Oleh Bhikkhu Uttamo
Umat Buddha kadang dianggap masyarakat luas sebagai orang yang tidak
bertuhan. Agama Buddha sering pula dikatakan sebagai agama yang tidak
bertuhan. Bahkan,
pada suatu pertemuan dengan para pemuka agama, saya pernah menerima pernyataan dari pemuka agama lain bahwa Agama Buddha tidak bertuhan. Menanggapi pernyataan yang bersifat tuduhan ini, saya jawab dengan pertanyaan lain: ”Manakah agama di Indonesia yang bertuhan?”
Tentu saja para pemuka agama itu langsung tersentak kaget dan merah padam mukanya. Mereka seolah tidak percaya dengan pertanyaan saya tersebut. Namun, saya segera melanjutkan dengan keterangan bahwa istilah ‘tuhan’ sesungguhnya berasal dari Bahasa Kawi. Oleh karena itu, pengertian kata ‘tuhan’ terdapat dalam kamus Bahasa Kawi. Disebutkan dalam kamus tersebut bahwa ‘tuhan’ berarti penguasa atau tuan. Dan, karena di Indonesia tidak ada agama yang mempergunakan Bahasa Kawi sebagai bahasa kitab sucinya, lalu agama manakah di Indonesia yang bertuhan dan mencantumkan istilah ‘tuhan’ dalam kitab suci aslinya? Menyadari kebenaran tentang bahasa asal kitab suci masing-masing, barulah mereka menerima bahwa memang tidak ada istilah ‘tuhan’ dalam kitab suci mereka. Jika demikian dalam Tipitaka, kitab suci Agama Buddha, tentu juga tidak akan pernah ditemukan istilah ‘tuhan’ karena Tipitaka menggunakan Bahasa Pali yaitu bahasa yang dipergunakan di India pada jaman dahulu. Namun, tidak adanya istilah ‘tuhan’ dalam kitab suci Tipitaka tentunya tidak boleh dengan mudah dan sembarangan kemudian orang menyebutkan bahwa ‘Agama Buddha tidak bertuhan’. Salah pengertian dan penafsiran sedemikian sembrono tentunya berpotensi menjadi pemicu pertentangan antar umat beragama di Indonesia bahkan di berbagai belahan dunia.
pada suatu pertemuan dengan para pemuka agama, saya pernah menerima pernyataan dari pemuka agama lain bahwa Agama Buddha tidak bertuhan. Menanggapi pernyataan yang bersifat tuduhan ini, saya jawab dengan pertanyaan lain: ”Manakah agama di Indonesia yang bertuhan?”
Tentu saja para pemuka agama itu langsung tersentak kaget dan merah padam mukanya. Mereka seolah tidak percaya dengan pertanyaan saya tersebut. Namun, saya segera melanjutkan dengan keterangan bahwa istilah ‘tuhan’ sesungguhnya berasal dari Bahasa Kawi. Oleh karena itu, pengertian kata ‘tuhan’ terdapat dalam kamus Bahasa Kawi. Disebutkan dalam kamus tersebut bahwa ‘tuhan’ berarti penguasa atau tuan. Dan, karena di Indonesia tidak ada agama yang mempergunakan Bahasa Kawi sebagai bahasa kitab sucinya, lalu agama manakah di Indonesia yang bertuhan dan mencantumkan istilah ‘tuhan’ dalam kitab suci aslinya? Menyadari kebenaran tentang bahasa asal kitab suci masing-masing, barulah mereka menerima bahwa memang tidak ada istilah ‘tuhan’ dalam kitab suci mereka. Jika demikian dalam Tipitaka, kitab suci Agama Buddha, tentu juga tidak akan pernah ditemukan istilah ‘tuhan’ karena Tipitaka menggunakan Bahasa Pali yaitu bahasa yang dipergunakan di India pada jaman dahulu. Namun, tidak adanya istilah ‘tuhan’ dalam kitab suci Tipitaka tentunya tidak boleh dengan mudah dan sembarangan kemudian orang menyebutkan bahwa ‘Agama Buddha tidak bertuhan’. Salah pengertian dan penafsiran sedemikian sembrono tentunya berpotensi menjadi pemicu pertentangan antar umat beragama di Indonesia bahkan di berbagai belahan dunia.
Sebagai contoh sederhana tentang hal ini adalah penggunaan istilah
‘telunjuk’ untuk salah satu jari tangan manusia. Dalam kamus Bahasa
Indonesia, kata ‘telunjuk’ pasti dengan mudah dapat diketemukan karena
memang kata tersebut berasal dari Bahasa Indonesia. Namun, dalam kamus
Bahasa Inggris, tidak mungkin dapat dijumpai istilah ‘telunjuk’. Kenyataan yang bertolak belakang ini tentu saja tidak mengkondisikan orang secara sembarangan menyimpulkan bahwa semua orang yang berbahasa Inggris tidak mempunyai telunjuk. Sebuah kesimpulan yang aneh dan tidak masuk akal. Kesimpulan sembarangan semacam ini pasti akan menjadi bahan tertawaan orang banyak.
Bahasa Inggris, tidak mungkin dapat dijumpai istilah ‘telunjuk’. Kenyataan yang bertolak belakang ini tentu saja tidak mengkondisikan orang secara sembarangan menyimpulkan bahwa semua orang yang berbahasa Inggris tidak mempunyai telunjuk. Sebuah kesimpulan yang aneh dan tidak masuk akal. Kesimpulan sembarangan semacam ini pasti akan menjadi bahan tertawaan orang banyak.
Sayangnya, pemahaman seperti ini tidak berlaku untuk konsep ketuhanan
dalam Agama Buddha. Ketika Agama Buddha tidak pernah menyebutkan
istilah ‘tuhan’ dalam berbagai upacara ritual, maka secara sembarangan,
masyarakat telah ‘menuduh’ bahwa Agama Buddha tidak bertuhan. Padahal,
dalam Agama Buddha yang menggunakan kitab suci berbahasa Pali, konsep
ketuhanan yang dimaksud mempergunakan istilah Nibbana atau lebih dikenal secara luas sebagai Nirvana (Bahasa Sanskerta). Jadi, seseorang tidak akan pernah menemukan istilah ‘tuhan’ dalam Tipitaka, melainkan istilah ‘nibbana’. Nibbana inilah yang sering dibabarkan oleh Sang Buddha di berbagai kesempatan kepada bermacam-macam lapisan masyarakat. Nibbana
ini pula yang menjadi tujuan akhir seorang umat Buddha, sama dengan
berbagai konsep ketuhanan dalam agama lain yang juga menjadi tujuan
akhir mereka masing-masing. Seperti telah diketahui bersama bahwa Ajaran
Sang Buddha mengenal adanya tiga tujuan hidup umat Buddha yaitu
pertama, mendapatkan kebahagiaan di dunia. Kedua, kebahagiaan karena
terlahir di alam surga atau alam bahagia setelah meninggal dunia.
Ketiga, kebahagiaan tertinggi yaitu Nibbana atau Nirvana yang dapat dicapai ketika seseorang masih hidup di dunia ataupun setelah ia meninggal nanti.
Kebahagiaan yang pertama adalah kebahagiaan duniawi yang dapat
diwujudkan di dunia ini setelah seseorang mengenal dan melaksanakan
Buddha Dhamma. Apabila setelah mengenal Dhamma, seseorang semakin susah
hidupnya, maka berarti Dhamma yang lebih dikenal sebagai Agama Buddha
itu belum memberikan manfaat baginya. Kebahagiaan tahap pertama ini
diukur dengan adanya rasa cukup, paling tidak, untuk empat kebutuhan
pokok paling mendasar yaitu pakaian, makanan, tempat tinggal serta
sarana kesehatan. Pengertian ‘cukup’ yang dimaksudkan di sini tentu saja
sangat relatif sifatnya. Cukup bagi seseorang mungkin saja kekurangan
bagi orang lain. Oleh karena itu, dalam Dhamma, istilah ‘cukup’ ini
diukur paling bawah atau secara minimal dari rasa cukup yang dimiliki
oleh para bhikkhu. Dengan demikian, seorang umat yang mempunyai lebih
daripada yang dimiliki bhikkhu, maka sesungguhnya ia sudah dapat disebut
sebagai cukup. Kalaupun umat tersebut masih merasa tidak cukup, mungkin
saja hal ini berhubungan dengan kebutuhan yang berbeda atau bahkan
ketamakan yang dimiliki.
Para bhikkhu dalam menjalani hidup sebagai pertapa masih membutuhkan
empat kebutuhan pokok yaitu jubah, makanan, tempat tinggal dan
obat-obatan. Keperluan jubah seorang bhikkhu hanya satu set saja. Dengan
demikian, jika seorang bhikkhu mampu hidup menggunakan satu set jubah
selama bertahun-tahun, maka seorang umat yang memiliki lebih dari satu
set pakaian, misalnya tujuh set untuk tujuh hari dalam seminggu, maka ia
bisa dianggap telah cukup. Namun, apabila ia telah memiliki banyak
sekali pakaian dan masih juga merasa belum cukup, maka hal ini lebih
disebabkan oleh ketamakan yang dimilikinya.
Demikian pula dengan kebutuhan makanan. Kehidupan seorang bhikkhu
ditopang dengan makanan yang diperoleh dari persembahan umat. Pada
umumnya, seorang bhikkhu hanya makan sekali atau dua kali sebelum tengah
hari. Oleh karena itu, jika seorang umat sudah mampu menyediakan diri
dan keluarganya makanan lebih dari dua kali sehari, sesungguhnya ia
sudah dapat dikatakan cukup. Namun, apabila ia masih merasa belum cukup
ketika makanan yang ia miliki telah berlebihan, maka perasaan ini timbul
sebagai akibat dari ketamakan yang ia miliki selama ini.
Kebutuhan tempat tinggal seorang bhikkhu dapat tercukupi dengan
tinggal di dalam goa ataupun gubuk sederhana. Oleh karena itu, apabila
seorang umat telah mampu memiliki satu unit rumah walaupun sederhana,
sebenarnya ia telah dapat disebut cukup. Berlebihan dalam penyediaan
rumah bisa dikatakan sebagai tanda ketamakan.
Akhirnya, kecukupan sarana kesehatan menjadi sumber kebahagiaan
duniawi yang keempat setelah pakaian, makanan maupun tempat tinggal.
Untuk menjaga kesehatan maupun mengobati penyakit, seorang bhikkhu
sesuai dengan peraturan kebhikkhuan diperkenankan mempergunakan urine
sendiri. Tradisi ini sebenarnya dimasa sekarang lebih dikenal dengan
istilah ‘terapi urine’. Jadi, apabila seorang umat telah mampu membeli
obat, walaupun generik, ia sesungguhnya sudah dapat disebut cukup.
Namun, apabila ia berlebihan dalam pengadaan sarana kesehatan sehingga
cenderung boros, maka ia termasuk telah dipengaruhi oleh nafsu
ketamakan.
Terkait dengan tujuan hidup umat Buddha yang pertama yaitu hidup
bahagia di dunia dengan kecukupan pakaian, makanan, tempat tinggal
maupun sarana kesehatan, maka banyak sekali catatan uraian Dhamma Sang
Buddha tentang mencari nafkah, mempertahankan dan meningkatkan kekayaan
maupun upaya membina hidup rumah tangga bahagia dan harmonis. Dengan
melaksanakan uraian Dhamma yang telah disampaikan oleh Sang Buddha dan
dicatat dalam Kitab Suci Tipitaka, maka para umat Buddha diharapkan
mempunyai pedoman hidup yang jelas serta pasti untuk bekerja dan berumah
tangga. Dengan demikian, ia akan mendapatkan kecukupan materi, bahkan
berlimpah dengan materi namun rumah tangga serta kondisi batin tetap
bahagia.
Selanjutnya, tujuan hidup umat Buddha yang kedua setelah merasa cukup
bahagia hidup di dunia adalah mengarahkan kehidupannya agar setelah
meninggal dunia ia terlahir di alam surga. Tujuan terlahir di alam surga
ini menjadi tujuan kedua agar memberikan kesempatan para umat Buddha
membuktikan terlebih dahulu manfaat Ajaran Sang Buddha dalam kehidupan
ini. Apabila memang benar ia telah memetik manfaat Buddha Dhamma dengan
mendapatkan kebahagiaan duniawi, tentu akan tumbuh keyakinan yang kuat
dalam dirinya kepada Ajaran Sang Buddha. Ia akan lebih bersemangat
melaksanakan Dhamma agar ia terlahir di alam bahagia sebagai tujuan
hidup yang berikutnya. Pembuktian mencapai kebahagiaan di dunia ini
menjadi sangat penting karena pembuktian kelahiran di surga jauh lebih
sulit dilakukan semasa seseorang masih hidup di dunia. Kelahiran di alam
surga sering menjadi pengetahuan umum maupun kepercayaan membuta yang
diperoleh dari berbagai kitab suci yang ada dalam masyarakat. Disini
Buddha Dhamma berusaha memberikan bukti, bukan hanya sekedar janji.
Tidak adanya manfaat memiliki kepercayaan membuta tanpa bukti atas
kelahiran di surga ini dapat diperjelas dengan perumpamaan cinta seorang
pria terhadap gadis pujaannya. Tersebutlah sebuah kisah tentang seorang
gadis yang cantik jelita. Kecantikannya telah terkenal di mana-mana.
Setiap hari, banyak pemuda datang mengharapkannya sebagai istri. Mereka
datang dengan membawa berbagai buah tangan sebagai penarik hati si gadis
itu. Akhirnya, dari sekian banyak pria yang melamar, gadis tersebut
memilih salah satu diantaranya. Ketika si pria yang diterima lamarannya
ini bertanya, kapan mereka akan menikah. Si gadis menjawab, “Nanti
setelah kita mati”. Sebuah jawaban yang aneh dan tidak ada gunanya.
Ketika mereka mati, kapan mereka memiliki kesempatan untuk hidup dan
berbahagia bersama? Tidak masuk akal memang. Sayangnya, jawaban semacam
ini dianggap tidak aneh dan tetap layak dipercaya ketika seseorang
mendapatkan janji tanpa bukti bahwa seseorang akan terlahir di surga
setelah ia meninggal dunia. Justru karena untuk membuktikan terlebih
dahulu, Buddha Dhamma memberikan kesempatan kepada mereka yang mau
mempelajari dan melaksanakan Dhamma mendapatkan kebahagiaan duniawi
sebelum mereka membicarakan kebahagiaan surgawi.
Adapun kebahagiaan surgawi yang dicapai setelah mendapatkan
kebahagiaan duniawi dapat diperoleh para umat Buddha dengan
mengkondisikan timbulnya kebahagiaan duniawi kepada mereka yang
membutuhkan. Umat Buddha hendaknya sering melakukan kebajikan dengan
membagikan kelebihan pakaian, makanan, tempat tinggal maupun sarana
kesehatan yang telah ia miliki dan ia telah merasa cukup dengan hal itu.
Disinilah peran rasa cukup yang mampu mengatasi ketamakan menjadi
sangat penting. Dari tindakan ini pula dapat dibedakan pengaruh cukup
atau tamak terhadap diri seseorang. Mereka yang dipengaruhi oleh
ketamakan tidak akan pernah merasa cukup dan tidak ingin berbagi kepada
mereka yang membutuhkannya. Sedangkan mereka yang merasa cukup tidak
akan pernah menyia-nyiakan setiap kesempatan untuk berbagi dan terus
berbagi kepada mereka yang membutuhkan. Dengan sering berbagi, maka umat
pun terlatih untuk memperbanyak kebajikan melalui badan, ucapan serta
pikiran. Banyaknya kebajikan yang telah dilakukan inilah yang akan
menjadi jalan lebar serta lurus untuk seseorang terlahir di alam surga
setelah kematiannya.
Akhirnya, karena seseorang telah mampu membuktikan pencapaian
kebahagiaan duniawi dengan melaksanakan Dhamma, ia pun telah merasakan
kebahagiaan karena mampu berbagi, maka tahap ketiga sebagai tujuan
hidupnya adalah berusaha mencapai Nibbana atau Nirvana atau Tuhan Yang Mahaesa dalam kehidupan ini juga maupun kehidupan yang selanjutnya.
Untuk memahami konsep ketuhanan dalam Agama Buddha, perlu dimengerti
terlebih dahulu bahwa dalam masyarakat pada umumnya terdapat dua cara
pendekatan. Pertama, Tuhan dikenal melalui bentuk manusia. Oleh karena
itu, tidak jarang dijumpai istilah “Tuhan melihat umatNya”, atau “Tuhan
mendengar doa umatNya” serta masih banyak lainnya. Pendekatan kedua,
Tuhan dikenal melalui sifat manusia. Misalnya, “Tuhan marah”, “Tuhan
cemburu”, “Tuhan mengasihi”, “Tuhan adil”, serta masih banyak istilah
sejenis lainnya. Berbeda dengan yang telah disampaikan, Ketuhanan dalam
Agama Buddha tidak menggunakan kedua cara di atas. Agama Buddha
menggunakan aspek ‘nafi’ atau penolakan atas segala sesuatu yang dapat
dipikirkan oleh manusia. Jadi, pengertian Nibbana atau Tuhan
dalam Agama Buddha adalah “Yang tidak terlahirkan”, “Yang tidak
menjelma”, “Yang tidak bersyarat”, “Yang tidak kondisi”. “Yang tidak
terpikirkan”, serta masih banyak kata ‘tidak’ lainnya. Secara singkat,
Tuhan atau Nibbana adalah mutlak, tidak ada kondisi apapun
juga. Pendekatan yang berbeda ini sehubungan dengan ketidakmampuan
bahasa manusia untuk menceritakan segala sesuatu bahkan hal sederhana
yang ada di sekitar hidup manusia. Misalnya, seseorang tidak akan pernah
mampu menceritakan rasa maupun bentuk durian kepada orang yang sama
sekali belum pernah melihat durian. Sepandai apapun juga orang itu
bercerita, si pendengar tetap mengalami kesulitan untuk membayangkannya,
apalagi jika membahas mengenai bau durian yang khas. Pasti tidak
mungkin terceritakan. Untuk itu, cara yang jauh lebih mudah menjelaskan
hal ini adalah dengan membawa contoh durian asli untuk dikenalkan kepada
si pendengar. Setelah melihat bendanya, mencium aromanya, si pendengar
pasti segera menganggukkan kepada penuh pengertian.
Demikian pula dengan konsep ketuhanan dalam Agama Buddha. Apabila
rasa, bentuk maupun warna durian yang mudah dijumpai saja tidak mampu
diceritakan, maka tentunya kini sudah dapat dimengerti penyebab Dhamma
mempergunakan istilah ‘tidak terpikirkan’ untuk menceritakan Nibbana.
Hanya saja, menyebutkan ‘tidak terpikirkan’ bukan berarti tidak ada.
Sama dengan kesulitan menceritakan rasa durian di atas; tidak bisa
diceritakan bukan berarti tidak ada. Untuk menjelaskan durian, perlu
dibuktikan sendiri. Untuk memahami Nibbana, perlu dijalani sendiri.
Jalan yang harus ditempuh itu dikenal sebagai Jalan Mulia Berunsur
Delapan. Jalan Mulia Berunsur Delapan sesungguhnya hanya merupakan satu
jalan saja. Namun, satu jalan ini terdiri dari delapan unsur yaitu
Pengertian Benar, Pikiran Benar, Ucapan Benar, Perbuatan Benar,
Penghidupan Benar, Daya Upaya Benar, Perhatian Benar dan Konsentrasi
Benar. Jalan Mulia inilah yang diajarkan Sang Buddha ketika Beliau
pertama kali mengajarkan Dhamma di dunia. Karena seorang umat Buddha
harus melaksanakan dan menjalani sendiri Jalan Mulia Berunsur Delapan
agar dapat memahami Ketuhanan Yang Mahaesa atau Nibbana, maka dalam
Ajaran Sang Buddha dikenal istilah “datang dan buktikan” atau ehipassiko (Bhs. Pali).
Jalan Mulia Berunsur Delapan yang telah disebutkan di atas adalah
merupakan salah satu unsur dari Ajaran Pokok Sang Buddha yang dikenal
dengan Empat Kesunyataan Mulia. Seperti nama yang dipergunakan, Empat
Kesunyataan Mulia terdiri dari empat kondisi yang pasti dialami oleh
semua mahluk hidup. Kesunyataan pertama menyebutkan kenyataan bahwa
hidup berisikan ketidakpuasaan. Ketidakpuasan ini disebabkan karena
keinginan untuk selalu bertemu dan berkumpul dengan mereka yang dicintai
dan keinginan untuk tidak berjumpa dengan mereka yang tidak disukai.
Kesunyataan kedua menganalisa bahwa ketidakpuasan tersebut disebabkan
oleh keinginan. Semakin kuat keinginan, semakin kuat pula ketidakpuasan
yang dialami. Sebaliknya, semakin lemah keinginan, semakin lemah pula
ketidakpuasan yang timbul dalam batin seseorang. Kesunyataan ketiga
memberikan penalaran bahwa terkendalinya keinginan akan menyebabkan
hilangnya ketidakpuasan sehingga seseorang mencapai Nibbana.
Dan, kesunyataan keempat memberikan cara atau satu jalan yang memiliki
delapan unsur untuk mengendalikan keinginan serta melenyapkan
ketidakpuasan. Agar mendapatkan gambaran yang lebih jelas, maka
masing-masing kesunyataan mulia ini akan sepintas dibahas secara umum.
Kesunyataan Mulia yang pertama menyebutkan bahwa hidup berisikan
ketidakpuasan. Ketidakpuasan ini muncul karena dalam kehidupan selalu
terkondisi untuk berpisah dengan segala hal yang dicinta dan bertemu
dengan segala hal yang tidak disuka. Maksud dari segala hal yang dicinta
dan tidak disuka ini dalam arti yang seluas-luasnya. Dengan demikian,
pengertian tersebut dapat meliputi orang, benda, suasana dsb. Misalnya,
seseorang pada mulanya bisa saja duduk bersila di lantai dengan nyaman,
namun pada saat berikutnya ia mungkin merasakan kesemutan yang
menyakitkan. Perasaan ini timbul karena ia telah berpisah dengan kondisi
yang dicinta yaitu nyaman duduk bersila di lantai dan bertemu dengan
kondisi yang tidak dicinta yaitu rasa sakit akibat kesemutan. Demikian
pula dengan rasa tidak nyaman akibat lapar. Kondisi ini timbul akibat
berpisah dengan yang dicinta yaitu rasa tidak lapar dan bertemu dengan
kondisi yang tidak disuka yaitu rasa lapar. Jadi, kondisi bertemu dengan
yang tidak disuka dan berpisah dengan yang disuka ini selalu muncul
berbarengan bagaikan dua sisi tangan yang terlihat berbeda apabila
dipandang dari dua arah. Namun, kedua perbedaan sudut pandang ini tetap
saja melihat satu bagian yang sama yaitu telapak tangan.
Sang Buddha mengerti dengan jelas bahwa sumber ketidakpuasan yang
dialami ini adalah dari keinginan yang tidak tercapai untuk selalu
bertemu dengan yang dicinta dan tidak bertemu dengan yang tidak disuka.
Oleh karena itu, Kesunyataan Mulia yang kedua menyebutkan bahwa
keinginan adalah sumber ketidakpuasan. Semakin kuat keinginan seeorang
untuk mempertahankan kondisi yang dicintai, maka semakin besar pula rasa
ketidakpuasan yang ia alami. Demikian pula, semakin kuat penolakan
terhadap pertemuan dengan kondisi yang tidak menyenangkan akan
memperberat rasa ketidakpuasan yang timbul dalam batinnya. Dalam contoh
di atas, semakin seseorang gelisah atas rasa kesemutan yang ia alami,
maka semakin memuncak rasa ketidakpuasannya terhadap kondisi tubuhnya
yang terbatas tersebut. Semakin seseorang menolak rasa lapar yang memang
sudah timbul, semakin parah pula rasa lapar menyerangnya.
Oleh karena itu, pembabaran Sang Buddha selanjutnya adalah
Kesunyataan Mulia yang ketiga bahwa ketidakpuasan dapat diatasi apabila
keinginan dapat dikendalikan. Pengendalian keinginan ini dicapai dengan
pemahaman bahwa hidup adalah proses yang berkesinambungan. Tidak ada
kekekalan di alam semesta ini. Hanya ketidakkekalan itulah yang kekal.
Dengan demikian, ada pertemuan pasti ada perpisahan. Ketika seseorang
bertemu dengan kondisi nyaman duduk bersila di lantai, maka seiring
dengan berjalannya waktu, ia pun pasti akan bertemu dengan kondisi tidak
nyaman duduk di lantai yaitu kesemutan. Demikian pula ketika ia merasa
nyaman ‘bertemu’ dengan rasa tidak lapar, maka suatu saat sesuai dengan
berjalannya waktu, ia pasti akan ‘bertemu’ dengan rasa lapar. Segala
bentuk keinginan yang menimbulkan ketidakpuasan tersebut akan dapat
diatasi apabila seseorang mampu memahami ketidakkekalan ini.
Akhirnya, sebagai Kesunyataan Mulia yang Keempat, diuraikan Sang
Buddha tentang Jalan Mulia Berunsur Delapan yang menjadi kunci
pelaksanaan seseorang untuk dapat mengendalikan keinginannya.
Pelaksanaan Jalan Mulia inilah yang seharusnya dikerjakan dengan tekun
dan penuh semangat oleh para umat serta simpatisan Buddhis agar hidupnya
mencapai kebahagiaan. Kebahagiaan yang bisa diperoleh, seperti yang
telah diuraikan sebelumnya, adalah kebahagiaan duniawi, kemudian,
kebahagiaan setelah meninggal dunia dengan terlahir di salah satu alam
surga atau bahkan tentu saja kebahagiaan tertinggi yaitu terbebas dari
kelahiran kembali yakni ketika seseorang mencapai Nibbana atau Tuhan Yang Mahaesa dalam Agama Buddha.
