘saya turut bersuka cita’. Kata ‘sādhu’ ditambahkan sebagai
pemanis dalam berbahasa, berarti ‘bagus’, atau bisa juga ‘semoga kebajikan yang
telah Anda lakukan menghasilkan buah sesuai harapan’. Jika diucapkan mewakili
diri sendiri dan orang lain, yaitu dalam bentuk jamak, kata di atas diubah
menjadi ‘anumodāma’, atau ‘sādhu, anumodāma’.
5. Ungkapan Bahagia atas Keberhasilan
Untuk kepentingan mengungkapkan rasa bahagia atas keberhasilan yang telah dicapai, digunakan kata “abhiṭhuti ratanattayagunesu ca me katakusalesu”, berarti gembira ria saya atas nilai-nilai luhur Tiratana dan kebajikan-kebajikan yang telah saya lakukan. Penggunaan secara keseharian memungkinkan untuk disingkat “abhiṭhuti”.
Untuk kepentingan mengungkapkan rasa bahagia atas keberhasilan yang telah dicapai, digunakan kata “abhiṭhuti ratanattayagunesu ca me katakusalesu”, berarti gembira ria saya atas nilai-nilai luhur Tiratana dan kebajikan-kebajikan yang telah saya lakukan. Penggunaan secara keseharian memungkinkan untuk disingkat “abhiṭhuti”.
Dengan adanya penjelasan dari
STI mengenai salam Buddhis tersebut diharapkan umat Buddha memiliki acuan dan
tidak lagi merasa bingung untuk mengungkapkan ekspresinya dalam bentuk ucapan
salam baik kepada sesama Buddhis maupun kepada masyarakat umum.[Bhagavant,
21/8/15, Sum]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar