Salah satu
topik yang paling menarik dibahas dalam ajaran Buddha adalah topik tentang
ketuhanan. Karena konsep ketuhanan dari sudut pandang Buddhisme ternyata jauh
berbeda dengan konsep-konsep ketuhanan agama lain. Jika dalam agama lain, mungkin
terbiasa dengan konsep bahwa Tuhan adalah pencipta alam beserta isinya, yang
maha tahu, maha pengasih, maha pemurah, pemaaf, dan penentu segala sesuatu yang
ada dan terjadi di dunia ini. Tuhan adalah sosok adikuasa dimana manusia sebagai salah satu makhluk
ciptaannya wajib tunduk dan memuja-Nya, meminta segala sesuatu dengan cara
berdoa pada-Nya. Namun, jika kita lihat dalam ajaran Buddha, konsep di atas
tidak pernah kita temukan. Mengapa?
Karena jika Tuhan itu maha tahu, untuk apa
manusia berdoa, mengeluh dan meminta pada-Nya? Bukankah tanpa kita mengeluh dan
meminta Ia sudah tahu? Seperti seorang ibu yang mengetahui bahwa sepatu anaknya
sudah rusak, tanpa diberitahu pun, tanpa menunggu anaknya mengeluh dan meminta,
jika ibu itu memiliki cukup uang ia akan membelikan sepatu baru untuk anaknya.
Jika Tuhan itu
pencipta, pengasih, dan penyayang, mengapa ada
banyak yang terlahir cacat? Apakah mereka adalah produk gagal? Mengapa ada
yang hidup dalam kondisi yang memprihatinkan? Dimana Tuhan ketika terjadi bencana
yang demikian hebat, seperti Tsunami, kebakaran, kecelakaan, dan sebagainya sehingga
kita manusia saja tidak tega melihatnya. Mengapa Tuhan yang maha pengasih
justru tega membiarkan makhluknya mengalami itu semua?
Jika semua yang
terjadi adalah atas kehendak-Nya, maka ketika seseorang melakukan kejahatan,
Tuhanlah yang paling bertanggungjawab, karena kejahatan itu dilakukan atas
dasar restu dan kehendak-Nya. Tidak perlu ada orang yang dipenjara, tidak perlu
ada manusia yang dipersalahkan, karena manusia hanya menjalani dan melakukan
apa yang dikehendaki-Nya. Ketika terjadi bencana yang memakan banyak korban, Tuhanlah
yang patut dipersalahkan, Karena lagi-lagi semua itu atas kehendak-Nya.
Jadi, apakah
ajaran Buddha tidak mengenal Tuhan? Lalu pada siapa umat Buddha berdoa? Apakah pada
patung Buddha?
Sebelum kita
bahas lebih jauh lagi, saya akan memberikan analogi mengenai ini. Dulu, ketika awal
masuknya bangsa barat dan Eropa ke Birma/Myanmar dan Tibet. Orang-orang Birma
dan Tibet belum mengenal celana, karena mereka terbiasa mengenakan sarung. Orang-orang
barat setelah kembali ke negaranya, menceritakan pada keluarga dan
teman-temannya bahwa orang Birma dan Tibet itu tidak pakai celana. Keluarga dan
teman-temannya berkata, “Oh… kalau begitu mereka tidak berpakaian?” Tidak, mereka
tidak pakai celana tetapi bukan berarti mereka tidak berpakaian. Mereka memiliki
pakaian bawah yang berbeda dengan celana, yang disebut sebagai sarung. Sebaliknya,
ketika orang Birma dan Tibet pergi ke barat, mereka hampir tidak melihat ada
orang yang mengenakan sarung. Karena kebanyakan orang di sana mengenakan celana.
Setelah pulang ke negara asalnya, mereka bercerita bahwa orang barat itu tidak
pakai sarung. Tentu, jika cerita itu tidak dilanjutkan dengan penjelasan, orang
yang mendengar ceritanya akan dapat berpikir bahwa orang barat tidak berpakaian.
Padahal kenyataannya orang barat tidak mengenakan sarung bukan berarti mereka
tidak berpakaian, tetapi mereka memiliki pakaian yang berbeda dengan sarung,
yang disebut celana.
Dari cerita di
atas mungkin kita bisa paham, mengapa ada orang yang menyimpulkan secara
dangkal bahwa agama Buddha itu tidak percaya Tuhan. Padahal sebenarnya, konsep
ketuhanannya lah yang berbeda dengan konsep ketuhanan agama lain. Dan memang
konsep ketuhanan dalam agama Buddha tidak harus sama dengan konsep ketuhanan
dalam agama lain. Ada banyak konsep atau pandangan-pandangan Buddhisme yang
tidak sama atau bahkan berseberengan dengan agama lain. Inilah uniknya
Buddhisme.
Jika demikian,
lalu bagaimana konsep ketuhanan yang ada dalam Buddhisme? Buddha menjelaskan
bahwa “di dunia ini ada yang tidak dilahirkan, tidak diciptakan, tidak
menjelma, dan tak berkondisi”. Inilah konsep “Esa” yang sesungguhnya. Tak terceritakan,
tak tergambarkan, tak terbayangkan,
melampaui pikiran dan imajinasi manusia. Untuk itu, pembicaraan tentang Tuhan
jarang sekali ada dalam Buddhisme, karena Buddhisme sadar, bahwa Tuhan itu
tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata dan logika manusia. Maka, Karen Amstrong
dalam jurnalnya mengatakan, “jika kita berusaha menjelaskan tentang Tuhan,
semakin jelas kita menjelaskannya, maka kita akan semakin salah”. Inilah konsep
ketuhanan yang dipegang dalam Buddhisme. Tuhan dalam ajaran Buddha bukanlah
personifikasi, yang memiliki sifat-sifat seperti manusia, yang melihat,
mendengar, mengasihi, mengatur, mencipta, mengetahui, dan menentukan segalanya.
Tuhan dalam
agama Buddha lebih cenderung merupakan suatu tujuan yang harus dicapai. Dan untuk
menuju yang tidak dilahirkan, tidak diciptakan, tidak menjelma, dan tak
berkondisi itu, kita perlu mengikis habis kekotoran-ketoran batin yang ada
dalam diri kita. Dengan demikian kita akan dapat menuju Tuhan. Untuk itu,
satu-satunya musuh yang layak untuk kita kalahkan adalah diri kita sendiri. Apa
yang dikalahkan? Keserakahan, kebencian, dan kebodohan yang ada dalam diri kita
ini. Dengan demikian kita akan dapat mencapai tujuan, yang disebut sebagai
Nibbana.
Apakah orang
yang telah mencapai tujuan (Nibbana) seperti Buddha dan para siswa-siswa beliau
berarti menjadi Tuhan? Bagaimana menurut anda, jika saya memiliki tujuan ke pasar,
sehingga saya melukan usaha-usaha untuk mencapai tujuan itu, misalkan dengan
berjalan atau mengendarai kendaraan sehingga saya bisa sampai kepasar. Apakah ketika
saya sampai di pasar saya menjadi pasar? Tentu tidak. Demikian pula dengan
pencapaian Nibbana, bukan berarti mereka yang telah mencapai Nibbana lalu
menjadi Tuhan.
Lalu, pada
siapa umat Buddha berdoa dan meminta? Umat Buddha berdoa dengan cara berbeda,
bukan dengan cara meminta, tetapi dengan pengharapan. Salah satu doa yang paling umum dan mudah dijumpai di
kalangan umat Buddha adalah “semoga semua makhluk berbahagia”. Sebuah kalimat
pendek namun sarat akan makna. Agak aneh memang, umat Buddha yang terbiasa
menggunakan patung, tapi justru tidak pernah meminta dalam doa-doanya. Patung hanyalah
simbol, alarm yang mengingatkan kita untuk selalu menjadikan Buddha sebagai
teladan hidup.
Semoga ini
dapat memberikan pemahaman tentang sedikit cara pikir Buddhisme pada semua yang
membaca, sehingga dapat memperluas pengetahuan dan kebijaksanaan untuk dapat
menjadi lebih baik lagi. Sekali lagi, ini adalah doa saya, harapan saya, bukan
permintaan saya.
Sabbe satta bhavantu sukhitatta
Semoga semua makhluk hidup
berbahagia
Sadhu… sadhu… sadhu…
Somo Wibowo
Mempawah, Oktober 2019
Tidak ada komentar:
Posting Komentar