Dasar pelaksanaan Jalan Mulia Berunsur Delapan diawali dengan latihan
kemoralan. Paling tidak, sebagai awal, terdapat lima latihan kemoralan
yang dapat dilakukan yaitu upaya menghindari tindakan pembunuhan,
pencurian, perjinahan, bohong dan mabuk-mabukan. Latihan mengendalikan
diri terhadap lima perilaku tidak benar ini mengkondisikan seseorang
untuk selalu menyadari segala tingkah laku badan dan ucapan yang sedang
dikerjakan. Semakin sering seseorang mampu mengembangkan kesadaran atas
tindakan serta ucapannya, maka ia pun semakin terkondisi untuk
memperhatikan serta menyadari segala bentuk gerak gerik pikiran yang
menjadi sumber tindakan badan maupun ucapan yang dilakukannya. Perhatian
pada gerak gerik pikiran inilah yang akan mengkondisikan seseorang
menyadari bahwa kenyataan hidup adalah saat ini. Secara bertahap dengan
mempunyai kesadaran ini, seseorang akan semakin berkurang kemelekatannya
pada masa lampau maupun masa depan. Masa lampau hanyalah tinggal
kenangan sebagai bagian dari upaya pembelajaran untuk diperbaiki maupun
ditingkatkan di masa sekarang. Sedangkan masa depan masih berupa rencana
maupun impian yang harus segera dilaksanakan sedikit demi sedikit di
masa sekarang. Dengan demikian, masa sekarang menjadi masa yang sangat
penting sekali untuk selalu meningkatkan kualitas diri secara lahir
maupun batin. Pemahaman yang kuat bahwa kenyataan hidup adalah saat ini
menjadikan seseorang secara perlahan-lahan akan berkurang
kemelekatannya. Batinnya menjadi tenang seimbang menghadapi segala
perubahan yang dijumpainya. Bahkan, pada akhirnya ia mampu membebaskan
diri dari kemelekatan sehingga batinnya pun terbebas dari ketamakan,
kebencian serta kegelapan. Kegelapan batin yang dimaksudkan di sini
adalah ketidaktahuan seseorang bahwa kenyataan hidup adalah tidak kekal
dan hanya merupakan proses berkesinambungan. Dengan demikian, ia tidak
lagi melekat dengan proses yang terus menerus berubah ini. Pengertian
inilah yang membawa seseorang terbebas dari kelahiran kembali atau
mencapai Nibbana yang tidak bisa diceritakan karena kemutlakannya. Sama
sekali tidak bersyarat. Hanya saja, walaupun tidak bisa diceritakan,
ternyata Nibbana mampu dicapai oleh mereka yang dengan sungguh-sungguh
melaksanakan Jalan Mulia Berunsur Delapan.
Demikianlah Nibbana atau Tuhan Yang Mahaesa dalam Agama Buddha yang
tidak bisa diceritakan namun bisa dicapai dengan melaksanakan Jalan
Mulia Berunsur Delapan. Tentu saja akan timbul pertanyaan dalam diri
para umat serta simpatisan Buddhis bahwa apabila Nibbana atau
Tuhan dalam Agama Buddha tidak memiliki konsep seperti pemahaman umum
yang dikenal dalam masyarakat, lalu bagaimanakah umat Buddha seharusnya
berdoa?
Banyak orang sering menyebutkan secara keliru bahwa umat Buddha
melakukan sembahyang di vihara. Untuk itu, sebaiknya harus dimengerti
terlebih dahulu istilah ‘sembahyang’ yang sebenarnya terdiri dari dua
suku kata yaitu ‘sembah’ berarti menghormat dan ‘hyang’ yaitu dewa.
Dengan demikian, ‘sembahyang’ berarti menghormat, menyembah para dewa.
Apabila ‘sembahyang’ diartikan seperti itu, maka umat Buddha
sesungguhnya tidak melakukan sembahyang. Umat Buddha bukanlah umat yang
menghormat maupun menyembah para dewa. Umat Buddha mengakui keberadaan
para dewa dewi di surga, namun umat tidak sembahyang kepada mereka. Umat
Buddha juga tidak ‘berdoa’ karena istilah ini mempunyai pengertian ada
permintaan yang disebutkan ketika seseorang sedang berdoa. Umat Buddha
tentu saja tidak pernah meminta kepada arca Sang Buddha maupun kepada
fihak lain. Keterangan ini jelas menegaskan bahwa umat Buddha bukanlah
penyembah berhala karena memang tidak pernah meminta-minta apapun juga
kepada arca Sang Buddha, arca yang lain bahkan kekuatan di luar manusia
lainnya. Daripada disebut ‘sembahyang’ maupun ‘doa’, umat Buddha lebih
sesuai dinyatakan sedang melakukan ‘puja bakti’. Istilah puja bakti ini
terdiri dari kata ‘puja’ yang bermakna menghormat dan ‘bakti’ yang lebih
diartikan sebagai melaksanakan Ajaran Sang Buddha dalam kehidupan
sehari-hari.
Dalam melakukan puja bakti, umat Buddha melaksanakan tradisi yang
telah berlangsung sejak jaman Sang Buddha masih hidup yaitu umat datang,
masuk ke ruang penghormatan dengan tenang, melakukan namakara
atau bersujud yang bertujuan untuk menghormat kepada lambang Sang
Buddha, jadi bukan menyembah patung atau berhala. Kebiasaan bersujud ini
dilakukan karena Sang Buddha berasal dari India. Sudah menjadi tradisi
sejak jaman dahulu di berbagai negara timur termasuk India bahwa ketika
seseorang bertemu dengan mereka yang dihormati, maka ia akan melakukan
sujud yaitu menempelkan dahi ke lantai sebagai tanda menghormati mereka
yang layak dihormati dan menunjukkan upaya untuk mengurangi keakuan
sendiri.
Karena bersujud di depan altar ataupun arca Sang Buddha hanyalah
bagian dari tradisi, maka para umat dan simpatisan boleh saja tidak
melakukannya apabila batinnya tidak berkenan untuk melakukan tindakan
itu. Tidak masalah, karena sebentuk arca tidak mungkin menuntut dan
memaksa seseorang yang berada di depannya untuk bersujud. Namun, dengan
mampu bersujud, maka seseorang akan mempunyai kesempatan lebih besar
untuk berbuat baik dengan badannya. Ia belajar bersikap rendah hati.
Setelah memasuki ruangan dan bersujud, umat Buddha dapat duduk
bersila di tempat yang telah disediakan. Umat kemudian secara sendiri
atau bersama-sama dengan umat yang ada dalam ruangan tersebut membaca
paritta yaitu mengulang kotbah Sang Buddha. Diharapkan dengan
pengulangan kotbah Sang Buddha, umat mempunyai kesempatan untuk
merenungkan isi uraian Dhamma Sang Buddha serta berusaha melaksanakannya
dalam kehidupan sehari-hari. Dengan demikian, semakin lama seseorang
mengenal Dhamma, semakin banyak ia melakukan puja bakti, semakin banyak
kotbah Sang Buddha yang diulang, maka sudah seharusnya ia semakin baik
pula dalam tindakan, ucapan maupun pola pikirnya.
