Minggu, 09 Juni 2013

Buddha dan Orang gila

Benar sekali apa yang pernah dikatakan seseorang tentang perbedaan antara seorang Buddha dan seorang biasa.
Katanya, “Perbedaan antara seorang Buddha dengan seorang biasa adalah seperti perbedaan antara orang waras dengan orang gila.”

Dilihat dari kacamata seorang Buddha, kita adalah orang-orang gila.
Karena dari sudut pandang yang tercerahkan, apa yang kita (orang awam) anggap sebagai kebahagiaan sesungguhnya adalah dukkha.
Selain itu, kita adalah orang-orang gila yang lucu.
Sebab kita sebenarnya orang-orang gila, tetapi kita menganggap diri kita waras,
dan kita seringkali bertengkar antar sesama kita untuk memperebutkan klaim kewarasan itu.

Kita hidup di dunia ini dalam waktu yang terbatas.
Tetapi bukannya mencoba untuk tidak kembali lagi,
kita justru menyibukkan diri dengan segala macam kegiatan-kegiatan yang kita anggap penting, yang kita anggap sangat berharga.
Padahal tanpa kita sadari, waktu terus berjalan dan umur semakin pendek, seperti nyala lilin yang makin lama makin redup.

Ada orang-orang gila yang menganggap bahwa cinta adalah urusan nomor satu di dunia ini.
Selama hidupnya ia memburu cinta, sengsara dan bahagia karena cinta, dan pada akhirnya mati karena cinta.
Ada orang-orang gila yang menganggap bahwa harta benda adalah hal yang paling berharga untuk diperjuangkan di dunia ini.
Orang-orang seperti ini tidak lagi menyadari bahwa ada sesuatu yang lebih berharga untuk diperjuangkan dibandingkan dengan materi.
Ada orang-orang gila yang gila kekuasaan. Baginya kekuasaan itu dapat mendatangkan segala macam kenikmatan duniawi,
kebahagiaan semu yang ia kira sebagai sejati.

Kita semua adalah orang-orang gila, dan satu-satunya alasan mengapa kita tidak tinggal di rumah sakit jiwa,
seperti ditulis oleh Anthony De Mello dalam salah satu cerita dari sebuah bukunya,
“karena jumlah kita yang terlalu banyak.”


Disadur dari :
Seri Dharmaputra Indonesia – Oleh: Chuang, Penerbit :Ehipassiko Collection
Ehipassiko Foundation

Tidak ada komentar:

Posting Komentar