Salah satu contoh yang paling mudah ditemukan adalah kebiasaan umat membaca Karaniyametta Sutta
di vihara. Sutta atau kotbah Sang Buddha ini berisikan cara memancarkan
pikiran penuh cinta kasih kepada semua mahluk di setiap waktu, ketika
seseorang sedang berdiri, berjalan, berbaring, berdiam selagi ia tidak
tidur. Diharapkan, dengan sering membaca sutta tersebut seseorang akan
selalu berusaha memancarkan pikiran cinta kasih kepada lingkungannya. Ia
hendaknya menjadi orang yang lebih sabar dari sebelumnya. Disebutkan
pula dalam salah satu bait sutta tersebut bahwa jangan karena
marah dan benci mengharapkan orang lain celaka. Pengertian baris cinta
kasih ini sungguh sangat mendalam dan layak dilaksanakan. Dengan mampu
melaksanakan satu baris ini saja dalam kehidupan, maka batin seseorang
akan menjadi lebih tenang dan bahagia walaupun berjumpa dengan kondisi
yang tidak sesuai keinginannya. Ia akan menjadi orang yang mampu
mengendalikan dirinya. Dengan demikian, setiap kali ia hadir dan
berkumpul maka ia akan selalu membawa kebahagiaan untuk lingkungannya.
Itulah makna sesungguhnya dari pengertian ‘puja bakti’ yaitu
menghormat dan melaksanakan Ajaran Sang Buddha. Sekali lagi, umat Buddha
tidak berdoa, juga tidak sembahyang. Namun, sebagai manusia biasa,
adalah wajar apabila umat Buddha mempunyai keinginan atau permintaan,
misalnya ingin banyak rejeki, ingin kaya dsb. Jika demikian,
bagaimanakah yang dilakukan oleh umat Buddha agar keinginan atau harapan
yang ia miliki tersebut dapat tercapai?
Untuk mencapai keinginan yang dimiliki, secara tradisi umat Buddha
disarankan untuk melakukan kebajikan terlebih dahulu dengan badan,
ucapan dan juga pikiran. Setelah berbuat kebaikan, ia dapat mengarahkan
kebajikan yang telah dilakukan tersebut agar memberikan kebahagiaan
seperti yang diharapkan. Upaya mengarahkan buah kebajikan ini secara
tradisi biasanya dilakukan dalam tiga tahap. Seperti halnya menulis
surat tentu membutuhkan kalimat pembuka sebelum mengutarakan maksud atau
isi yang sesungguhnya sebelum ditutup dengan kalimat penutup. Demikian
pula kalau mendatangi rumah seseorang, maka biasanya diawali dengan
pembicaraan yang santai, ramah dan penuh persaudaraan sebelum membahas
masalah yang sesungguhnya. Setelah itu, barulah acara ramah tamah
ditutup kembali dengan hal yang ringan sebelum berpamitan pulang.
Demikian pula ketika umat Buddha menyampaikan keinginan ataupun
harapannya dalam upacara ritual Buddhis. Pada mulanya dibuka dengan
mengingat Ajaran Sang Buddha. Disebutkan ‘mengingat’ karena untuk
membedakan dengan istilah ‘memuji’. Dalam ritual Buddhis, tidak
dilakukan pujian kepada Sang Buddha karena tindakan tersebut tidak
bermanfaat. Sang Buddha sudah tidak terlahirkan kembali. Dengan
demikian, pujian tidak lagi memberikan pengaruh kepada Beliau. Oleh
karena itu, ingatan pada kotbah atau Ajaran Sang Buddha dirumuskan
sebagai, “Sesuai dengan benih yang ditabur, demikian pula buah yang akan
dituai. Menanam kebajikan akan tumbuh kebahagiaan.” Perenungan atau
ingatan ini berhubungan dengan Hukum Sebab dan Akibat atau lebih dikenal
dengan Hukum Kamma. Setelah dibuka dengan perenungan, selanjutnya
diungkapkan harapan atau keinginan yang dimiliki dengan menyebutkan,
“Semoga dengan semua kebaikan yang telah saya lakukan sampai saat ini
akan membuahkan kebahagiaan dalam bentuk…… “ yang dapat diisi, misalnya :
banyak rejeki, panjang umur, sehat kuat dan bersemangat, serta masih
banyak lagi isian sesuai dengan keinginan yang dimiliki.
Dengan diawali perenungan pada hukum sebab dan akibat, maka seseorang
akan lebih menyadari bahwa apabila ia menginginkan kebahagiaan, ia
hendaknya melakukan kebajikan terlebih dahulu kepada fihak lain. Seperti
halnya tanam padi akan panen padi, demikian pula apabila seseorang
menanam kebajikan, ia pun akan memetik kebahagiaan. Jika ia menanam
pelepasan mahluk dari penderitaan, maka ia pun akan terlepas dari
berbagai kesulitan yang sedang dihadapi. Demikian seterusnya. Apabila
telah cukup banyak kebajikan yang dilakukan, maka tentu kebahagiaan
seperti yang diharap pun akan dapat terwujud. Kalaupun masih ada
keinginan yang belum terwujud, ia akan selalu bersemangat untuk
melakukan kebajikan karena ia telah menyadari bahwa semua kebajikan yang
ia lakukan tidak akan pernah hilang begitu saja.
Apabila ungkapan permintaan itu telah dibuka dan didahului dengan
perenungan pada Hukum Kamma atau Hukum Sebab dan Akibat, maka sebagai
penutup umat Buddha dapat mengucapkan berkali-kali kalimat, “Semoga
semua mahluk berbahagia’ yang artinya, ia sendiri adalah mahluk, semoga
ia bahagia dengan tercapai segala harapannya. Keluarganya juga mahluk,
semoga keluarganya bahagia sesuai dengan kondisi kamma mereka
masing-masing. Bahkan, musuh-musuhnya pun adalah mahluk, semoga mereka
semua berbahagia sesuai dengan keinginan yang mereka miliki. Dengan
mengucapkan kalimat penutup seperti ini, maka umat Buddha diarahkan
untuk mengingat kebahagiaan fihak lain selain diri sendiri. Kebahagiaan
kepada fihak lain ini diwujudkan dengan memancarkan pikiran cinta kasih
kepada semua mahluk, bahkan kepada para musuhnya. Sesungguhnya, dengan
seseorang mampu mengharapkan semua mahluk berbahagia, maka dirinya
sendiri pun akan mendapatkan kebahagiaan sesuai dengan harapan yang
telah dimiliki selama ini.
Jadi, secara lengkap, rumusan ungkapan permintaan ataupun ‘doa’ dalam
tradisi Buddhis ini terdiri tiga tahap seperti yang telah diuraikan di
atas yaitu: “ Sesuai dengan benih yang ditabur demikian pula buah yang
dituainya, menanam kebajikan maka akan memperoleh kebahagiaan. Semoga
dengan semua kebaikan yang telah saya lakukan sampai saat ini akan
membuahkan kebahagiaan dalam bentuk ….. (diisi: panjang umur, sehat,
sukses dsb.). Semoga semua mahluk berbahagia.” Dengan rumusan ‘doa’
seperti ini, umat Buddha akan selalu bersemangat untuk mengembangkan
kebajikan melalui badan, ucapan dan juga pikiran karena ia sadar bahwa
kebahagiaan akan dapat dirasakan melalui upaya kebajikan yang ia
kerjakan. Ia tidak akan pernah menyalahkan fihak lain atas penderitaan
yang ia alami. Sebaliknya, ia pun tidak akan menganggap ada fihak lain
yang membuatnya bahagia. Suka duka adalah bagian dari buah perbuatan
yang ia lakukan selama ini. Ia akan selalu bersemangat untuk
melaksanakan lima latihan kemoralan yaitu berusaha tidak melakukan
pembunuhan, pencurian, perjinahan, bohong maupun mabuk-mabukan. Ia juga
akan tekun melaksanakan latihan pengembangan kesadaran atau meditasi.
Dengan demikian, ia akan selalu sadar pada saat ia sedang bertindak,
berbicara maupun berpikir. Kesadaran yang penuh akan hidup saat ini akan
mengkondisikan seseorang mencapai kebebasan dari ketamakan, kebencian
serta kegelapan batin. Pada tingkat inilah seseorang disebut mencapai
Nibbana atau Tuhan dalam Agama Buddha. Jadi, pencapaian Tuhan atau
Nibbana ini tidak harus dialami ketika seseorang telah meninggal, namun
juga bisa dalam kehidupan ini juga. Sekarang juga.
Sebagai kesimpulan, sudah jelas sekarang bahwa tujuan hidup seorang
umat Buddha adalah untuk mencapai kebahagiaan. Dalam Dhamma disebutkan
adanya tiga tujuan hidup yaitu berbahagia di dunia ini, berbahagia
setelah kehidupan ini yaitu mencapai alam surga atau alam bahagia
lainnya. Kemudian, sebagai tujuan hidup yang tertinggi adalah
kebahagiaan Nibbana atau Tuhan Yang Mahaesa. Tentu saja, Nibbana
bukan surga atau alam, namun terbebas dari kelahiran kembali yang dapat
dicapai dalam kehidupan ini juga. Agar seseorang dapat mencapai tujuan
hidup yang tertinggi yaitu Nibbana, maka ia hendaknya selalu berusaha
melaksanakan Jalan Mulia Berunsur Delapan secara terus menerus. Adapun
Jalan Mulia Berunsur Delapan itu adalah Pandangan Benar, Pikiran Benar,
Ucapan Benar, Perbuatan Benar, Mata Pencaharian Benar, Daya Upaya Benar,
Perhatian Benar dan Konsentrasi Benar. Dengan melaksanakan Jalan Mulia
Berunsur Delapan ini seseorang paling tidak akan merasakan kebahagiaan
dalam hidup ini. Dan, apabila timbul keinginan atau harapan, maka ia
dapat mengucapkan tekad yang terdiri dari tiga bagian yaitu pembuka, isi
serta penutup seperti yang telah diuraikan di atas.
Cara mengungkapkan harapan atau keinginan dalam tiga bagian tersebut
dapat dipergunakan dimanapun seseorang berada tanpa menimbulkan
pertentangan maupun permusuhan dengan fihak lain. Cara tersebut dapat
dipergunakan di berbagai tempat ibadah Buddhis maupun bukan.
Inilah yang perlu disampaikan pada kesempatan ini. Semoga uraian
Dhamma ini akan memberikan manfaat serta kebahagiaan untuk para umat dan
simpatisan Buddhis.
Semoga Anda semua berbahagia.
Semoga semua mahluk selalu berbahagia.
Semoga demikianlah adanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar