Minggu, 09 Juni 2013

SAKKA PANHA SUTTA

SAKKA PANHA SUTTA
Mahasi Sayadaw
(Alih Inggris – Indonesia: Chandasili Nunuk Y. Kusmiana,
Editor: Samuel B. Harsojo, Edisi Pertama, Cetakan Pertama, Medio Juli 2003)

KATA PENGANTAR
Buku ini berisi terjemahan ceramah Mahasi Sayadaw tentang Sakka Panha Sutta. Sayadaw memberikan ceramah tentang Sakka Panha Sutta pada bulan desember 1977 dalam kunjungan tahunan para umat untuk mendengarkan pembabaran dhamma dari beliau. Permintaan ceramah diajukan oleh U Pwint Kaung. Ia adalah ketua organisasi pengembangan Buddha sasana.
Ketua organisasi itu mengharapkan Sayadaw memberikan suatu ceramah yang bersifat umum dan universal. Dengan alasan inilah Sayadaw memilih serangkaian tema ceramah yang diambil dari Sakka Panha Sutta.
Sutta ini bercerita kepada kita tentang percakapan Sang Buddha Gotama dengan raja dewa Sakka. Sakka bertanya asal muasal timbulnya konflik, rasa frustrasi dan penderitaan yang dialami semua mahluk. Sayadaw membahas panjang lebar tentang sutta ini. Dalam sutta ini terdapat kata-kata Sang Buddha tentang hal yang bisa membuat dunia damai sejahtera serta beberapa pesan penting di dalamnya.

Ceramah Sayadaw bersifat informatif serta mampu memberi pencerahan. Banyak dari pandangan beliau yang sangat penting untuk menumbuhkan pemahaman dalam praktek dhamma sehari-hari.
Disamping itu Sayadaw mengingatkan tentang hal lain yakni pengantar suatu sutta tidaklah sepenting inti ajaran itu sendiri. Hal ini beliau katakan sehubungan dengan kontroversi yang timbul dibelakang hari tentang Abhidhamma Pitaka. Dimana kitab terakhir ini tidak diakui oleh sekelompok umat Buddha karena ketiadaan pengantar di dalamnya. Padahal intisari Abhidhamma yang dibabarkan langsung oleh Sang Buddha melalui Sariputta Thera sangat penting.
Beliau juga membahas praktek hidup sehari-hari dari sekelompok umat yang telah menyimpang dari ajaran Sang Buddha. Seperti diketahui, saat ini ada sekelompok pemuka agama yang sering berpidato dengan penuh semangat dan berapi-api. Ada juga para umat yang memohon pertolongan dari kekuatan supra seperti kepada tuhan dan lain-lain. Malah ada lagi praktek penyembelihan massal sejumlah hewan pada suatu festival keagamaan di vihara. Penyembelihan hewan-hewan itu dimaksudkan sebagai tumbal. Sudah pasti perilaku semacam ini salah besar dan menyalahi aturan. Bandingkan dengan perilaku benar seperti praktek dhamma untuk memperoleh pandangan terang.
Pada bagian lain Sayadaw membabarkan intisari dari Sakka Panha Sutta sebagai sesuatu yang luar biasa. Beliau berceramah setelah banyak melakukan pengamatan yang rasional dari Tipitaka dan kitab-kitab komentar. Penjelasan beliau tentang bentuk pikiran yang menyedihkan dan bersifat depresif serta bagaimana menyikapinya bisa dijadikan inspirasi dari sementara yogi yang berkeyakinan rendah. Dimana keyakinan yang rendah ini muncul karena adanya hambatan pada praktek spiritual mereka. Penjelasan-penjelasan Sayadaw akan membantu para yogi untuk meneruskan latihannya kala menemukan hambatan ketika tengah berlatih vipassana.
Sesuatu yang penting disebutkan di sini, nilai mendasar yang dibahas di sini tidak sebatas hanya untuk umat Buddha saja tapi berhubungan erat dengan kehidupan manusia secara umum. Terlihat pula sutta materi dhamma yang sangat menyentuh masalah yang terjadi pada manusia dan mahkluk hidup lainnya dalam lingkaran kehidupan. Terakhir, bagi siapapun yang tengah melakukan praktek dhamma semoga bisa mengakhiri penderitaan.
Bhikkhu Indika (Nyaunggan)
Mahasi Dhammakathika
16, Sasanayeiktha, Rangoon
Diskusi tentang
SAKKA PANHA SUTTA
Sebelum membahas lebih jauh tentang Sakka Panha Sutta alangkah baiknya mengulas kata “Sakka Panha” sendiri. Dalam literatur-literatur Buddhisme, Sakka adalah nama yang diberikan pada raja para dewa. Sementara kata Panha berarti pertanyaan. Bila digabung Sakka-Panha artinya pertanyaan Sakka. Sakka Panha berisi tanya jawab tentang kesejahteraan mahluk hidup dalam lingkaran kehidupan. Tanya jawab ini berlangsung antara Sakka sebagai penanya dan Sang Buddha yang memberi tanggapan atas pertanyaan-pertanyaan raja para dewa itu.
Pertanyaan Sakka kepada Sang Buddha diawali sebagai berikut, “Yang Mulia, dalam lingkaran kehidupan terdapat mahkluk-mahkluk seperti para dewa, umat manusia, para asura, naga, gandhabba dan masih banyak mahkluk lainnya. Para mahkluk ini ingin bebas dari perselisihan, pertentangan, konflik bersenjata, kebencian dan ketidakbahagiaan”.
Sakka melanjutkan pertanyaannya, “Tapi, yang terjadi justru sebaliknya. Mereka tak bisa membebaskan diri dari hal-hal buruk semacam itu. Rantai belenggu (samyojana) macam apakah yang membuat para mahkluk tak bisa membebaskan diri dari hal-hal buruk demikian ini?”
Sakka tahu betul mengapa ia perlu mengajukan pertanyaan semacam ini. Mengingat apa yang selalu dialami dan dilihatnya di alam surga Tavatimsa dan Catumaharajika (dua wilayah kekuasaan Sakka). Kehidupan para dewa di dua alam surga ini sangat dikenal oleh Sakka. Bagaimana terbukti meski hidup dipenuhi kesenangan indrawi para dewa ini tak terbebas dari konflik dan perselisihan.
Sebagai misal para dewa di alam-alam asura adalah musuh bebuyutan dewa-dewa Tavatimsa. Mereka, para Asura, sering melakukan pertempuran dan penyerangan yang tak kenal henti kepada para dewa Tavatimsa seperti termuat dalam Dhajagga Sutta dan sutta lainnya. Diceritakan dalam berbagai sutta awalnya para Asura hidup di alam surga Tavatimsa.
Ada cerita tentang hal ini. Suatu kali beberapa dewa di alam surga Tavatimsa mulai bertingkah laku buruk seperti bermabuk-mabukan. Melihat tingkah laku tak perpuji ini Sakka memerintahkan para dewa ini untuk keluar dari wilayah Surga Tavatimsa. Segelintir dewa berkelakuan buruk ini kemudian bermukim di kaki gunung Meru. Beberapa dewa yang turun derajat ini kemudian dikenal dengan sebutan mahkluk-mahkluk Asura.
Tertulis juga dalam sutta-sutta itu gambaran tentang mahkluk-mahkluk lainnya. Seperti para naga, gandhabba juga yakka. Naga adalah sejenis ular raksasa yang mampu bekerja dengan kekuatan batin. Para gandhabba adalah para dewa dari alam Catumaharajika yang bertugas menari, bermain musik, membaca puisi dan melakukan aktifitas-aktifitas kesenian yang umum berlangsung di dunia para dewa. Ada juga satu mahluk setengah dewa setengah hewan yang disebut yakka. Yakka berpenampilan layaknya monster.
Sejatinya dalam benak para mahkluk baik para dewa, manusia dan mahkluk hidup lainnya muncul keinginan untuk berada dan menikmati suatu kehidupan yang penuh kedamaian. Mereka tak berharap menjadi musuh, seteru atau pecundang. Pendek kata ada keinginan yang sangat mendalam dari para mahkluk ini untuk tak menjadi musuh dari mahkluk hidup lain. Tidak juga mereka berharap untuk menjadi mahkluk yang suka menyakiti mahluk hidup lain, berlaku kasar, kejam, atau mengerahkan kekuatan jahat atas dorongan materi dan lainnya.
Singkatnya, semua mahkluk hidup menghendaki rasa aman, damai, terbebas dari rasa takut dan merasa berbahagia dalam jangka waktu lama. Tapi yang terjadi justru sebaliknya. Para mahluk ini selalu berada dalam “bahaya”, seperti larut dalam kesedihan berkepanjangan dan didera penderitaan. Apakah hal-hal yang menjadi sebab adanya situasi ini?
Saat ini kami mendengar suara-suara ramai di berbagai belahan dunia, hiruk pikuk masyarakat luas tentang keinginan untuk membentuk suatu dunia yang damai dan adanya kesejahteraan bagi seluruh umat manusia. Dunia kita akhirnya akan menjadi suatu dunia yang berbahagia jika kita bisa merealisir impian-impian ini. Tapi, faktanya, impian-impian untuk mengangkat harkat hidup manusia itu masih jauh dari impian semua orang. Bila keadaannya selalu demikian muncul pertanyaan, apa yang menyebabkan sulitnya keluar dari rasa frustrasi kita?
Menjawab pertanyaan Sakka, Sang Buddha menyebutkan dua kata, “Issa” dan “Macchariya” sebagai dua belenggu yang menjadi sebab utama ketidakbahagiaan semua mahkluk. Issa adalah perasaan cemburu atau iri hati. Perasaan iri hati inilah yang menjadi sebab munculnya kehendak-kehendak jahat kepada seseorang atau suatu mahkluk yang “berseberangan” dengan kita. Sedangkan macchariya adalah pikiran-pikiran picik, pikiran-pikiran buruk yang membuat kita enggan melihat pihak lain “lebih” dibanding kita. Bila dihubungkan dengan sesuatu yang bersifat materi macchariya berarti sifat kikir. Dua belenggu ini, issa dan macchariya, membuat kita merasa frustrasi dan mendatangkan kesedihan, bahaya, pertentangan, permusuhan, dan perkelahian.
Siapapun dia yang selalu dipenuhi perasaan iri hidupnya tidak bahagia meski ia selalu berkata ingin hidup damai dan bahagia. Kita umumnya suka iri kepada orang yang usahanya maju, kaya, punya kedudukan tinggi di pemerintahan atau punya banyak pengikut.
Ketidakbahagiaan dari orang yang selalu iri atas keberhasilan orang lain timbul karena hatinya dipenuhi oleh kehendak-kehendak buruk demikian. Rasa irinya melihat kesuksesan pihak lain “membakar” dirinya dari dalam. Banyak orang hidup menderita karena dipenuhi perasaan iri. Tak kurang dan tak lebih yang ingin dikatakan adalah, objek rasa irinya (pihak lain yang diirikan) benar-benar telah menjadi musuhnya. Begitu pula sebaliknya. Tak diragukan lagi rasa iri ini akan menjadi subjek bagi mereka yang mampu menarik penderitaan sepanjang hidup bahkan di sepanjang siklus samsara.
Sementara macchariya mendatangkan konflik batin meski ada keinginan kuat dari dalam diri untuk mengabaikannya. Bagi si kikir muncul keinginan untuk mempertahankan apapun miliknya erat-erat. Muncul pula keinginan untuk menyakiti siapa pun yang menggunakan atau mendapatkan barang-barang kepunyaannya. Banyak contoh dalam hal ini; misalnya kasus perceraian di antara pasangan yang telah menikah dikarenakan perebutan harta benda. Atau, adanya sementara pegawai yang merasa tak berbahagia karena kebijakan yang telah ditetapkannya bertentangan dengan pihak lain. Macchariya menumbuhkan perasaan bermusuhan, kecemasan, ketakutan bahkan hidup seolah-olah selalu dalam bahaya.
Merangkum apa yang dibabarkan Sang Buddha di atas, baik issa maupun macchariya termasuk dalam bentuk perasaan. Yang perlu direnungkan lebih jauh adalah apa yang menyebabkan timbulnya perasaan iri hati dan kekikiran ini? Akar dari dua bentuk perasaan iri dan kikir adalah rasa suka dan tidak suka.
Meski demikian Sang Buddha memberi obat untuk menyingkirkan dua bentuk perasaan negatif di atas. Obat yang dimaksud adalah “melihat”, menyadari semua fenomena yang muncul dari keenam panca indera sebagaimana adanya. Kemudian pada tahap awal lepaskan, uraikan, bentuk-bentuk pikiran yang buruk itu serta perbanyak munculnya bentuk-bentuk pikiran yang baik.
Pengantar pada Sakka Panha Sutta
Sebelum membahas lebih dalam tentang Sakka Panha Sutta perlu kiranya diceritakan dimana, mengapa, kepada siapa, oleh siapa dan bagaimana pembabaran sutta ini dilakukan. Hal ini dimaksudkan untuk melihat keaslian dari sutta ini (apakah benar telah dibabarkan oleh Sang Buddha?) serta menghindari keragu-raguan yang mungkin muncul di belakang hari. Tanpa pengantar seperti ini asal muasal sutta terbuka untuk dipertanyakan di kemudian hari seperti dalam kasus Abdidhamma Pitaka yang tak memiliki pengantar sama sekali.
Marilah melihat kasus Abdihamma Pitaka terlebih dahulu sebagai perbandingan yang patut direnungkan. Abdidhamma Pitaka dibabarkan Sang Buddha di surga Tavatimsa. Pada waktu itu Sang Buddha memutuskan menjalani tiga bulan musim hujan (masa vassa) di tempat ini. Sementara di siang hari Sang Buddha pergi ke hutan di kaki gunung Himalaya untuk beristirahat. Pada saat dimana Sang Buddha membabarkan dhamma di alam surga beliau mengirimkan cahaya (nimita) berupa bentuk diri beliau di hadapan Sariputta Thera. Kepada Thera murid utama ini Sang Buddha kemudian memberikan ringkasan Abdihamma Pitaka. Setelah itu Sariputta Thera meneruskan pembabaran dhamma ini kepada 500 bhikkhu. Tak heran bila dibelakang hari Abdidhamma Pittaka dikatakan bukan ajaran langsung Sang Budddha melainkan buah pikir Sariputta Thera.
Tapi dalam kitab komentar (Visudhi magga) dikatakan bahwa ajaran (Abhidhamma Pitaka) yang beliau (Sariputta Thera) babarkan ini berasal dari Sang Buddha, maka tidak perlu disangsikan lagi bahwa Abhidamma Pitaka adalah benar-benar ajaran Sang Buddha. Sejujurnya memang Abdihamma Pitaka tak punya kalimat pembuka atau kalimat pengantar seperti, “Evam me Suttam… (demikianlah yang pernah kudengar…)”.
Sedemikian tegasnya kitab komentar menulis tentang keaslian Abdidhamma Pitaka sebagai ajaran asli Sang Buddha sehingga tak perlu muncul keragu-raguan di benak kita. Meski umumnya sebagian besar dari ajaran yang termuat di dalam kitab kanon (yang terkumpul pada saat konsili sangha pertama) memiliki pengantar. “Pengantar” ini berdasar pada suatu percakapan. Umumnya berupa pertanyaan dan jawaban di antara para thera pada suatu kesempatan. Meski demikian terdapat perkecualian pada beberapa sutta yang tidak memiliki pengantar termasuk Abdihamma Pitaka.
Kembali pada Sakka Panha Sutta, pengantar sutta ini terbilang luar biasa. Pengantar sutta ini “menunjuk langsung” kepada intisari ajaran Sang Buddha. Pada konsili sangha pertama Mahakassapa Thera bertanya kepada Ananda Thera mengapa dan kepada siapa sutta ini dibabarkan. Setelah itu dilanjutkan dengan jawaban-jawaban yang mengikuti pertanyaan tersebut.
Kemudian muncul latar belakang mengapa Sakka Panha sutta ini ada. Demikian awalnya, suatu kali Sang Buddha tinggal di sebuah gua di bagian timur kota Rajagaha dari negeri Magadha. Pada waktu itulah Sakka berkeinginan mengunjungi Sang Buddha. Bukan pertama kali ini Sakka mengunjungi guru para dewa dan manusia ini. Sakka pernah mengunjungi beliau pada saat Sang Buddha baru mencapai kebuddhaannya juga ada kesempatan berikutnya di Vihara Jetavana di kota Savatti.
Diceritakan pada waktu itu Sakka belum matang secara spiritual sehingga Sang Buddha tak memberi pertanyaan kepada raja para dewa ini. Sekarang Sakka memutuskan untuk bertemu dengan Sang Buddha diiringi para pengikutnya. Sakka punya niat khusus mengapa ia ingin mengunjungi Sang Buddha. Tentu saja alasan utamanya adalah Sakka ingin mendengarkan pembabaran dhamma dari Sang Buddha. Sebab sebagaimana diketahuinya banyak orang berhasil meraih tingkat-tingkat kesucian pada saat pembabaran dhamma oleh Sang Buddha. Meski demikian Sakka memiliki alasan yang sangat pribadi pada kunjungannya kali ini.
Akhir-akhir ini muncul di dalam dirinya pemikiran bahwa masa hidup Sakka sebagai raja para dewa akan berakhir. Tanda-tanda akan berakhirnya kehidupannya di alam dewa mulai muncul. Ia menjadi sangat cemas. Pemikiran ini membangkitkan hasrat yang sangat kuat dalam diri Sakka untuk mengunjungi Sang Buddha. Untuk mencari cara bagaimana menyelamatkan hidupnya.
Ketika seorang dewa akan memasuki alam kematian muncul lima tanda yang menunjukkan hal itu; 1) Bunga di kepalanya mulai layu; 2) pakaiannya yang biasanya gemerlapan mulai kusut dan terlihat kotor; 3) Biasanya seorang dewa tidak pernah berkeringat tapi keringat ini akan muncul di ketiaknya menjelang kematian; 4) timbul kerutan di wajah dewa ini. Perlu diketahui wajah dewa umumnya adalah berseri-seri dan terlihat selalu nampak muda; 5) muncul rasa capai dan keletihan jasmani pada minggu terakhir menjelang kematian.
Sakka berpikir kematiannya sudah dekat begitu ke-5 tanda-tanda itu muncul pada dirinya. Ia sangat tertekan mengalami hal ini. Untuk menyingkirkan depresinya tak ada yang lebih baik baginya kecuali mendengarkan dhamma yang dibabarkan oleh Sang Buddha. Setelah pemikian ini muncul dalam sekejap Sakka dan para pengikutkan muncul di tempat Sang Buddha berada.
Dalam kitab komentar (Visudhi Magga) dijelaskan hanya dibutuhkan satu kali rentangan atau tekukan tangan saja bagi Sakka dan para pengikutnya untuk melakukan perjalanan dari alam dewa Tavatimsa ke negeri Magadha. Hal ini diperkuat dengan pernyataan Mahatika Thera tentang fenomena muncul dan lenyapnya segala sesuatu pada saat itu juga. Dimana para yogi yang memiliki kemampuan batin “melihat” atau “menyadari” muncul dan lenyap objek batin dan jasmani (nama dan rupa) secara cepat menurut metode satipatthana menjadi sadar akan hal itu.
Jadi Sakka dan para pengikutnya lenyap dari alam dewa dan muncul di negeri Magadha melewati suatu kurun waktu sepadan dengan proses muncul dan lenyapnya fenomena batin-jasmani. Hal ini benar-benar berlangsung satu saat, satu detik lamanya. Keadaan demikian bisa terjadi karena adanya kammajiddha. Kammajiddha adalah suatu kemampuan muncul dan lenyap di suatu waktu tertentu. Hal ini umum dimiliki oleh para dewa. Kecepatan muncul-lenyap ini melebihi kecepatan roket atau pesawat ulang-alik modern.
Sebelum benar-benar bersua dengan Sang Buddha terlebih dahulu Sakka ingin medapatkan semacam izin dari beliau. Karenanya Sakka mengutus dewa Pancasikka untuk mencari tahu apakah Sang Buddha berkenan bertemu dengan Sakka. Dalam hal ini muncul kata “pasadeyyasi” yang secara literer berarti membuat seseorang senang dan tersanjung. Menurut kitab komentar kata ini berarti; memberi kepuasan pada seseorang sebelum mendapatkan jawababnya. Kata yang bermakna ekspresi dalam bahasa Pali ini sering digunakan oleh orang-orang India kuno untuk berbicara dengan penuh tata krama.
Guna lebih menjelaskan makna kata pasadeyyasi ini baiklah kami kutip perumpamaan percakapan Kancil dan Gajah. Kancil berkata demikian, “Tuanku bisakah kiranya membuat kedua mata paduka terang?”.
Dengan kata lain hal di atas bisa berarti, “Mungkinkah menolongku untuk mengerjakan beberapa hal?”.
Dalam memenuhi permintaan rajanya dewa Pancasikka pergi ke tempat Sang Buddha berdiam dan berdiri dengan sikap hormat pada jarak tertentu di hadapan guru agung ini. Pancasikka memainkan harpanya sambil menyanyikan lagu puji-pujian tentang Buddha, Dhamma, Sangha dan para Arahat. Tentu saja penghormatan semacam ini tak diperlukan sama sekali oleh Sang Buddha. Beliau tak memetik keuntungan apapun dengan jenis puji-pujian semacam ini. Tak juga berguna praktek pembacaan paritta di masyarakat Burma modern dimana naskah-naskah suci itu dibacakan dengan nada-nada tertentu. Juga tak ada gunanya bagi seorang Buddha berbagai festival Pagoda (Vihara) dalam skala besar yang umumnya berlangsung di zaman modern ini. Juga semakin tak bermanfaat melakukan pembunuhan hewan-hewan untuk diolah menjadi makanan lezat yang umum terjadi saat festival pagoda berlangsung. Sejujurnya praktek-praktek semacam ini bertentangan dengan ajaran Sang Buddha.
Beberapa lagu yang dinyanyikan dewa Pancasikka sangat membangkitkan hawa nafsu. Ini bisa dipahami. Karena saat itu Pancasikka tengah jatuh cinta dengan seorang dewi kahyangan dimana pihak terakhir ini telah menolak cintanya. Tak heran bila salah satu syair lagunya berisi kecantikan dan keindahan Sang dewi serta rasa frustasi yang dialaminya karena patah hati. Rasa frustasi yang tersirat dari lagu-lagu Pancasikka menunjukkan kehidupan para dewa tak selalu seindah kelihatannya.
Meski demikian sebagian besar lagu-lagu pujian Pancasikka berisi hal-hal terpuji tentang seorang Buddha, Dhamma, Sangha dan para Arahat. Dimana para Ariya ini memiliki konsentrasi yang terpusat pada jhana-jhana dan selalu sadar.
Jhana berarti kemampuan mengawasi sebuah obyek yang tengah dilihat seseorang. Jhana juga bisa berarti konsentrasi. Ia juga bisa diartikan sebagai sifat alamiah dari batin dan jasmani dengan berbagai karakteristiknya (menjadi subyek dari ketidakkekalan, penderitaan dan ketanpa-intian). Diceritakan semasa Sang Buddha masih menjadi Bodhisatva beliau sering melakukan meditasi pernapasan sampai mencapai jhana-jhana tingkat tinggi. Pencapaian jhana-jhana ini terpusat pada satu jenis objek saja yang umumnya berlangsung lama. Melalui kekuatan jhana di awal malam parinibbana Boddhisatva Siddhatta menjadi awas dan “tahu” bentuk-bentuk kehidupannya di masa lalu. Kekuatan ini dinamakan Pubbenivasanana.
Diceritakan pula dalam Tipitaka saat tengah malam menjelang kebuddhaan itu Sang Boddhisatva memperoleh kekuatan dibba cakku. Kekuatan ini adalah kekuatan supra natural berisi kemampuan melihat muncul dan lenyapnya segala jenis mahkluk dalam lingkaran kehidupan. Pada sisa malam Boddhisatva melakukan perenungan yang berisi kebijaksanaan berupa ketergantungan segala sesuatu. Waktu ini beliau memperoleh pengetahuan batin tentang muncul dan lenyapnya fenomena batin dan jasmani saat beliau tengah melihat, mendengar, membau dan lain-lain.
Kesadaran yang bersifat penuh dan tetap serta kemampuan melihat kondisi alamiah setiap mahkluk ini adalah tanda dari kematangan batin. Tapi, tanda-tanda ini tak dikenali oleh dewa Pancasikka. Yang diketahui dewa ini Sang Buddha adalah mahluk yang telah terbebas dari kematian (Amata). Kata amata berasal dari bahasa sansekerta yang berarti tanpakematian atau sesuatu yang merujuk pada nibbana.
Kembali ke syair lagu-lagu dewa Pancasikka. Sebagian lagu Pancasikka selain berisi puji-pujian kepada para ariya juga bermaksud menyenandungkan cinta pada salah satu dewi. Dewi itu hanya mengizinkan Pancasikka berdekatan dengannya selama satu hari saja. Ini sebuah tanda bahwa dewi ini tak menginginkan dirinya. Merasa cintanya ditolak Sang dewa mencurahkan frustrasinya dalam lagu-lagunya. Disini terlihat bagaimana kehidupan dewa tak ada bedanya dengan manusia biasa yang ketika dipenuhi oleh hasrat indrawi tak bisa lagi berpikir rasional.
Suatu kali di Burma ada seorang bhikkhu muda. Ia murid Sayadaw terkenal. Ia memutuskan meninggalkan Sangha untuk menikah dengan gadis pujaan hatinya. Murid Sayadaw lainnya mencela pasangan itu. Tapi Sang guru, Sayadaw tersebut hanya bereaksi demikian, “Tidak seharusnya kalian menyalahkan mereka”.
“Mereka terperangkap dalam kondisi ini karena belenggu kerinduan. Jadi yang harus kalian salahkan adalah kerinduannya,” lanjut Sayadaw tersebut. Betapa realistisnya ajaran ini.
Kembali ke kunjungan Sakka. Ketika Pancasikka tengah menyanyikan lagu-lagunya Sang Buddha memancarkan pikiran penuh cinta kasih mengharapkan kebahagiaan Sakka secara batin dan jasmani. Hal semacam ini adalah wajar karena bagaimana pun setiap mahkluk merindukan kebahagiaan. Inilah cara Sang Buddha memberkati orang-orang yang memberi hormat kepada beliau.
Tak ada kata-kata berisi doa dari raja dewa Sakka yang disampaikan melalui Pancasikka. Tapi melalui kata-kata bahasa Pali Abhivadeti abhivandati vandati, kita mengerti Sakka mengekspresikan diri untuk bisa memperoleh kebahagiaan. Dengan kata lain ia, Sakka, berharap Sang Buddha akan berkata, “Semoga engkau berbahagia”.
Sang Buddha memberkati para umat dengan cara itu. Cara ini mendatangkan ide bagi para bhikkhu untuk bersikap demikian pula kepada umat yang datang memberikan persembahan dan penghormatan di zaman modern ini.
Perlu diketahui umat datang ke vihara dan mengunjungi bhikkhu dengan menyimpan banyak harapan. Tapi pengharapannya terkadang terdengar aneh dan tak masuk akal. Bahkan ada beberapa dari mereka menunjukkan ekspresi emosional kepada bhikkhu yang tengah bertugas saat itu. Sebenarnya hal-hal semacam itu tak perlu dilakukan. Memberikan penghormatan kepada Buddha Rhupang, melaksanakan ajaran atau beranjali kepada para bhikkhu sebagai representasi sangha sebenarnya sudah cukup.
Hanya yang terjadi kadang lebih dari itu. Beberapa umat datang untuk memohon sesuatu di vihara, seperti meminta doa atau berkah kepada para bhikkhu. Yang melakukan hal ini tak terbatas umat perempuan saja. Umat laki-laki pun banyak melakukan hal tersebut.
Saat memberi penghormatan kepada Sang Buddha, Sakka tak mengharapkan keuntungan yang bersifat duniawi. Ia hanya berharap memperoleh keuntungan seperti tersirat dalam kata-kata Pali; Abhivadanasilissa nicam… dan seterusnya. Ini mengartikan suatu harapan dari umat awam agar dikaruniai umur panjang dan hidup berbahagia. Selayaknya dengan cara demikian para bhikkhu memberkati umat awam.
Sudah lama Sakka ingin mengunjungi dan memberi hormat kepada Sang Buddha. Tapi banyak hal membuatnya baru bisa mengunjungi Beliau saat ini. Tugas Sakka diantaranya menyelesaikan permasalahan di antara para dewa.
Dalam kunjungannya kali ini Sakka bercerita tentang keadaan di alam dewa yang mengalami banyak perkembangan baru. Sakka menuturkan bagaimana saat kemunculan Sang Buddha populasi para dewa meningkat tajam. Sakka sendiri telah membuktikan hal itu.
Hal di atas cukup logis. Lebih dari 100 juta orang tinggal di lembah sungai Gangga bagian tengah pada zaman Sang Buddha hidup. Wilayah ini adalah wilayah asal penyebaran agama Buddha. Dari jumlah itu 80 juta diantaranya adalah pengikut Sang Buddha. Kecuali para Arahat dan Anagami sebagian besar umat Buddha ini telah mencapai alam dewa saat ini. Itulah perkiraan jumlah populasi para dewa.
Perlu diketahui Sakka hadir saat pertama kali Sang Buddha membabarkan Dhammacakkapavatana Sutta. Sakka melihat setelah itu banyak umat berlindung kepada Buddha, rajin berdana, juga mempraktekkan sila. Akibat perbuatan baik ini setelah meninggal dunia mereka terlahir di alam dewa.
Berlindung kepada Buddha berarti berlindung juga kepada Dhamma dan Sangha. Berlindung kepada ketiganya berarti secara otomatis telah melakukan perbuatan-perbuatan terpuji. Dengan berlindung kepada Buddha, Dhamma dan Sangha menghindarkan kita terlahir di alam-alam tingkat rendah seperti di alam neraka, peta maupun alam binatang.
Banyak perbuatan baik yang nampaknya sederhana seperti memberi dana makanan kepada para bhikkhu yang telah mencapai tingkat kesucian tertentu membawa akibat tumbuhnya karma baik yang besar. Berkah karma baik itu jauh lebih besar dibanding karma baik memberi makan orang biasa secara gratis selama bertahun-tahun.
Kemudian Sakka bercerita tentang seorang dewa bernama Gopaka. Dalam hidup sebelumnya Gopaka adalah putri raja di kota Savatti bernama Gopika. Gopika adalah umat awam yang sangat berbakti kepada Sang Buddha. Ia rajin menjalankan lima sila serta tekun menjalankan kehidupannya sebagaimana layaknya umat perempuan. Pada saat itu ia tertekad terlahir kembali sebagai laki-laki. Setelah meninggal Ia terlahir sebagai putra Sakka dan dipanggil dengan nama Gopaka.
Suatu kali Gopaka melihat tiga gandhabba datang untuk menghibur Sakka. Pada saat Gopaka melihat ke-3 gandhabba itu ia tahu betul siapakah sebenarnya mahluk-mahluk itu sebelumnya. Ketiga gandhabba itu adalah penghuni baru di alam dewa seperti halnya dirinya. Sebelumnya ketiganya adalah para bhikkhu yang sering diberi dana makanan oleh umat perempuan Gopika di alam dunia dulu. Melihat kenyataan itu Gopaka bertanya dalam hati apakah sebabnya ketiga bhikkhu yang dulu ia sokong hidupnya terlahir kembali sebagai dewa tingkat rendah?
Kenyataan ini bertolakbelakang dengan tekad suci yang diikrarkan oleh ketiga bhikkhu itu dulu. Sementara lihatlah dirinya yang hanya seorang umat awam biasa bisa terlahir lagi sebagai putra Sakka. Tentu saja tidak secara kebetulan Gopika bisa terlahir sebagai Gopaka si putra Sakka. Hal ini bisa terjadi akibat keyakinan dan moralitasnya.
Setelah berhadap-hadapan baik Gopaka dan ke-3 gandhabba menyadari siapa diri mereka dulu. Ketiga gandabba itu sadar betul keterikatannya kepada kehidupan para gandhabba lah yang menyebabkan mereka lahir kembali di lingkungan dewa tingkat rendah ini.
Setelah itu dua di antara ke-3 gandhabba mulai mempraktekkan meditasi di tempat itu juga. Akibat karma lampaunya sebagai bhikkhu yang luar biasa ke-2 gandhabba bisa melepaskan keterikatan kepada kehidupan dewa tingkat rendah itu. Tak lama mereka mampu meraih tingkat kesucian Anagami pada saat itu juga. Disebutkan waktu yang mereka butuhkan untuk mencapai tingkat kesucian anagami itu hanya satu detik.
Dewa satunya lagi, bagaimana pun juga, tak mampu menyingkirkan keterikatannya. Sehingga dewa terakhir ini tetap terbelenggu di alam dewa tingkat rendah ini. Perlu kami ingatkan bagaimana orang-orang umumnya ingin terlahir kembali di tempat yang pernah diakrabinya.
Demikian juga yang terjadi dengan Raja Bimbisara. Ia adalah pengikut setia Sang Buddha. Setelah meninggal dunia Raja Bimbisara terlahir kembali sebagai anak buah dari seorang dewa di alam Catumaharajika. Ia tak mampu meraih kedudukan di alam dewa yang lebih tinggi karena keterikatannya pada hidup sebelumnya. Kehidupan-kehidupan mendatang muncul sedemikian rupa sebagai akibat dari keinginan atas keterikatan pada kehidupan sebelumnya.
Kembali ke cerita kedua gandhabba itu. Ke-2 dewa tingkat rendah itu setelah melakukan meditasi mampu meraih jhana-jhana dan mencapai tingkat anagami. Akibat baik ini disebabkan oleh praktek hidup mereka sebelumnya sebagai seorang bhikkhu.
Kehidupan alam dewa dipenuhi kenikmatan inderawi. Bagi siapapun yang telah meraih tingkat kesucian anagami tak bisa tinggal di sini. Jadi dalam sekejap kedua gandhabba ini meninggal dunia dan menuju ke alam Brahma. Bagi Sakka transformasi kedua dewa ke alam Brahma yang ia saksikan sendiri sungguh membuatnya takjub. Ketika ia mendengar penjelasan anaknya, Sakka berharap bisa berbagi pengalaman spiritual dengannya.
Selebihnya tanda-tanda kematian yang ia alami membangkitkan hasrat Sakka untuk mendengarkan Dhamma. Sakka merenung demikian, bila ia berkesempatan mendengarkan dhamma mungkin ia akan memperoleh masa depan yang lebih baik. Meski belum tentu saat itu ia memperoleh pandangan terang. Sakka merenung ulang, “mendengarkan dhamma adalah yang terbaik yang bisa kulakukan menjelang kematian”.
Merenungkan kembali kisah kedua dewa itu seharusnya kita tidak berkecil hati apabila mengalami hambatan pada saat latihan meditasi. Karena tekad yang sungguh-sungguh dalam mempraktekkan dhamma akan membuat kita terlahir di alam dewa. Bila kita ingat kembali pada hal-hal yang telah kita praktekkan di alam manusia kita bisa melanjutkannya di tempat yang baru ini. Salah satu sutta di dalam Anggutara Nikaya tertulis tubuh dewa begitu murni serta tembus pandang. Bagi dewa-dewa yang pernah melakukan praktek dhamma dalam kehidupan sebelumnya dhamma menjadi lebih jelas di sini.
Memang membutuhkan waktu untuk mengingat kembali. Tapi proses pengingatan kembali itu terjadi secara cepat mengikuti kemampuan batin dewa bersangkutan. Meski tak bisa dipungkiri beberapa dewa barangkali telah melupakan dhamma karena pesona kehidupan alam dewa yang serba gemarlap dan penuh kemewahan.
Sebagai dewa mereka tak memiliki duka jasmani sebagaimana layaknya manusia. Ketiadaan duka jasmani ini menyebabkan batin mereka lebih awas dibanding kita manusia. Sekali para dewa menaruh perhatian pada dhamma melalui perenungan atau mendengar pembabaran dhamma, mereka bisa langsung mengerti dan memperoleh pandangan terang dalam waktu singkat. Jika, umpamanya, seorang yogi yang tekun berlatih meditasi tak berhasil meraih kemampuan batin dalam kehidupan saat ini, setelah meninggal dunia mereka akan memperolehnya di sana.
Pertanyaan Sakka
Sebelum mengajukan pertanyaan Sakka memperlihatkan sikap-sikap tertentu guna mendapatkan izin dari Sang Buddha. Sikap-sikap khusus sebagai tanda seseorang akan melakukan “ini” atau “itu” adalah sesuatu yang biasa dalam kelas masyarakat tinggi (bangsawan) baik di zaman Sang Buddha maupun saat ini. Setelah “upacara” ini barulah Sakka mengajukan pertanyaan.
“Yang Mulia, semua mahluk hidup berharap terbebas dari kehendak-kehendak jahat seperti kemarahan atau kebencian. Mereka tak menginginkan munculnya pertengkaran. Mereka juga tak ingin melakukan hal-hal buruk lainnya. Yang mereka harapkan adalah adanya rasa aman, damai, bahagia dan kebebasan. Kenyataannya, mereka tak bisa terbebas dari mara bahaya dan penderitaan. Apa yang menyebabkan hal ini?”, tanya Sakka pada Sang Buddha.
Sang Buddha menjawab demikian, “O raja para dewa, semua mahluk hidup mengharapkan rasa aman, damai, bahagia dan kebebasan. Kenyataannya mereka tak bisa terbebas dari konflik, mara bahaya, kebencian dan penderitaan. Kondisi-kondisi yang tak membahagiakan mahluk hidup ini disebabkan adanya dua belenggu yakni rasa iri hati, issa, dan kekikiran, macchariya“.
ISSA atau Iri Hati
Yang perlu dijelaskan disini mengenai karakteristik iri hati adalah munculnya keenganan melihat kekayaan dan kemajuan orang lain. Iri hati bersifat merusak ke dalam diri karena akan memunculkan perasaan dengki dan nafsu-nafsu jahat. Perasaan iri, issa, melahirkan penderitaan di sini dan saat ini. Bila belengggu issa tak diputuskan ia akan terbawa sampai ke kehidupan mendatang.
Perasaan iri juga mendatangkan akibat buruk bagi objek yang diirikan. Minimal dunia yang dipenuhi dengan banyaknya orang bersifat iri akan membuat tempat ini menjadi tempat yang tak nyaman untuk ditinggali.
Orang yang iri merasa benci melihat kemajuan dan kebahagiaan pihak lain. Jadi karakteristik iri hati adalah munculnya perasaan tidak suka melihat kesejahteraan orang lain. Ia tak suka melihat orang lain lebih maju, dipromosikan pada kedudukan lebih tinggi di kantornya, tampan atau cantik serta lebih sukses. Otomatis orang yang dipenuhi perasaan iri lebih dulu menderita dibanding objeknya.
Perasaan iri memicu munculnya tindakan jahat atau buruk. Bagi seseorang yang memiliki kekuatan atau kekuasaan akan mencari segala cara untuk menjatuhkan orang yang ia irikan. Dengan melakukan cara-cara ini orang yang ia irikan ada kemungkinan akan melakukan tindakan balasan pada suatu saat. Meski orang yang ia irikan tak melakukan tindakan balasan si iri hati tetap menuai penderitaan dalam kehidupan kini dan mendatang.
Sifat iri membuat orang semakin menderita. Membuat orang semakin terbakar. Bukankah perasaan ini justru menyuburkan tumbuhnya karma buruk? Dalam Culakammavibhanga Sutta tertulis orang yang sering memupuk perasaan iri akan terlahir dengan tubuh lemah dan hanya memiliki sedikit pelayan.
Lihatlah dunia kita saat ini. Ada laki-laki atau perempuan yang tak ingin mendengar apapun tentang kekayaan, kecerdasan, keberuntungan atau kesejahteraan orang lain. Mereka juga tak ingin mendengar tentang kesehatan seseorang atau ketrampilan dan kesuksesannya dalam pergaulan.
Orang-orang ini akan mengatakan apapun atau melakukan hal-hal yang berlawanan dengan orang yang mereka irikan. Satu contoh yang umum saat ini bagaimana propaganda dalam kehidupan modern dimotivasi oleh perasaan iri. Padahal perasaan ini hanya mengantarkan seseorang ke neraka dan tinggal di sana untuk waktu lama. Bahkan setelah keluar dari sana dan terlahir lagi sebagai manusia mereka akan terlahir dengan kedudukan rendah, sedikit pelayan, kurang dikenal dan memiliki kesehatan yang buruk.
Di sisi lain orang yang bergembira dengan keberuntungan pihak lain berarti memiliki kehendak atau niat baik dalam dirinya. Orang semacam ini turut berbahagia mendengar keberuntungan atau kemajuan pihak lain. Sebisa mungkin ia akan membantu orang lain untuk hidup bahagia dan sejahtera.
Dengan cara-cara yang baik semacam ini bila ia meninggal kelak akan terlahir kembali di alam dewa dan menikmati hidup bahagia di sana. Sementara bila terlahir kembali sebagai manusia ia akan memiliki pengaruh, banyak pengikut dan kesehatan yang baik.
Barangsiapa menghendaki kemajuan dalam kehidupan ini dan kehidupan mendatang harus menyingkirkan sifat iri hati. Di sisi lain ia harus mengembangkan perasaan mudita (perasa simpati atau berbahagia atas keberuntungan pihak lain).
MACCHARIYA atau Kekikiran
Macchariya adalah perasaan pelit atau kikir. Orang yang memiliki sifat ini cenderung ingin menyimpan rapat-rapat hartanya untuk dirinya sendiri. Perasaan pelit atau kikir berhubungan dengan ketidakinginan pihak lain memiliki atau berhubungan dengan objek-objek dimana ia terikat. Inilah karakteristik sifat kepemilikan yang ekstrim.
Ada enam jenis keterikatan atas harta benda yakni; 1. pada tempat tinggal, 2. teman-teman atau sahabat dekat, 3. barang berwujud seperti perabot rumah tangga dan lain-lain, 4. makanan dan minuman, 5. pelajaran serta 6. puji-pujian.
Jenis kikir yang pertama, keterikatan pada tempat tinggal, umum terjadi di lingkungan hidup beberapa bhikkhu. Mereka tak ingin melihat bhikkhu lain tinggal di lingkungan viharanya. Apalagi kalau bhikkhu terakhir ini memiliki sila atau moral yang baik. Ketakutan ini berhubungan dengan perasaan cemas bila para umat bhikkhu yang kikir itu berdana kepada bhikkhu lain. Bhikkhu semacam ini akan mengalami banyak penderitaan setelah kematiannya karena keterikatannya kepada kehendakjahatnya.
Secara umum pelit atau kikir terbagi menjadi beberapa jenis. Yang pertama adalah Vanna Macchariya. Vanna Macchariya adalah hasrat pribadi untuk memiliki kualitas khusus seperti kecantikan fisik yang sangat spesial. Orang semacam ini akan iri kepada orang lain yang memiliki kecantikan sejenis. Bila perasaan buruk ini diteruskan akan mengakibatkannya terlahir kembali dengan wajah buruk rupa sebagai akibat berbuahnya karma buruk jenis ini.
Perasaan pelit kedua disebut Dhamma Macchariya. Dhamma Macchariya adalah perasaan pelit untuk berbagi pengetahuan. Misalnya ada seseorang yang ingin belajar sesuatu darinya, ia hanya akan berbagi sangat sedikit pengetahuan. Bila memupuk macchariya jenis ini akan mengakibatkan terlahir kembali sebagai orang pandir atau bodoh.
Perasaan pelit atau kikir ketiga disebut Avasa macchariya. Avasa macchariya umum terjadi di lingkungan para bhikkhu. Hal ini berhubungan dengan apa-apa yang dimiliki oleh sangha (komunitas para bhikkhu). Ia, bhikkhu itu, merasa vihara yang ditinggalinya selama ini sebagai vihara pribadinya.
Umat awam ada juga yang terjangkit perasaan pelit jenis ini. Misalnya seorang petinggi suatu organisasi yang menganggap bangunan umum kerohanian seperti pura, pusat meditasi dan lain-lain sebagai milik pribadinya.
Perasaan pelit jenis keempat disebut Kula macchariya. Kula macchariya juga umum terjadi di lingkungan para bhikkhu. Sebagai contoh ada sementara bhikkhu yang tak ingin umatnya dekat dengan bhikkhu lain. Contoh lain, beberapa bhikkhu melarang umatnya mengunjungi bhikkhu lain atau melarang umatnya mendengarkan ceramah-ceramahnya. Sementara di lingkungan umat awam macchariya ini pun ada. Misalnya, pemimpin organisasi politik yang menginginkan loyalitas atau kesetiaan pengikutnya.
Perasaan pelit kelima disebut Lobba macchariya. Lobba macchariya pun banyak terjadi di lingkungan para bhikkhu. Misalnya, keinginan untuk memonopoli dana-dana umat. Bhikkhu ini hanya ingin umatnya berdana untuk dirinya, untuk viharanya dan tidak untuk pihak lain. Ada cerita tentang Losakatissa Thera yang menarik untuk ditulis di sini. Cerita ini menggambarkan bagaimana macchariya jenis ke-5 ini bekerja dan membuahkan karma buruk yang luar biasa.
Cerita tentang Losakatissa Thera
Pada masa hidup Buddha Kassapa ada seorang bhikkhu yang tinggal di suatu desa. Untuk memenuhi kebutuhannya bhikkhu ini bergantung pada pemberian umat awam di desa itu. Suatu kali seorang bhikkhu berkunjung ke desa ini. Bhikkhu tamu ini tinggal dan bermalam bersama bhikkhu terdahulu di satu-satunya vihara di desa ini.
Sejak awal kedatangan bhikkhu tamu kecemasan mulai melanda pikiran si bhikkhu desa. Ia takut bila umatnya lebih menyayangi dan mencintai bhikkhu tamu. Sejak itu pula ia mencari cara bagaimana mengusir si bhikkhu tamu.
Suatu kali ada seorang umat mengundang kedua bhikkhu untuk menerima dana makan di rumahnya. Undangan itu tak disampaikan bhikkhu desa kepada bhikkhu tamu. Jadilah bhikkhu desa memenuhi undangan makan sendirian.
Mengetahui si bhikkhu tamu tak turut hadir di rumahnya umat awam yang berbakti ini menitipkan dana makan kepada bhikkhu desa untuk disampaikan kepada beliau. Tapi, alih-alih menyampaikan dana makanan tersebut bhikkhu desa justru membuangnya dalam perjalanan pulang.
Waktu berlalu. Setelah cukup lama bhikkhu desa meninggal dunia. Akibat perbuatan buruknya di atas bhikkhu desa terlahir di alam neraka. Di tempat ini ia menderita dalam bilangan kalpa lamanya. Setelah itu ia terlahir kembali di alam binatang. Sebagai hewan, mantan bhikkhu desa sering menderita kelaparan dalam jangka waktu sangat panjang.
Dalam tumimbal-lahirnya yang terakhir ia lahir kembali di sebuah desa nelayan di negeri Kosala, India. Karena perbuatan buruknya di masa lalu kelahirannya dianggap mendatangkan kesialan bagi orang tua dan penduduk nelayan. Dimana sejak bayi ini lahir pendapatan mereka turun dratis.
Tentu saja kepala kampung nelayan ingin mengetahui siapa gerangan yang membuat desa ini tertimpa sial. Setelah menyelidiki secara seksama ia mendapatkan fakta si bayi yang baru dilahirkan oleh seorang perempuan pengemislah yang mendatangkan kesialan. Akhirnya bayi dan ibunya dikucilkan oleh penduduk desa.
Bahkan, saking putus-asanya ibunya sendiri meninggalkannya di rumah bila ia pergi untuk mengemis. Ibunya terpaksa melakukan hal ini karena pengalaman-pengalaman buruk sebelumnya yang dialaminya bersama si bayi. Bila ibu miskin ini pergi meminta-minta dan membawa serta bayinya ia tak memperoleh apapun. Tapi, bila pergi sendiri ia masih memperoleh sedikit yang cukup untuk makan satu hari itu.
Suatu kali Sariputta Thera melihat anak yang tengah kelaparan ini tak jauh dari vihara. Karena belas kasihnya sang Thera membawa anak ini ke vihara. Setelah cukup umur ia ditahbiskan sebagai bhikkhu. Sebagai bhikkhu ia selalu tidak beruntung. Sering kali ia tak memperoleh, bahkan sejumput makanan, dalam suatu pesta besar sekali pun. Bila pun suatu kali memperoleh makanan, dari suatu pindapatta misalnya, ia hanya memperoleh sangat sedikit. Bahkan diceritakan makanan-makanan yang diperolehnya hanya cukup untuk menyambung hidupnya satu hari itu. Karena ketidakberuntungannya bhikkhu ini diberi nama Losakatissa.
Akibat karma buruknya membuang makanan dulu terus dialami bhikkhu Tissa meski ia telah berhasil meraih kearahatan. Singkat kata, menjelang parinibbana, Yang Mulia Sariputta Thera mengajak bhikkhu Tissa ke kota Savatti untuk berpindapatta. Hari itu adalah hari terakhirnya di dunia. Hari itu ia akan menuntaskan tumimbal lahirnya. Ia tak akan terlahir lagi sebagai mahkluk apapun.
Saat Yang Mulia Sariputta Thera dan bhikkhu Tissa berpindapatta tak ada satu orang pun yang berdana makanan kepada beliau berdua. Akhirnya Sariputta Thera meminta bhikkhu Tissa menunggu di suatu tempat. Bhikkhu Tissa kemudian duduk di suatu tempat peristirahatan sederhana yang disediakan oleh penduduk Savatti untuk kebutuhan para bhikkhu. Kemudian Sariputta Thera berpindapatta sendirian memasuki kota Savatti.
Setelah Sariputta Thera berpindapatta sendirian barulah ada beberapa umat yang berdana makanan untuk beliau. Kemudian beliau meminta tolong seorang umat awam untuk menyampaikan dana makanan yang telah diperolehnya kepada bhikkhu Tissa. Setelah itu beliau melanjutkan perjalanannya sesaat lagi. Namun apa mau dikata, dalam perjalanan menuju tempat bhikkhu Tissa beristirahat dana makanan yang seharusnya diberikan kepada beliau dimakan sendiri oleh umat awam itu sampai habis.
Sekembalinya dari berpindapatta Yang Mulia Sariputta Thera baru mengetahui apa yang terjadi. Akhirnya beliau memberi makanan terakhir yang diperolehnya itu kepada bhikkhu Tissa dengan memegangi mangkuk, patta, sambil menungguinya makan. Dengan cara ini Losakatissa memakan makanan terakhirnya, yang ternyata sangat sedikit itu. Pada sore itu juga bhikkhu Losakatissa mencapai nibbana.
Cerita ini memberi gambaran kepada kita betapa menakutkannya akibat karma buruk dari macchariya. Berbagai jenis macchariya umum berjangkit di lingkungan umat awam. Sebagai contoh adanya praktek monopoli dalam dagang adalah bentuk lobba macchariya. Atau contoh lain dimana seseorang tak ingin orang lain secantik atau setampan dirinya. Ini adalah bentuk belenggu vanna macchariya. Juga umum terjadi sementara orang yang tak ingin berbagi pengetahuan apapun dengan orang lain. Kikir terakhir ini adalah contoh dhamma macchariya.
Seseorang yang diliputi perasaan kikir ingin menjauhkan siapa pun dari hal-hal dimana ia terikat. Muncul perasaan, hanya ia sajalah yang berhak menggunakan benda-benda itu. Hanya ia sajalah yang berhak berteman dengan si A atau si B. Lihatlah akhir-akhir ini, terutama di kota-kota besar, kaum pria dan wanita mengancam pasangannya karena dilihatnya pihak terakhir ini memiliki hubungan dengat dengan lawan jenis lain. Bahkan, ada pasangan yang begitu marahnya melihat istri atau suaminya melakukan percakapan besahabat dengan orang lain yang berbeda jenis kelaminnya.
Singkat kata, macchariya memunculkan perasaan posesif, hasrat untuk mengenggam erat segala sesuatu. Ia berusaha menutup segala peluang siapapun berhubungan dengan hal-hal berharga miliknya.
Apa yang dikatakan Sang Buddha tentang sebab-sebab ketidakbahagiaan para mahluk, yang bersumber pada iri hati dan kikir ini, sangat relevan bagi Sakka. Dari pengalamannya sebagai dewa ia mengakui kebenaran jawaban-jawaban Sang Buddha atas pertanyaannya.
Perlu diketahui, meski Sakka adalah raja para dewa waktu itu, ia pun dibelenggu oleh perasaan-perasaan negatif. Mendekati hari-hari terakhirnya ia diliputi perasaan tak bahagia memikirkan kemungkinan istrinya akan jatuh ke tangan pihak lain (penggantinya). Atau muncul pikiran akankah penggantinya kelak lebih baik dari dirinya?
Cinta dan Benci
Setelah puas dengan jawaban Sang Buddha di atas Sakka mengajukan pertanyaan lain, “Yang mulia, apa yang menjadi sebab munculnya issa, iri hati, dan macchariya, kekikiran?”
Sakka melanjutkan pertanyaannya, “Adakah jalan untuk menyingkirkan issa dan macchariya?”
Sang Buddha menjawab demikian, “O raja para dewa, issa dan macchariya muncul disebabkan oleh perasaan cinta dan benci. Jika tak ada landasan berupa cinta dan benci tak akan muncul perasaan iri hati dan kikir”.
Dalam ajaran Sang Buddha, cara untuk menyingkirkan penderitaan adalah menghilangkan penyebabnya. Cara ini seperti yang dilakukan oleh seorang dokter. Sebelum melakukan pengobatan umumnya seorang dokter akan mencari tahu dulu sebab-sebab penyakit pasiennya. Setelah sebab-sebabnya diketahui barulah dokter bersangkutan memberi resep yang tepat untuk penyakit itu. Seperti ini pula lah jawaban Sang Buddha. Bahwa cinta dan bencilah yang menjadi sebab penderitaan mahluk hidup.
Objek kecintaan tak berbatas. Ia bisa berupa benda hidup atau benda mati yang bisa membawa kesenangan bagi kita seperti perempuan, laki-laki, bentuk-bentuk, suara, dan lain-lain. Sementara objek kebencian adalah apa-apa saja yang mendatangkan ketidasenangan bagi kita. Misalnya, perasaan iri timbul bila seseorang yang tidak kita sukai lebih kaya dan berhasil dari kita.
Jika orang yang melebihi kita adalah orang yang kita sayangi akan muncul perasaan suka cita. Orang tua tak akan cemburu kepada anak laki-lakinya yang lebih terkenal dari mereka. Di sisi lain keterkenalan dan keunggulan anak mereka akan memunculkan perasaan bangga.
Nafsu Keinginan sebagai sebab Cinta dan Benci
Sang Buddha melanjutkan lagi penjelasannya, bahwa sebab-sebab cinta dan benci adalah nafsu keinginan. Yang dimaksud Sang Buddha tentang nafsu keinginan disini adalah suatu hasrat untuk meraih kenikmatan dari apa-apa yang dirindukannya.
Nafsu keinginan terbagi lima:
  1. Hasrat yang tak terpuaskan untuk memenuhi objek-objek inderawi. Nafsu keinginan jenis ini mendorong seseorang untuk terus-menerus mengejar keinginannya bahkan pada kehidupan-kehidupan selanjutnya.
  2. Kehausan yang sangat untuk mendapatkan dan menambah objek-objek inderawi. Ketika hasrat seseorang sudah terpenuhi kemudian muncul keinginan yang baru. Dalam hal ini tak ada nafsu keinginan yang pernah berakhir. Bahkan para jutawan ingin lebih kaya dan memiliki makin banyak uang. Tak perduli berapa banyak harta benda yang telah dimiliki ia menginginkan lebih.
  3. Kehausan untuk menikmati berbagai objek inderawi baik berupa barang-barang material maupun non material. Orang-orang suka menikmati berbagai jenis pertunjukkan, musik, opera, dan lain-lain. Mereka tak pernah puas untuk terus menikmatinya meski telah pernah melakukannya banyak kali.
  4. Kehausan untuk terus menyimpan emas, perak, berlian atau untuk menimbun uang dalam berbagai bentuk. Penimbunan ini dimaksudkan untuk digunakan dalam keperluan mendadak di masa depan.
  5. Nafsu keinginan dari sementara orang untuk memberi uang dan benda-benda berharga lainnya kepada para pengikutnya, pegawainya, dan lain-lain.
Nafsu keinginan menumbuhkan cinta dan benci. Berbagai mahluk hidup atau benda-benda yang mampu memenuhi keinginannya menimbulkan perasaan cinta. Sementara objek benda maupun orang yang menghalangi keinginannya menumbuhkan perasaan benci.
Kemudian Sakka bertanya kepada Sang Buddha tentang asal nafsu keinginan. Sang Buddha menjawab adanya nafsu keinginan disebabkan oleh vitakka. Dalam Visuddhi Magga tertulis Vitakka artinya berpikir dan memutuskan.
Ada dua karakteristik vitakka. Jenis pertama berdasar pada nafsu keinginan. Sementara jenis yang lain berasal dari kepercayaan. Dengan kata lain kamu berpikir dan memutuskan ketika kamu menghiraukan, mengacuhkan, sebuah objek inderawi sebagai sesuatu yang menyenangkan, menggairahkan serta mempesona. Atau ketika kamu menaruh perhatian pada objek hidup seperti seseorang atau mahkluk muncul kecenderungan untuk memikirkan, memutuskan atau memberi pendapat.
Ketika lengah, sedang tidak awas, saat melihat, mendengar, membau, menyentuh, dan lain-lain akan muncul pikiran yang dilanjutkan dengan keputusan. Aktifitas mental ini menimbulkan kerinduan dan keterikatan.
Kemudian Sakka bertanya kepada Sang Buddha tentang sebab munculnya vitakka. Sang Buddha menjawab bahwa vitakka bersandar pada suatu persepsi atau prasangka. Persepsi berarti memperluas atau memperpanjang sesuatu atau melebih-lebihkan sesuatu.
Ada tiga jenis prasangka; tanha (bersifat kerinduan), bersifat sombong (mana) dan ditthi (kepercayaan). Seseorang yang tidak awas umumnya jatuh kepada belenggu tanha, mana dan ditthi. Dalam banyak sutta ketiganya dikenal sebagai anak-anak mara. Ketiga belenggu itu mampu memcengkeram seseorang untuk mempertebal “aku”-nya. Ini diibaratkan seperti sebuah negatif foto mungil yang bisa dicetak menjadi foto berukuran besar, lebih tebal, dan lain-lain. Dengan keterlibatan ketiga anak mara itu suatu kesan bisa “dipertebal”, “diperluas” atau “diperdalam”.
Menaklukkan Tanha, Mana dan Ditthi
Saat melihat seseorang tak hanya menangkap sesuatu yang bersifat kasat mata saja. Setelah merekam wujud benda secara fisik masih ada proses selanjutnya yakni munculnya persepsi, prasangka, yang akan membawa pada permainan tanha (kerinduan), mana (kesombongan) dan ditthi (kepercayaan).
Tanha membuat objek itu seolah-olah tampak menyenangkan, berharga, sehingga perlu dimiliki atau sebaliknya. Setelah itu mana dan ditthi mengambil perannya masing-masing. Kedua anak mara terakhir ini akan menumbuhkan kesombongan kemudian mempertebal konsep tentang adanya “aku”, misalnya benda itu punyaku, milikku.
Saat kita mengulang perbuatan tersebut, melihat atau mendengar umpamanya, ini akan menjadi awal dari proses munculnya pikiran. Setelah itu pikiran akan berproses lagi yakni memutuskan apakah kita suka atau tidak suka pada objek yang tengah kita lihat. Kemudian proses-proses selanjutnya mengambil peranan. Dimana pada gilirannya nafsu keinginan pun muncul.
Adanya nafsu keinginan memunculkan proses cinta dan benci. Cinta dan benci pada gilirannya mendatangkan perasaan iri hati dan kikir. Perasaan iri dan kikir yang menumpuk membuat seseorang menjadi frustrasi dan sangat menderita.
Setelah membabarkan sebab awal dari penderitaan segala mahluk Sang Buddha menberikan petunjuk bagaimana caranya keluar dari jeratan tanha, mana dan ditthi. Sebelumnya Sang Buddha menjelaskan bahwa perasaan terbagi dua; yang menyenangkan dan tidak menyenangkan.
Sang Buddha menjelaskan lagi hal-hal yang harus kita lakukan sehubungan dengan perasaan. Bahwa ada perasaan menyenangkan dan tak menyenangkan yang harus kita perhatikan. Serta perasaan menyenangkan dan tak menyenangkan yang harus diabaikan (singkirkan).
Selain kedua bentuk perasaan itu ada lagi perasaan netral, upekkha. Perasaan netral sering hadir dalam hidup seseorang. Perasaan ini muncul saat kita tidak merasa senang maupun susah. Perasaan upekkha sendiri terbagi dua; upekkha yang harus kita perhatikan atau pelihara dan upekkha yang harus kita singkirkan.
Berbagai bentuk perasaan di atas (perasaan menyenangkan, tidak menyenangkan maupun netral) yang harus kita pelihara adalah bentuk-bentuk perasaan yang bersumber dari pikiran baik akibat buah kesadaran. Sementara perasaan-perasaan yang muncul tetapi bersumber dari pikiran-pikiran buruk saat kita lengah harus disingkirkan. Kitab komentar menggambarkan ajaran di atas sebagai vipassana atau meditasi pandangan terang.
Dalam Tipitaka Pali ajaran Sang Buddha di atas bisa digambarkan sebagai berikut:
“Sakka, saya mengajarkan adanya dua jenis perasaan menyenangkan, vedana; perasaan menyenangkan yang harus dipelihara dan perasaan menyenangkan yang harus disingkirkan”.
“Jika engkau tahu bahwa suatu perasaan menyenangkan menolong membantu tumbuhnya kesadaran serta menuju ke arah perkembangan batin yang lebih baik, dimana perasaan ini juga mampu menghambat munculnya bentuk-bentuk pikiran yang tidak baik, engkau seharusnya memelihara perasaan ini. Jika, engkau tahu perasaan menyenangkan yang muncul menghambat munculnya proses kematangan batin dan menghambat munculnya bentuk-bentuk pikiran yang baik, sebaiknya perasaan-perasaan ini kamu singkirkan”.
Perasaan menyenangkan terdiri dari dua jenis: yang pertama muncul akibat suatu perenungan (refleksi yang muncul setelah melakukan praktek meditasi). Kedua, perasaan menyenangkan yang tak ada hubungannya dengan sebab-sebab perenungan (dipengaruhi oleh vitakka dan vicara). Dari kedua perasaan menyenangkan ini, perasaan menyenangkan yang tak dipengaruhi oleh vitakka dan vicara adalah yang terbaik.
[*Oleh Nyanatiloka Thera dalam Buddhist Dictionary, Vitakka dan vicara diterjemahkan sebagai: konsep berpikir dan loncatan-loncatan pikiran.]
Perasaan Menyenangkan dan Pikiran tak Bermanfaat
Perasaan menyenangkan menjadi pemicu munculnya bentuk pikiran tak bermanfaat (bentuk-bentuk pikiran buruk) bila berasal dari objek-objek panca indera. Sebagian besar orang berusaha memuaskan kebutuhan indranya seperti makanan, minuman yang enak juga seks. Jika mereka memperoleh apa yang diinginkan muncul perasaan puas.
Tapi kesenangan semacam ini memicu munculnya lebih banyak nafsu keinginan. Nafsu keinginan ini menumbuhkan hasrat untuk memenuhinya. Tak heran bila sebagian besar orang menganggap jika nafsu-nafsu indrawi terpenuhi maka kebahagiaan telah diperoleh.
Sebaliknya, jika nafsu keinginannya tak terpenuhi muncul perasaan frustrasi. Jadi betapa berbahayanya membawa bentuk-bentuk pikiran yang tak bermanfaat semacam itu. Apalagi dengan permainan tanha, mara dan ditthi, semakin beragam dan besarlah nafsu keinginan jadinya.
Dalam Salayatanavibbhanga Sutta – Majjhima Nikaya tertulis adanya bentuk-bentuk perasaan menyenangkan yang harus kita singkirkan. Sutta ini membahas pula secara lengkap objek-objek indrawi yang ada di dalam diri manusia.
Terdapat 6 obyek indra. Ini berhubungan dengan organ-organ indrawinya masing-masing. Bila obyek-obyek indra berhubungan dengan organ-organ indra terjadilah kontak. Kontak ini menumbuhkan perasaan senang dan tidak senang. Kesenangan yang muncul akibat kontak dengan objek indra semacam ini lah yang harus dihindari.
Jalan untuk menghindari munculnya perasaan senang dan susah akibat objek-objek indra adalah menjadi sadar. Sadar saat melihat, mendengar, mengecap, menyentuh, dan lain-lain. Jika muncul pikiran-pikiran yang bersifat pemuasan indra para yogi harus mencatat kemudian mengenyahkannya. Meskipun begitu kami menyadari tak mungkin seorang yogi pemula mampu mencatat seluruh proses pikiran yang muncul.
Jadi mulailah dengan obyek-obyek jasmani karena obyek ini kasat mata. Sadari adanya unsur-unsur di dalam jasmani ketika itu muncul. Karena tubuh seseorang sebenarnya terbentuk dari unsur tanah, air, panas dan angin (pathavi, apo, tejo, vayo).
Dalam Satipatthana Sutta Sang Buddha berkata demikian, “Gacchanto va gacchamiti pajanati… seorang yogi tahu saat ia sedang berjalan”.
Kata-kata Sang Buddha di atas menunjukkan bahwa kesadaran yang jernih mampu melihat adanya unsur padat (tanah) dan gerak (unsur vayo, angin) pada saat seorang yogi sedang bermeditasi jalan. Pada saat sedang berjalan seorang yogi juga harus mencatat adanya unsur-unsur lain yang saat itu muncul seperti kekakuan (tanah), pergerakan (angin), kelembutan (air) di kaki dan tubuh. Ia juga harus mencatat munculnya perasaan dingin, hangat dan ringan (dipengaruhi oleh unsur panas) juga adanya berat dan ringan (yang dipengaruhi unsur apo). Elemen apo (air) tak bisa dilihat. Ia hanya bisa diketahui melalui kontak dengan elemen atau unsur lain yang tergabung di dalamnya.
Para yogi di pusat meditasi kami mengawali latihan meditasi vipassana dengan “melihat” pergerakan sekat diafragma yang umum dikenal dengan nama naik dan turunnya perut. Hal ini persis sama dengan yang digambarkan dalam satipatthana sutta. Ketika seorang yogi tekun mempraktekkan vipassana ia mampu menyadari ketidakkekalan dan leburnya unsur-unsur jasmani.
Para yogi akhirnya tahu bahwa jasmani (rupa) yang sedang dilihatnya saat ini adalah subjek dari ketidakkekalan (anicca) dan penderitaan (dukkha). Pengetahuan batin, pandangan terang, ini menumbuhkan perasaan gembira. Jenis suka-cita semacam ini digambarkan sebagai jenis perasaan yang akan mengantarkan pada kebebasan.
Hal di atas tertulis dalam satipatthana sutta. Kitab komentar menambahkan; akan muncul perasaan gembira ketika seorang yogi menyadari adanya ketidakkekalan, penderitaan, dan lain-lain. Pengetahuan batin ini muncul akibat dari utuhnya kesadaran melihat obyek-obyek meditasi. Jenis suka cita (kegiuran) semacam ini tentu bermanfaat.
Dalam kitab komentar tertulis adanya empat jenis suka cita; 1. suka cita yang muncul akibat penolakan kondisi duniawi pada umumnya, 2. kegembiraan yang muncul karena merenungkan sifat-sifat Sang Buddha, 3. kegembiraan akibat pikiran yang terserap ke dalam tingkat-tingkat konsentrasi (jhana-jhana), 4. Kegembiraan yang muncul akibat praktek meditasi vipassana.
Kegembiraan bermanfaat muncul melalui berbagai sebab seperti sudah dijelaskan di atas. Akan muncul perasaan gembira ketika seseorang melakukan penolakan atas kecenderungan duniawi pada umumnya. Seseorang bisa sangat bahagia ketika ditahbiskan sebagai bhikkhu, ketika mempraktekkan sila atau vinaya atau ketika pikirannya terserap dalam tingkat-tingkat konsentrasi, dan lain-lain.
Salah satu jenis penolakan, nekkhama, yang berhubungan dengan hidup para suci adalah menolak perkawinan. Sebagaimana disebutkan menikah berarti mensahkan hubungan seks. Padahal dalam praktek vipassana dibutuhkan suatu sila (brahmacariya sila: selibat) dimana seorang yogi diharuskan tidak melakukan hubungan seks. Sehingga dalam kitab Itivuttaka ditulis yang termasuk nekkhama adalah: pentahbisan bhikkhu, Jhana ke satu, vipassana dan nibbana.
Kegembiraan atau suka cita semacam ini bermanfaat. Karena hal-hal ini berakar pada meminimalkan daya pikat indrawi. Sebagai misal perasaan bahagia yang muncul ketika mendengar suatu pembabaran dhamma atau pergi ke suatu pusat meditasi adalah bermanfaat. Karena perasaan-perasaan ini mampu mengikis kekotoran batin.
Sementara kegirangan (baca: piti/kegiuran) akibat praktek vipassana muncul ketika kita sepenuhnya sadar. Disebutkan kegiuran praktek vipassana tertinggi muncul ketika seorang yogi mampu meraih udayabhaya nana (pengetahuan batin ke empat). Saat itu seorang yogi mampu melihat muncul dan lenyapnya segala fenomena jasmani dan batin dengan jelas.
Sementara itu kegirangan (kebahagiaan) yang muncul ketika kita merenungkan sifat-sifat mulia Sang Buddha adalah sesuatu yang penting pula. Dalam kitab komentar tertulis, kegembiraan yang muncul karena merenungkan kemuliaan Buddha, Dhamma dan Sangha bisa memunculkan pengetahuan batin. Pengetahuan batin ini bisa membantu mengantarkan kita kepada pencapaian “jalan” dan “buah” (magga dan phala).
Bahkan, demikian kitab komentar, ada seorang yogi yang mampu meraih kearahatan ketika ia tengah merenungkan dan “melihat” meleburnya piti yang muncul di dalam dirinya. Piti adalah kata lain dari kegiuran. Munculnya kegiuran bisa membuka peluang bagi seorang yogi untuk melakukan perenungan berikutnya. Kegiuran semacam ini tentu bermanfaat karena berakar pada jhana.
Terdapat jenis kegiuran akibat memperoleh vitakka dan vicara. Kegiuran vitakka dan vicara sendiri terbagi dua. Pertama, munculkan rasa sukka (kebahagiaan) karena telah memperoleh konsentrasi (upacara samadhi/ tetangga jhana). Kedua, kegiuran yang muncul akibat memperoleh jhana pertama.
Yang lebih tinggi adalah jenis kegembiraan yang tak ada hubungannya dengan vitakka dan vicara. Ia bisa diperoleh pada jhana kedua. Jhana kedua ditandai dengan sukha (kegembiraan yang amat dalam), kegiuran (tanpa vitakka dan vicara) serta mampu berkonsentrasi pada satu objek (ekagata). Sementara jhana ketiga ditandai oleh kegiuran dan ekagata.
Menurut kitab komentar, ketika bertanya kepada Sang Buddha bagaimana menyingkirkan tanha, mana dan ditthi sebenarnya Sakka sedang bertanya tentang praktek vipasana. Sekali lagi kami jelaskan dewa memiliki wujud fisik yang berbeda dengan manusia. Dewa hampir-hampir tak memiliki kendala fisik seperti rasa lelah, lapar dan lain-lain. Sehingga Sang Buddha memberi jawaban agar Sakka memperhatikan perasaannya.
Praktek Vipassana
Pekerjaan rumah dari seorang yogi waktu berlatih vipassana adalah mencatat semua fenomena batin dan jasmani yang muncul dari enam objek indra. Sehingga seorang yogi mampu melihat kondisi batin dan jasmani apa adanya. Kondisi batin dan jasmani memiliki tiga karakter yakni, ketidakkekalan, penderitaan dan ketanpaintian.
Tentu saja awalnya seorang yogi belum mampu mencatat setiap proses yang muncul. Sehingga ia harus mulai dari sesuatu yang jelas (kasad mata) yakni rupa (jasmaninya). Ia harus mencatat “berjalan” pada saat sedang berjalan, dan lain-lain.
Ia harus mencatat setiap perilaku jasmani. Sehingga ia menjadi awas dengan adanya empat unsur yang membentuk tubuhnya. Ia sadar pada saat unsur vayo sedang timbul juga munculnya unsur-unsur lain. Kami kutip lagi apa yang tertulis dalam Satipatthana Sutta, “gacchanto va gacchamiti pajanati… seorang yogi tahu ia sedang berjalan pada saat tengah berjalan”.
Bila seorang yogi ingin menjaga kesadarannya secara berkesinambungan kami menasehatinya untuk memperhatikan naik dan turunnya perut (faktanya terjadi naik dan turun perut karena diagrafma, sekat rongga dada, mengalami kembung dan kempis). semakin lama ia berlatih kesadarannya semakin berkembang.
Setelah itu barulah ia sadar adanya elemen vayo (angin) ketika tengah “melihat” naik dan turunnya perut. Kemudian muncul pengetahuan batin bahwa naik dan turunnya perut ternyata sangat bervariasi. Ia pun menyadari saat mengangkat kaki (pada saat meditasi jalan) dan menurunkannya. Ia juga mampu melihat adanya kesadaran yang bisa mengamati hal-hal itu. Kemampuan membedakan adanya nama dan rupa (batin dan jasmani) ini dinamakan namarupa pariccheda nana.
Semakin lama seorang yogi berlatih semakin berkembang kesadarannya. Konsentrasinya juga semakin terpusat. Karenanya ia tahu ketika tengah menekuk tangan muncul kecenderungan, keinginan, untuk menekukkan tangan sebelum tangan itu benar-benar ditekuk. Ia melihat sesuatu karena adanya organ penglihatan dan sebuah objek untuk dilihat. Ia mengetahui karena adanya organ pikiran serta kesadaran dan objek untuk diketahui. Demikian juga sebaliknya, ia tak mengetahui karena ia sedang tidak sadar pada saat itu.
Ia bisa tergila-gila dengan suatu objek, suatu benda, karena ketidaktahuannya. Bahwa ia benar-benar ingin memenuhi hasratnya karena keterikatannya. Kemudian ia sadar setelah itu akan ada proses selanjutnya. Dimana akibat yang baik dan buruk mengikuti segala tindakannya, dan lain-lain. Pengetahuan batin semacam ini, yakni mengetahui bekerjanya hukum sebab dan akibat dinamakan paccayaparigghaya nana.
Setelah mampu mencapai nana di atas ia bisa meraih tingkat pengetahuan batin sammasana nana. Pada saat ini seseorang mampu menyadari adanya anicca, dukka dan anatta. Pengetahuan batin ini muncul ketika ia melihat segala sesuatu hanya muncul dan lenyap.
Bila seorang yogi meneruskan latihannya ia akan tahu segala sesuatu akan muncul dan lenyap dengan sangat cepat. Pada tahap ini pengamatannya begitu tajam sehingga tak ada satu pun proses yang luput dari “penglihatannya”. Ada sementara yogi yang memiliki pengalaman melihat munculnya sinar-sinar dalam keadaan ini. Munculnya sinar-sinar ini seringkali membuatnya sangat gembira sehingga muncullah piti.
Bila muncul perasaan susah maupun senang ingatlah bahwa ini adalah bentuk perasaan yang bermanfaat. Karena ia muncul bersamaan dengan pengetahuan batin yang luar biasa yakni udayabhaya nana. Pada tahap ini ia mampu melihat fenomena muncul dan lenyapnya batin-jasmani.
Dikatakan, bentuk kegembiraan yang muncul pada tahap udayabhaya nana jauh lebih tinggi di banding kegembiraan-kegembiraan sebelumnya. Karena berakar pada praktek vipassana tahapan mental ini perlu kita terima sebagai perasaan sukha yang bermanfaat. Dhammapada menulis tentang rati (bentuk kegirangan yang luar biasa) yang muncul pada saat seorang yogi tengah mempraktekkan dhamma. Dhamma yang dimaksud disini adalah kemampuan seseorang “melihat” muncul dan lenyapnya proses jasmani dan batin.
Ia menyadari adanya kegembiraan dan kegiuran yang muncul pada tahap ini sebagai suatu tahap berkembangnya kesadaran. Proses ini dinamakan amata (sesuatu yang tak mengenal kematian). Amata merujuk pada nibbana. Dimana mungkin bagi seorang yogi untuk meraih nibbana jika ia terus mempraktekkan dhamma dengan tekun dan penuh kewaspadaan. Kesimpulannya, kegembiraan muncul pada seorang yogi yang pada tahap ini memiliki keyakinan akan mampu meraih nibbana.
Ada juga kata lain disini yakni Pamujja dan Piti untuk menyebutkan kegembiraan dan kegiuran yang muncul pada tahap-tahap ini. Pamujja dalam bahasa Pali artinya kegembiraan dan kegirangan yang muncul dengan mulai tercapainya pengetahuan batin samma sana nana (pengetahuan batin ketiga). Sementara piti artinya kegembiraan yang luar biasa yang berhubungan dengan perolehan kemampuan batin ke empat dalam vipassana (udayabhaya nana). Piti muncul pada saat seseorang mampu melihat muncul dan lenyapnya fenomena batin dan jasmani dengan sangat cepat.
Perasaaan-perasaan Duka Cita
Dalam Satipatthana sutta tertulis adanya dua jenis perasaan yang tak menyenangkan (bersikap dukacita). Pertama perasaan tak menyenangkan yang akan membawa tumbuhnya karma buruk baik dilakukan melalui pikiran, perkataan maupun perbuatan. Kedua, perasaan tak menyenangkan yang akan membawa tumbuhnya karma baik. Perasaan tak menyenangkan yang pertama harus kita singkirkan. Sementara perasaan tak menyenangkan yang terakhir harus kita pelihara. Perasaan terakhir ini harus dijaga keberlangsungannya karena berdasar pada jhana, praktek para ariya dan buahnya (magga dan phala).
Dalam Salhayatanavibbhanga Sutta tertulis tentang hal itu. Bahwa ada jenis duka cita (perasaan tak menyenangkan) yang patut kita terima dan perasaan duka cita yang harus kita singkirkan. Biasanya akan muncul perasaan sedih disaat seseorang mengalami kegagalan. Sulit bagi seseorang menerima dengan tabah bila kegagalan menghampirinya. Misalnya, ia akan merasa sedih bila tak mampu memiliki benda-benda indrawi yang sangat diinginkannya.
Demikian pula kita menjadi tak bahagia bila berhadapan dengan objek-objek tak menyenangkan atau ketika tengah menghadapi bahaya. Kita pun akan merasa cemas bila menghadapi kemungkinan munculnya bahaya di masa akan datang. Demikian pula akan muncul kesedihan bila mengingat kegagalan di masa lalu, dan lain-lain. Jenis-jenis perasaan demikian membuat kita menjadi murung dan serba salah. Hal ini akan memunculkan kesakitan di dalam diri juga akan menumbuhkan bentuk-bentuk pikiran tak bermanfaat.
Bentuk-bentuk perasaan dukacita semacam itu merupakan halangan untuk melakukan hal baik di masa depan. Seseorang yang tengah diliputi perasaan dukacita tak mungkin melakukan hal-hal baik apalagi menghormati dan menghargai Buddha, Dhamma dan Sangha.
Bila pun si orang yang tengah berduka ini melakukan penghormatan kepada Buddha, Dhamma dan Sangha pikirannya tidak dapat dikonsentrasikan. Ia pun menjadi kurang bersemangat. Dalam banyak Sutta tertulis dibutuhkan konsentrasi yang baik ketika tengah melakukan perenungan akan sifat-sifat mulia Sang Buddha.
Tanpa pikiran yang terkonsentrasi akan muncul bentuk-bentuk perasaan yang tak bermanfaat. Sehingga kita harus berusaha keras menyingkirkan perasaan-perasaan itu. Meski demikian ada juga orang yang suka berselubung dukka. Mungkin saja mereka tak suka bila kita mengingatkannya untuk tak terlalu larut dalam kesedihan karena telah kehilangan orang yang dikasihinya, misalnya. Di sisi lain mereka mungkin akan berterimakasih karena kamu telah mengatakan sesuatu yang membenarkan duka-laranya.
Dalam kasus ini harus tertanam di dalam benak kita tentang ajaran Sang Buddha. Bahwa, apapun yang terjadi tergantung dari apa yang telah dilakukan seseorang. Sehingga kita harus memikul suka dan duka dengan tenang sebagai buah dari karma kita. Obat yang baik menghadapi keadaan kritis demikian adalah berlatih meditasi samatha (ketenangan) atau meditasi vipassana (pandangan terang).
Jika kesedihan, dukacita atau depresi muncul saat kita tengah berlatih meditasi vipassana catat perasaan itu sebagai bentuk perasaan sedih. Setelah itu singkirkan perasaan itu. Itu saja. Bila kita mampu mencatat perasaan depresi itu dan “membuangnya” perasaan itu tak akan lekat secara kuat lagi. Atau bisa jadi perasaan itu sudah tersingkirkan selamanya.
Sang Buddha telah menjelaskan metode Satipatthana sebagai satu-satunya jalan untuk mengatasi kesedihan dan mengakhiri semua penderitaan. Hal ini berlaku sepanjang kita terus mempertahankan kesadaran dan taat pada petunjuk satipatthana.
Banyak hal dalam hidup yang bisa membuat seseorang tidak bahagia. Kegagalan, kerugian, kehilangan harta benda atau kehilangan orang yang kita kasihi membuat seseorang merasa tak bahagia. Bagaimana pun kegagalan mendatangkan tekanan. Tapi, kita harus menyingkirkan bentuk-bentuk perasaan ini melalui kesadaran. Metode yang kami tawarkan adalah mengawasi secara konstan naik dan turunnya perut, mencatat sentuhan-sentuhan saat meditasi duduk, dan lain-lain.
Bagi Sakka praktek menumbuhkan kesadaran semacam ini ternyata penting. Terlebih menjelang kematiannya yang semakin dekat. Secara pasti setelah kematiannya tiba ia akan kehilangan kenikmatan surgawi. Ia sangat tertekan memikirkan hal ini. Jadi, bagi Sakka pembabaran dhamma yang disampaikan Sang Buddha sangat masuk akal.
Kembali ke bentuk-bentuk perasaan. Kami (Mahasi Sayadaw) akan menjelaskan jenis-jenis perasaan tak menyenangkan. Bahasan ini kami ambil dari teks Pali dalam Salhayatanavibhanga Sutta.
“Setelah melakukan pengamatan dan menyadari ketidakkekalan serta lenyapnya objek jasmani seorang yogi memperoleh pengalaman batin tentang hakekat alami jasmani sebagaimana adanya. Jasmani adalah subjek dari ketidakkekalan, penuh penderitaan dan tidak ada inti yang kekal di dalamnya”, kata Sang Buddha.
“Sehingga muncul pada dirinya hasrat untuk mengikuti jejak para arya, meraih kebebasan yang tak ada bandingnya. Ia melihat kesehariannya dan ke masa depan ketika ia akan berada di wilayah yang sama dengan para arya, orang-orang yang telah menang, yang telah memperoleh kebebasan”.
Keinginan untuk meraih kebebasan menyebabkan munculnya rasa sakit dan kesedihan. Perasaan sedih ini dinamakan nekkhamasita domanasa, artinya, hasrat untuk melakukan penolakan.
Bagi seseorang yang sibuk mengamati fenomena batin dan jasmani saat kemunculannya melalui enam pintu indra menyadari adanya ketidakekalan, dan lain-lain. Dengan pandangan terang terhadap dhamma mereka akan terus berlatih meditasi dengan harapan bisa meraih kebebasan akhir. Kekecewaan akan muncul jika harapannya tak terkabul. Inilah yang dinamakan penderitaan mental. Ini muncul karena keinginan atau hasratnya menolak kegagalan yang dialaminya.
Ada penjelasan tentang hal ini. Para yogi yang tak memiliki pengalaman dalam meditasi ketenangan, jhana atau samadhi, tak mudah melihat kemunculan jasmani dan batin melalui enam pintu indra. Memang tak mudah bagi pemula untuk mengikuti prosesnya secara langsung. Sehingga sebaiknya yogi ini mulai dengan mengamati elemen vayo di perut (istilah umum) seperti yang kami ajarkan di pusat meditasi kami.
Ketika sadar adanya proses naik dan turunnya perut, ia harus mencatat pula setiap pikiran (kecenderungan, hasrat, dan lain-lain), obyek-obyek indrawi (melihat, mendengar, dan lain-lain) yang muncul. Ketika konsentrasi melemah obyek jasmani dan batin tak terlihat jelas.
Saat konsentrasi berkembang pikiran menjadi tenang, murni dan bebas dari halangan. Pada saat ini setiap bentuk pikiran yang muncul bisa dicatat dan disingkirkan. Ini dinamakan tingkat kemajuan batin citta visudhi (pikiran yang termurnikan).
Saat ini ia tahu perbedaan antara apa yang tergolong ke dalam jasmani dan apa saja yang termasuk kelompok batin. Kemampuan batin membedakan jasmani dan batin ini dinamakan nama rupa pariccheda nana. Hal ini akan membawa pada pemurnian cara pandang yang dinamakan ditthi visudhi. Setelah itu ia akan memperoleh pandangan terang berupa kemampuan melihat sebab dan akibat (dalam istilah Pali: pacchaya pariggaha nana). Setelah itu lah ia terbebas dari keragu-raguan (dalam istilah Pali: kankhavitarana visudhi).
Setelah tahap itu para yogi menyadari semua fenomena adalah subjek dari ketidakkekalan, penderitaan dan tak ada inti yang kekal di dalamnya. Kemampuan melihat ketiga karakteristik duniawi ini dinamakan samasana nana. Kemudian mereka akan masuk ke keadaan dimana segala sesuatunya mengalami proses muncul dan lenyap. Kemampuan batin melihat segala sesuatu muncul dan lenyap ini dinamakan udaya bhaya nana.
Pada tingkat ini muncul keinginan untuk meraih kebebasan. Ia berharap bisa berlatih lagi sehingga kebebasan yang diimpikannya bisa diperoleh.
Jika harapannya tidak terpenuhi akan muncul rasa sedih, kecewa dan bentuk perasaan ragu-ragu. Tapi, perasaan ini pun mendatangkan berkah tersendiri karena setelah itu ada sementara yogi yang membangun tekad baru serta mengandakan daya upaya. Hal ini tentu akan mengusir keragu-raguannya meski ia belum meraih kebebasan.
Tentu saja hal terbaik yang bisa dilakukan adalah meraih kemajuan batin berupa kesadaran tak terputus. Sehingga mereka bisa memperoleh pengalaman batin yang mendatangkan banyak suka cita. Ada banyak sutta yang membahas objek kegembiraan dalam dhamma. Meski tak bisa dipungkiri ada sementara yogi yang membuat target dalam latihannya. Bila harapannya tak terkabul yogi ini mengalami depresi.
Dalam pusat meditasi kami menjelaskan tingkat-tingkat kemajuan batin pada sedikit yogi yang berkualitas. Hal ini dimaksudkan untuk membantu mereka melakukan evaluasi terhadap pengalamannya sendiri.
Kami meyakini salah satu ajaran yang mengatakan untuk melakukan seleksi tingkah laku. Perlu dikatakan hal ini tak akan berguna bagi seseorang yang tak memiliki pengalaman meditasi. Ajaran ini hanya bermanfaat bagi yogi berpengalaman. Penjelasan-penjelasan kami ini dinamakan lokomotif atau katalisator untuk mendorong tumbuhnya usaha yang lebih besar.
Bagi seseorang yang berharap mendengar ajaran kami tanpa didasari pengetahuan batin yang akan timbul hanya kekecewaan. Karena harapan mereka tak terpenuhi. Tapi, kekecewaan ini adalah baik karena membuat mereka semakin berupaya sehingga bisa menumbuhkan pengalaman yang sejalan dengan ajaran kami. Setelah itu lah mereka baru bisa melakukan evaluasi dengan penuh suka cita.
Beberapa yogi yang memiliki konsentrasi lemah merasa berkecil hati. Akibatnya ada yang meningkatkan usahanya sehingga bisa memperoleh pengalaman batin yang luar biasa. Menurut kitab komentar, kita harus jujur mengakui adanya keputusasaan sebagai akibat tidak terpenuhinya keinginan. Keinginan ini berhubungan dengan penolakan, refleksi (anusati), meditasi dan jhana. Bahwa keputusasaan atau kesedihan karena ketidakmampuan kita menjadi seorang bhikkhu, untuk melakukan praktek meditasi, atau bahkan untuk mendengarkan dhamma, atau untuk mengunjungi sebuah vihara adalah sesuatu yang baik. Kesedihan ini bermanfaat. Ada contoh tentang seorang umat buddha perempuan di Sri Lanka yang mengalami kesedihan yang mendatangkan manfaat.
Orang tua perempuan muda ini pergi ke sebuah vihara meninggalkannya di rumah. Ia hanya dijaga oleh salah satu sanak familinya. Vihara ini tak jauh letaknya dari rumah mereka.
Karena letaknya yang tidak jauh ia bisa mendengarkan dhamma yang dibabarkan oleh seorang bhikkhu. Dalam hatinya wanita muda ini merasa memiliki karma buruk di masa lalu sehingga ia tak bisa pergi ke vihara. Di sisi lain ia merasa berbahagia melihat para umat yang mengunjungi vihara. Kegembiraannya mendatangkan kegiuran (Pali: ubbega piti). Karena kegiurannya ini membuatnya mampu terbang ke udara. Setelah itu ia menemukan dirinya berada di atap vihara. Inilah proses kesedihan yang membawa keinginannya terpenuhi dengan cara yang luar biasa.
Ada cerita dalam Sakka Panha tentang seorang bhikkhu bernama Mahasiva Thera. Ini adalah contoh nyata tentang kesedihan bermanfaat yang membuat thera ini meraih kearahatan.
Mahasiva thera adalah seorang guru meditasi dengan banyak pengikut. Bhikkhu-bhikkhu yang melakukan praktek meditasi di bawah bimbingannya berhasil meraih kearahatan. Melihat kenyataan gurunya belum mencapai arahat salah satu arahat muridnya meminta thera ini memberi pelajaran dhamma. Mahasiva Thera berkata ia tak memiliki waktu untuk memberi pelajaran karena telah mengisi seluruh hari dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan para muridnya, menyingkirkan keragu-raguan mereka, dan lain-lain.
Kemudian arahat muridnya berkata, “Yang mulia, engkau seharusnya memiliki waktumu sendiri untuk melakukan perenungan dhamma di pagi hari”.
“Kalau keadaannya demikian terus, engkau bahkan tak memiliki waktu untuk mati. Engkau selalu siap melayani orang lain. Tapi engkau tak memiliki usaha untuk dirimu sendiri. Karena itu sejak saat ini aku tak ingin mendengarkan pelajaran apapun darimu”, kata muridnya yang kemudian terbang ke udara dan pergi dari hadapan gurunya.
Sekarang Mahasiva Thera baru menyadari bahwa muridnya datang tidak untuk belajar dhamma. Tapi untuk memperingatkan agar lebih memperhatikan diri sendiri dan menyingkirkan keragu-raguannya.
Tak lama setelah itu Sang Thera meninggalkan vihara. Kemudian ia mencari tempat yang cocok untuk berlatih meditasi pandangan terang dengan penuh disiplin.
Tapi, tak seperti harapannya, meski telah bekerja keras dan menyakitkan ia gagal meraih kemajuan batin. Bahkan setelah bertahun-tahun ia masih jauh dari tujuan akhir.
Ia tengah menangis ketika muncul sesosok dewi. Dewi ini mulai menangis pula. Dewi ini berpikir dengan menangis ia akan meraih pengetahuan batin.
Kenyataan ini menyadarkan sang Thera akan masalahnya sendiri. Setelah itu ia berusaha lebih keras dan berhasil memperoleh tingkat-tingkat pengetahuan yang membawanya ke tujuan akhir.
Cerita ini memberi ilham bahwa para yogi pun bisa memperoleh tingkat-tingkat kesucian dalam waktu singkat melalui berbagai pengalaman. Sang Thera gagal meraih tujuan akhir, meski berusaha keras karena konsentrasinya pecah. Hal ini berasal dari kemampuan teori dhamma yang dimilikinya.
Setelah menyadari hal itu muncul kesedihan. Kesedihan ini meningkatkan usahanya. Ini adalah sejenis kesedihan yang bermanfaat yang harus diterima.
Ada dua jenis kesedihan bermanfaat seperti tertulis dalam Sakka Panha sutta. Yang pertama disertai dengan vitakka-vicara (pikiran yang terpecah-pecah) dan yang lain tanpa vitakka-vicara. Tapi, kenyataannya bila kita berpikir tentang kesedihan hal ini benar-benar nyata dan bukan suatu metafora.
Singkatnya, kesedihan dikatakan tidak bermanfaat jika berasal dari hasrat-hasrat indrawi atau sebab-sebab keduniawian. Sehingga kita harus mengabaikan pikiran-pikiran penyebab kesedihan. Jika kesedihan itu muncul secara spontan kita pun tak boleh menyimpannya. Ia bisa hilang dengan sendirinya.
Di sisi lain kesedihan dikatakan bermanfaat akibat rasa frustrasi atas semua usaha spiritual yang telah kita lakukan. Misalnya, usaha untuk bergabung dalam lingkungan sangha, usaha untuk memperoleh pandangan terang, dan lain-lain. Kita harus menerima jenis kesedihan semacam ini karena hal ini akan mendukung dan mendatangkan kemajuan pada jalan spiritual kita. Yang terbaik adalah memiliki kegembiraan yang bermanfaat untuk mengantarkan kita meraih pencerahan.
Perasaan netral yang Bermanfaat dan tak Bermanfaat
Perasaan netral atau keseimbangan bisa digambarkan ke dalam bentuk perasaan yang bukan kegembiraan dan bukan kesedihan. Perasaan netral muncul lebih sering dibandingkan bentuk perasaan lainnya seperti kesedihan atau kegembiraan.
Perasaan netral ini hanya nampak pada yogi yang memiliki konsentrasi baik. Sekali lagi, perasaan netral terbagi menjadi dua jenis, yaitu perasaan netral yang bermanfaat dan yang tak bermanfaat. Dengan memiliki perasaan netral yang bermanfaat bisa membawa seseorang melakukan tindakan yang baik. Yang lain adalah perasaan netral yang tidak bermanfaat. Ini akan membawa pada tindakan yang tak bermanfaat. Dalam Sutta Salhayatana Vibhanga tertulis, perasaan netral terbagi enam jenis menurut tempat munculannya melalui enam pintu indra, yakni, mata, telinga, hidung, lidah, kulit dan pikiran.
Perasaan netral yang tak bermanfaat muncul dari kebingungan dan ketidaktahuan (Pali: gehasita upekkha). Orang awam akan merasa senang melihat obyek-obyek yang disukainya dan sedih melihat obyek-obyek yang tak disukainya.
Perasaan netral adalah perasaan yang tidak memihak bila bertemu suatu obyek. Contohnya, kita tidak merasa senang atau sedih ketika bersua dengan sebongkah batu atau pohon.
Bentuk perasaan ini sering dialami umat awam (puthujjana). Orang awam bukanlah para ariya atau orang suci. Juga bukan golongan orang yang memiliki pengetahuan di atas manusia pada umumnya (Pali: Kalyana Puthujjana). Orang terakhir ini adalah pihak yang awas akan adanya anicca, dukka, dan anatta. Kami maksudkan orang awam adalah orang-orang yang “tidak tahu”. Mereka tidak tahu kondisi alami dari obyek-obyek indra.
Sekali lagi orang awam tak menyadari dan tidak awas akan adanya anicca, dukkha dan anatta. Pikiran mereka dipenuhi khayalan akan kekekalan. Mereka menganggap semua fenomena adalah baik.
Kitab komentar menjelasan lebih rinci tentang orang awam ini. Mereka adalah subyek dari perasaan netral yang tak berfaedah. Orang-orang ini bukanlah para sotapanna. Karena para sotapanna telah menaklukkan sebagian kekotoran batin yang ditandai dengan lenyapnya keragu-raguan akan adanya konsep “aku”. Orang suci tingkat pertama ini tak akan terlahir lagi di empat alam-alam tingkat rendah. Mereka juga bukan para sakadagami yang dijamin terbebas dari hasrat indrawi dan kehendak-kehendak buruk. Para umat awam ini juga bukan para Anagami.
Masyarakat awam ini bukanlah salah satu dari ketiga golongan ariya itu. Dimana dikatakan mereka (orang awam) belum selesai melakukan pengikisan atas kekotoran batin apapun.
Masyarakat awam ini bukan pula golongan yang bisa menetralisir karma. Hanya para arahat saja yang bisa menyingkirkan akibat dari karma seperti tumimbal lahir, dan lain-lain. Sehingga perasaan netral yang tak bermanfaat, dikatakan, hanya muncul di antara para puthujjana, bukan di antara para ariya. Pada kitab komentar ditegaskan, mereka tak memiliki pengetahuan batin yang dicapai melalui praktek meditasi vipassana.
Orang awam ini bisa digambarkan sebagai seseorang yang memiliki moha (ketidaktahuan). Mereka juga tidak memiliki kesadaran yang baik. Pikiran mereka dipenuhi khayalan.
Keadaan inilah yang mendorong tumbuhnya keinginan-keinginan. Ini membuat orang-orang awam terbelenggu di wilayah duniawi untuk memenuhi keinginan-keinginannya. Perjuangan atau usaha mereka pada gilirannya menumbuhkan karma baik dan buruk. Hal ini yang mengakibatkan kelahiran kembali, usia tua, sakit, kematian, serta penderitaan-penderitaan lainnya.
Para puthujjana tak melihat hal negatif dari berbagai khayalan yang muncul di dalam dirinya. Hal ini terjadi karena ia tak memiliki pengetahuan.
Pengetahuan dhamma terbagi dua. Pengetahuan tentang ajaran Sang Buddha yang diperoleh melalui ceramah-ceramah atau pengajaran-pengajaran. Kedua, pengetahuan empiris, melalui praktek meditasi pandangan terang. Kedua jenis pengetahuan ini terasa asing bagi para puthujjana.
Terkadang muncul perasaan tidak gembira juga bukan kesedihan ketika tengah menikmati obyek-obyek indra. Tapi, hal ini sudah pasti membuatnya masuk ke dunia indra. Ada lagi istilah gehasika upekkha. Dimana geha adalah rumah dari indra. Dengan kata lain, para puthujjana adalah golongan orang yang belum mencabut akar keterikatan dari fenomena dunia indra.
Kembali ke perasaan netral. Perasaan netral tak bermanfaat bisa berubah menjadi perasaan netral yang bermanfaat. Kitab komentar mengupas panjang lebar salhayatana vibhanga Sutta. Sutta ini membahas tentang penolakan menyakitkan yang membawa pada tujuan baik.
Inilah penjelasannya. Menjadi awas melihat lenyapnya obyek indra, para yogi menyadari semua fenomena adalah subyek dari ketidakkekalan, dan lain-lain. Pandangan terang menyadari realitas alam mendatangkan ketenangan hati atau keseimbangan. Ini akan menolong para yogi melepaskan keterikatan kenikmatan indrawi serta berbagai keterikatan lainnya. Setelah itu mereka memiliki keseimbangan lebih baik ketika berhadapan dengan objek-objek menyenangkan dan tidak menyenangkan.
Yogi yang memiliki konsentrasi dan kesadaran mampu melihat segala sesuatu muncul dan lenyap dengan cepat. Sutta di atas menekankan kenyataan ini. Proses muncul dan lenyap bisa terlihat pada obyek kasad mata seperti jasmani. Atau lebih jelas pada naik dan turunnya perut. Bagi yang konsentrasinya tajam bisa melihat fenomena ini pada obyek pikiran.
Saat seorang yogi lebih awas melihat naik dan turunnya perut, ia akan melihat bentuk-bentuk pikiran muncul dan lenyap dengan cepat. Bila konsentrasi telah berkembang yogi ini menyadari kemunculan dan kelenyapan berjalan berkesinambungan. Di tingkat pengetahuan batin bhanga (bhanga nana), ia menemukan bahwa perut, tangan, dan lain-lain bukanlah suatu substansi. Mereka adalah fenomena yang lenyap, hilang secara cepat.
Lenyapnya segala fenomena jelas terlihat dengan semakin matangnya bhanga nana. Sehingga yogi ini lebih mengerti adanya hukum perubahan.
Menyadari kondisi alami jasmani dan batin, seorang yogi tidak merasa bahagia juga tak merasa sedih. Tapi ia tetap waspada. Ini akan membawanya pada kondisi seimbang. Keseimbangan ini terlihat lebih nyata di tingkat bhanga sampai Sankharaupekkha nana.
Pada kondisi ini seseorang tak merasa puas juga tidak merasa tidak puas ketika bersua dengan obyek-obyek yang menyenangkan maupun tidak menyenangkan. Dalam keadaan demikian ia berada di atas kondisi yang berhubungan dengan proses melihat, mendengar dan lain-lain. Keseimbangannya berada di atas alam indra. Ini berarti ia telah mencicipi sedikit kebebasan dan memperoleh hasil dari praktek meditasi.
Para yogi harus mengumpulkan hal bermanfaat yang berorientasi pada vipassana. Karena hal ini akan mengarah pada keseimbangan. Hal bermanfaat tumbuh setelah seorang yogi berhasil meraih kemampuan batin melihat muncul dan lenyap.
Sutta Salyatana Vibhanga membagi keseimbangan menjadi dua. Yakni keseimbangan dengan dan tanpa vitakka-vicara. Kenyataannya semua upekha, keseimbangan batin, muncul ketika seorang yogi mulai meraih jhana I. Pada tingkat konsentrasi kesatu ini keseimbangan yang muncul disertai vitakka-vicara. Sementara keseimbangan yang muncul ketika terserap pada jhana ke dua dinamakan keseimbangan yang tanpa vitakka-vicara. Dari dua jenis keseimbangan batin ini, keseimbangan yang tanpa vitakka-vicara lebih baik.
Sakka Lahir Kembali
Berbagai obyek meditasi vipassana dimaksudkan sebagai sarana untuk mengumpulkan keseimbangan batin. Bila keseimbangan batin sudah diperoleh akan muncul pandangan terang keseimbangan batin. Pada saat ini kita cenderung mengabaikan kesenangan indra serta berupaya mencari kesenangan yang bermanfaat melalui perbuatan baik serta banyak melakukan perenungan.
Di sisi lain kita harus memelihara kesedihan bermanfaat yang bersumber dari rasa frustrasi akibat terhambatnya proses latihan meditasi. Sementara itu kita harus mengabaikan kesedihan tak bermanfaat. Yang paling penting kita harus mencari keseimbangan bermanfaat yang muncul melalui jalan dhamma.
Inilah faktor-faktor positif yang berkembang melalui praktek vipassana. Kita pun harus berkonsentrasi mengumpulkan kesenangan dan kegembiraan serta perasaan netral yang bermanfaat. Bila memiliki pengertian atas sesuatu yang bermanfaat akan membantu membersihkan sisi negatif kita.
Seorang yogi juga harus merubah kesedihan bermanfaat menjadi kegembiraan bermanfaat. Ini artinya, ketika seorang yogi merasa latihannya terhambat akan muncul depresi. Tapi, melalui perasaan sedih itu ia bisa melipat gandakan usahanya. Sehingga ia mampu meraih pandangan terang.
Sementara kegembiraan yang bermanfaat pun harus disingkirkan dengan keseimbangan batin bermanfaat. Manfaat akan adanya keseimbangan batin dari vipassana adalah awal kehidupan suci.
Tapi kegembiraan yang muncul dalam vipassana tak harus ditolak karena kegembiraan adalah dasar pencapaian tiga tingkat jhana dan buah dhamma. Lebih jauh, para yogi yang tak bisa mencapai jhana satu–tiga tak bisa meraih jhana keempat dengan keseimbangan batin. Tanpa ini, ia hanya bisa meraih kegiuran tiga jhana pertama. Sementara ia baru bisa meraih magga dan phala, jalan dan buah, melalui pencapaian pengetahuan batin anuloma. Setelah sampai di sini akan muncul kegembiraan yang lebih besar lagi. Lebih jauh Sang Buddha menyimpulkan keseimbangan batin yang diraih melalui vipasana adalah wilayah tertinggi dari tumbuhnya kesadaran. Sementara pengetahuan batin sankhara upekkha disertai kegembiraan hanya satu tempat lebih rendah dari “jalan” para ariya dan dari phala, buah.
Sang Buddha berkata demikian pada Sakka, “O raja para dewa, para bhikkhu yang menjauhi dhamma tak bermanfaat serta mencari dhamma bermanfaat berada di tengah jalan kehidupan suci yang akan membawanya ke nibbana, tempat lenyapnya segala kekotoran batin”.
Saat mendengar pembabaran dhamma Sakka mengawasi perasaannya. Karenanya ia memetik kegembiraan bermanfaat dan mampu meraih keseimbangan batin. Setelah meraih kebahagiaan ia berhasil meraih tingkat kesucian pertama, sotapanna. Ini diawali dengan lenyapnya Sakka dan lahir kembali sebagai Sakka yang baru. Sakka hanya mampu meraih kesucian tingkat pertama karena potensi spiritualnya yang terbatas.
Kelahiran Sakka memperlihatkan bahwa dewa yang tengah sekarat pun bisa memetik manfaat ketika mendengarkan dhamma. Melalui kesadaran penuh serta kegembiraan bermanfaat para yogi bisa meraih kemajuan di jalan dhamma. Ini bisa terjadi bila sebagian besar kegembiraan yang mendominasi adalah jenis kegembiraan yang bermanfaat.
Ada cerita yang berhubungan dengan kegembiraan ini. Suatu kali di Sri Lanka hidup seorang bhikkhu bernama Phussadeva. Ia berhasil menjadi seorang arahat setelah melakukan perenungan atas perasaan gembiranya yang muncul di dalam dirinya ketika tengah merenungkan sifat-sifat luhur Sang Buddha. Juga istri raja Asoka berhasil meraih tingkat sotapanna setelah melakukan perenungan atas kegembiraan yang menguasai dirinya ketika ia mendengar nyanyian burung yang bersuara seperti suara Sang Buddha.
Menurut kitab komentar, para yogi punya kemungkinan menjadi seorang arahat ketika melakukan perenungan atas piti (kegiuran). Mereka pun punya peluang meraih tingkat-tingkat kesucian melalui perenungan atas kegembiraan bermanfaat akibat menjalankan dana, sila dan melihat ketidakkekalan.
Saat meraih tingkat kesucian pertama Sakka terbebas dari keragu-raguan dan khayalan-khayalan tentang “diri”. Kebebasan yang dirasakannya berbeda dari “kebebasan” yang dimilikinya pada kehidupan sebelumnya. Karena kebebasannya sekarang adalah kebebasan seorang sotapanna. Dimana jenis kebebasan terakhir ini didasari atas perenungan dan pengetahuan batin.
Patimokkhasamvara Sila
Pertanyaan Sakka berikutnya tentang pentingnya moralitas bagi kehidupan suci. Pertanyaannya demikian, “Yang mulia, praktek sila (moral) macam apakah yang bisa melindungi seseorang dari jatuh ke alam-alam rendah?”
“Perbuatan tak bermanfaat macam apa yang harus dihindari. Dimana ini bisa melindungi seseorang terjatuh ke alam-alam rendah?”
“Kata-kata atau pikiran macam apa yang harus dihindari sehingga bisa melindungi seseorang dari kejatuhan ke alam-alam rendah?”
Sang Buddha menjelaskan perbuatan terbagi menjadi dua jenis. Pertama, perbuatan bermanfaat. Kedua, perbuatan tidak bermanfaat. Demikian pula mata pencaharian dan pikiran terbagi dua yakni yang bermanfaat dan tidak bermanfaat.
Mata pencaharian, perkataan atau tindakan yang menumbuhkan karma baik adalah bermanfaat. Sementara, segala perkataan atau perbuatan yang membawa akibat karma buruk adalah tak bermanfaat.
Contoh tindakan tak bermanfaat adalah mencuri, membunuh, melakukan perbuatan seks menyimpang, dan lain-lain. Di sisi lain, tidak melakukan hal-hal semacam ini berarti suatu tindakan yang baik. Inilah aturan atau sila untuk masyarakat awam. Disamping itu masih banyak sila atau aturan moral lain seperti terdapat dalam Vinaya Pitaka.
Tentang berbicara ada aturannya pula. Tindakan verbal (kata-kata) tak bermanfaat misalnya, berbohong, mengumpat, mencaci-maki, mengejek sampai ke berbicara omong kosong. Sementara melakukan tindakan verbal bermanfaat berarti tidak melakukan semua pembicaraan yang tak bermanfaat. Bila seseorang terbiasa berkata dan bertindak ceroboh akan memiliki kecenderungan bermatapencaharian tak bermanfaat pula.
Jenis mata pencaharian bermanfaat adalah pekerjaan yang tak ada hubungannya dengan sikap atau kata-kata yang tak bermanfaat. Singkatnya, berkeraslah melaksanakan lima sila yang akan berbuah bersihnya moral.
Sementara orang berkata, apakah berbicara tanpa tujuan, dan lain-lain melanggar sila ke empat? Perlu diketahui sila ke empat adalah menghindari berkata yang tidak benar. Mereka berkeras kalau hal itu tak ada hubungannya dengan sila-sila lainnya yang berimplikasi pada matapencaharian salah. Yang perlu diketahui, tidak berdusta berarti abstain dari jenis pembicaraan salah lainnya. Juga, berusaha berkata jujur menghindari seseorang bermatapencaharian salah. Karena pembicaraan salah merupakan bentuk dusta atau kebohongan.
Kita tak bermatapencaharian salah jika kita menghindar melakukan pembunuhan, dan lain-lain. Pancasila menekankan untuk tidak melakukan pembunuhan, mencuri, dan lain-lain yang dimaksudkan untuk keuntungan seseorang atau untuk alasan lain. Jadi, ke lima sila adalah intisari dari Patimokkha Sila, sila untuk para bhikkhu.
Indriyasamvara Sila :
Kontrol terhadap panca indra
Sakka bertanya bagaimana para bhikkhu menjaga panca indranya? Ini berhubungan dengan penjagaan atas ke enam indra yakni, mata, telinga, hidung, lidah, tubuh dan pikiran. Dimana keberadaan indra menjadi salah satu sebab terjadinya proses melihat, mendengar, membau, merasa, kontak dan proses kesadaran.
Sang Buddha membagi obyek indra menjadi dua. Pertama obyek indra yang harus diterima. Kedua obyek indra yang harus disingkirkan. Seseorang harus menerima obyek indra yang bisa menumbuhkan karma baik serta menghindari obyek yang mendatangkan karma buruk.
Kita harus menghindari obyek-obyek yang membawa kenikmatan indra, kemarahan dan lain-lain. Jika tak bisa menghindar kita harus berhenti memikirkannya dan sesegera mungkin melakukan perenungan. Atau membuat catatan dalam batin dari proses melihat. Serta secepatnya menghentikan pikiran yang mondar-mandir dan kembali sadar. Inilah cara-cara menghindari obyek indra yang tak berfaedah.
Sama seperti itu kita harus tak memberi perhatian atas dhamma tak bermanfaat. Di sisi lain misalnya, kita harus mendengarkan pembabaran dhamma. Karena ini menumbuhsuburkan tumbuhnya karma-karma baik.
Bagaimana menyikapi obyek yang menghampiri kita? Apapun bentuk suara itu, jika berkonsentrasi saat suara datang, mencatatnya, kita bisa melihat bentuk ketidakkekalan, penderitaan dan ketanpaintiannya. Hal ini akan menambah pengetahuan batin kita.
Perlu diketahui “rasa” dari bebauan seringkali memicu tumbuhnya karma buruk. Demikian juga, “rasa” yang sama bisa memicu tumbuhnya karma baik. Contoh pemicu karma baik, misalnya, kita memcatat aroma bunga pada suatu waktu. Ketika melakukannya sungguh-sungguh, kita bisa melihat “peristiwa itu” memiliki tiga karakteristik yakni bersifat tidak kekal, penuh penderitaan dan tak ada inti yang kekal di dalamnya.
Rasa pun bisa kita lihat dengan cara sama. Sejujurnya kita tak bisa hidup tanpa makanan dan minuman. Tapi, kita bisa menghindari tumbuhnya karma buruk melalui makan dengan penuh kesadaran terutama saat menyantap makanan yang sangat lezat.
Kita harus tak menyantap makanan dan minuman yang mengandung racun. Kembali ke soal kekotoran batin. Kita menuai kekotoran batin jika kita tidak perduli atau merindukan kelezatan makanan tersebut. Inilah kontrol kita terhadap panca indra. Dimana cara ini tak mungkin dilakukan seseorang yang belum membangun kesadarannya dengan baik.
Karma tak bermanfaat bisa muncul dari kontak fisik. Meski mustahil meniadakan semua kontak fisik kita harus menghindari kontak seksual yang akan menimbulkan kenikmatan dan keterikatan.
Kita harus mengontrol panca indra. Sehingga kita bisa melindungi diri dan melupakan sensasi keenakkan dan ketidakenakkannya. Cara terbaik untuk melakukan kontrol adalah, seperti disebut sebelumnya, mencatat ketidakkekalan, dan lain-lain atas semua sensasi yang kita rasakan. Karma baik tumbuh melalui kesadaran melihat semua kesan yang timbul seperti termuat dalam Satipatthana Sutta.
Dalam sutta ini tertulis pikiran harus menghindar membedakan sosok laki-laki, perempuan, kawan, lawan, dan lain-lain. Karena pembedaan itu memicu munculnya nafsu-nafsu, kehendak jahat, dan lain-lain. Secepat pikiran tumbuh, ia harus disingkirkan melalui praktek sila, meditasi dengan objek perenungan terhadap keluhuran Sang Buddha serta melihat kemunculan dan kelenyapannya.
Banyak sutta membahas ajaran Sang Buddha tentang kontrol terhadap indra. Salah satunya berbunyi, “Jika bersua dengan seorang laki-laki atau perempuan, engkau tidak seharusnya berpikir bahwa ia laki-laki atau perempuan secara fisik. Disamping itu engkau harus menghindar mencatat matanya, alisnya dan bagian-bagian lain dari tubuhnya secara rinci. Bila hal ini tidak dilakukan akan dapat menimbulkan kekotoran batin”.
Laki-laki tidak seharusnya berpikir tentang jasmani perempuan sebagai suatu kesatuan. Hal yang sama harus dilakukan pula oleh perempuan. Mereka tak seharusnya berpikir tentang bagian-bagian tubuh lawan jenis seperti rambutnya, mulutnya, dadanya, dan lain-lain. Karena jenis pikiran ini dipenuhi nafsu.
Para yogi harus awas saat melihat atau mendengar serta menghindari berpikir tentang bentuk tubuh secara keseluruhan atau perbagian dari suatu mahluk hidup. Sang Buddha menjelaskan, hal-hal buruk bisa muncul bila seseorang kehilangan kontrol atas panca indranya.
Sang Buddha berkata, “Bagi seseorang yang tidak menjaga penglihatannya ia akan selamanya memiliki kehendak-kehendak buruk serta selalu mencari sesuatu yang dirindukannya”.
Dengan demikian kita harus berlatih mengontrol panca indra melalui cara yang tepat. Para yogi harus menghindar melihat obyek tak berfaedah baik itu objek menyenangkan atau tak menyenangkan. Jika sekali waktu tak mampu menghindar, ia harus tak menaruh perhatian pada bentuknya, warnanya, dan lain-lain atau tidak menaruh kesan apapun pada mereka. Ia berusaha menjaga dirinya tetap sadar ketika sedang melihat. Ia membuat pikirannya waspada melihat hukum ketidakkekalan, dan lain-lain.
Proses yang sama berlaku pada indra lainnya seperti saat mendengar, membau, menyentuh dan berpikir. Bila konsentrasi telah berkembang seorang yogi bisa memusatkan perhatian melihat semua fenomena batin dan jasmani. Ia juga bisa melihat berlangsungnya hukum ketidakkekalan, dan lain-lain.
Dengan demikian yogi ini meninggalkan sedikit ruang bagi berkembangnya kekotoran batin. Inilah cara terbaik untuk mengontrol panca indra. Melalui cara ini seorang yogi memperoleh “jalan” dan “buah”. Dalam Visudhi Magga ada kisah tentang Mahatissa Thera yang menggunakan metode ini sampai meraih kearahatan.
Kisah Mahatissa Thera
Suatu kali seorang bhikkhu bernama Mahatissa Thera pergi ke kota Anurudha untuk ber-pindapatta, meminta-minta dana makanan kepada umat. Dalam perjalanan beliau bertemu dengan seorang perempuan muda. Perempuan ini baru bertengkar dengan suaminya. Saat itu ia dalam perjalanan ke rumah orang tuanya.
Mahatissa Thera adalah seorang bhikkhu yang sering melakukan perenungan akan ketidakmurnian tubuh manusia. Jika bersua dengan seseorang yang dilihatnya hanya setumpuk kerangka. Dengan cara ini beliau meraih tingkat konsentrasi, jhana, ke satu. Dari sana beliau beralih ke meditasi vipassana. Beliau kemudian berlatih tekun dan berhasil mencapai tingkat kesucian arahat.
Kembali ke kisah perempuan muda tadi. Tak lama lewatlah suami dari perempuan tadi. Ia pun bertemu dengan Sang Thera. Ia bertanya apakah beliau bertemu dengan seorang perempuan muda sebelumnya? Sang Thera menjawab ia hanya berpapasan dengan sebuah kerangka yang baru saja lewat ke salah satu arah.
Sudah pasti Sang Thera telah melakukan perenungan atas ketidakmurnian tubuh manusia dalam waktu lama. Pengalaman beliau bisa dijadikan contoh bagi siapapun untuk menyingkirkan penghalang bagi kemajuan meditasi mereka.
Kisah Cittagutta Thera
Dalam Visudhi Magga juga ada kisah Cittagutta Thera yang berjuang mengontrol panca indranya. Kisahnya demikian:
Cittagutta Thera tinggal di sebuah gua di pedalaman Sri Lanka. Di dinding dan langit-langit gua ada pahatan-pahatan berisi kisah-kisah Sang Buddha seperti termuat dalam kitab Jataka. Sang thera selalu teliti menjaga indra-indranya. Beliau tak pernah melihat ke dinding dan langit-langit gua. Sehingga Beliau tak tahu tentang pahatan itu.
Suatu hari beberapa bhikkhu muda mengunjungi beliau. Setibanya di gua para bhikkhu muda terpesona melihat aneka pahatan di gua itu. Mereka mengatakan betapa indah dan halus pahatan-pahatan tersebut. Sang Thera mengatakan tak pernah tahu tentang pahatan-pahatan tersebut meski telah tinggal di gua ini selama enam puluh tahun.
Tanggapan Sang Thera sebenarnya merupakan teguran halus kepada para bhikkhu muda. Beliau sesungguhnya mengomeli para bhikkhu itu secara tak langsung. Betapa mereka telah kehilangan kewaspadaan sehingga tidak awas dengan penglihatannya.
Suatu waktu tumbuh sebatang pohon gangaw tak jauh dari pintu gua. Sang Thera tak pernah melihat keberadaan pohon tersebut. Beliau hanya tahu pohon itu telah berbunga setelah bunga-bunganya jatuh ke tanah.
Mendengar berita kesucian Sang Thera, penguasa negeri ini, raja dan ratu Sri Lanka, mengundang beliau ke istana. Sang thera menolak undangan raja. Karena penolakan ini raja memerintahkan menahan bayi-bayi yang masih menyusu dari desa dimana Sang Thera sering ber-pindapatta. Karena kasih sayangnya kepada para bayi itulah Sang thera bersedia datang ke istana.
Raja dan ratu memberi hormat kepada Cittagutta Thera. Cittagutta Thera memberkati mereka dengan berkata, “semoga sri baginda berbahagia”.
Kata-kata itu diucapkan baik kepada raja dan ratu. Belakangan para bhikkhu muda yang menyertai beliau bertanya mengapa Thera Cittagutta memberi berkah kepada Raja dan ratu dengan menyebut, “Sri Baginda”? Sang Thera menjawab, beliau tak membuat pembedaan di antara raja dan ratu. Cerita ini adalah pelajaran berharga bagi siapa saja yang mempraktekkan pengendalian indra.
Yang perlu diingat, pertama hindari melihat sesuatu yang bisa membangkitkan kekotoran batin. Jika pemandangan itu tak bisa dihindarkan, seseorang harus membuat catatan, “melihat… melihat”.
Suatu kali bhikkhu Ananda bertanya kepada Sang Buddha, apa yang harus dikerjakan seorang bhikkhu bila bertemu lawan jenisnya. Pertanyaan itu diajukan bhikkhu Ananda di tahun Sang Buddha Parinibbana.
Sang Bhuddha menjawab, seorang bhikkhu harus menghindar menatap perempuan. Jika hal tersebut tidak bisa dihindari, ia harus berusaha tidak berbicara dengan mereka. Bila hal itu tak bisa dilakukan Ia harus menganggap mereka sebagai ibunya, saudarinya atau anaknya menurut usia.
Ini adalah praktek pertapaan seperti termuat dalam Bharadvaja Sutta dari Samyutta Nikaya. Praktek-praktek pertapaan yang tertulis disana berhubungan dengan menaklukkan hasrat indrawi. Dalam sutta yang sama disebutkan juga praktek pertapaan lain, yakni perenungan atas ketidakmurnian tubuh. Praktek terakhir tentang pengekangan terhadap panca indra.
Bagaimana dengan pengekangan terhadap indra lainnya? Kita harus menghindar mendengar suara-suara seperti musik, nyanyian, dan lain-lain. Karena hal ini memicu munculnya kekotoran batin. Jika tak mampu menghindar kita harus membuat catatan dari proses tersebut.
Penting untuk mempraktekkan hal itu. Tapi, bagaimana dengan praktek pengekangan bagi mahluk lain seperti dewa? Perlu diketahui kehidupan Sakka dan para dewa penuh dengan kenikmatan indrawi. Sehingga Sang Buddha menyarankan untuk melakukan pengekangan sejauh mereka bisa. Cara ini bisa diumpamakan seperti umat Yahudi yang menjalani hari Sabat atau ketika seorang yogi tengah melakukan praktek meditasi.
Kembali ke mengekang panca indra. Kita harus tetap waspada ketika mencium aroma bunga atau parfum. Bila tidak akan muncul kekotoran batin. Sikap kita pun harus tetap waspada saat hendak menyantap makanan. Seorang yogi harus mengerti ia makan bukan untuk menikmati makanan tapi untuk mempertahankan kesehatan dan kehidupannya.
Seorang yogi harus berusaha menjauhi sensasi rasa dan sentuhan yang menyebabkan tumbuhnya kekotoran batin. Jika hal ini tak bisa dihindari ia harus bersikap sama yakni waspada. Contoh kewaspadaan ini misalnya, ia membuat suatu catatan ketika sedang berjalan, duduk, dan lain-lain. Demikianlah sikap seorang yogi dengan penuh kesadaran melihat dan mencatat sensasi dari sentuhan.
Kitab komentar mengulas praktek nissaji dutanga. Ini adalah praktek pertapaan yang sengaja mencari sensasi-sensasi bermanfaat dari sentuhan. Jenis praktek nissaji dutanga misalnya tidak membaringkan tubuh, tapi tetap dalam posisi duduk, meski dalam keadaan tidur. Bhikkhu Sariputta, Maha Kasappa dan para bhikkhu terdahulu mempraktekkan ajaran ini dalam waktu lama. Rahula Thera mempraktekkan cara ini selama dua belas tahun. Maha Kassapa Thera melakukannya selama 120 tahun. Perlu diketahui para thera ini adalah arahat. Mereka mempraktekkan cara ini tidak untuk mengumpulkan kebajikan tapi memberi contoh teladan pertapaan yang baik kepada generasi berikutnya.
Kembali ke soal kewaspadaan. Para yogi harus sabar membuat catatan melihat munculnya sensasi bermanfaat saat berlatih vipassana. Ketika muncul ketidaksabaran atas sensasi-sensasi jasmani ia akan cepat putus asa. Tak seharusnya ia gampang menyerah. Ia harus terus mempraktekkan kesabaran sejauh mungkin.
Ketika tengah mencatat segala sesuatu yang muncul seorang yogi harus tak memiliki pikiran macam-macam. Karena ini akan memicu munculnya kerinduan, kemelekatan dan kehendak-kehendak jahat. Bentuk-bentuk pikiran yang muncul baik dari masa lalu, masa kini maupun rencana-rencana ke depan harus disingkirkan. Ia harus abstain dari melakukan hal ini.
Pengendalian Tiga Thera
Dalam kitab komentar tertulis kisah tiga thera. Mereka ber-vassa, menghabiskan musim hujan selama tiga bulan di suatu tempat tertentu, bersama-sama. Kisah mereka bisa dijadikan contoh bagi siapapun untuk menumbuhkan daya upaya yang teguh. Daya upaya ini diperlukan untuk menumbuhkan kesadaran dan menyingkirkan bentuk-bentuk pikiran tak bermanfaat.
Pada hari pertama masa vassa-nya ketiga thera saling mengingatkan untuk membuang pikiran indrawi dan menyingkirkan bentuk pikiran ambisius lainnya. Pada hari Pavarana (hari terakhir dalam vassa dimana seorang bhikkhu senior mengundang bhikkhu yunior untuk mencari tahu apakah mereka telah melakukan pelanggaran) thera tertua bertanya kepada thera termuda bagaimana ia mengontrol pikirannya selama masa vassa. Sejauh mana thera termuda bisa memenuhi kesepakatan? Thera termuda menjawab ia tak mengizinkan pikirannya keluar dari dinding vihara. Ia menjaga pikirannya tetap aman di dalam dinding vihara.
Yang dimaksud thera termuda ini adalah jika pikirannya berkeliaran, ia membatasi pikirannya hanya pada vihara. Ia tak pernah memikirkan hal-hal di luar dinding vihara. Keterampilan thera termuda ini sungguh luar biasa dengan memberi batasan semacam ini. Karena faktanya sebagian besar yogi yang berlatih tak bisa menjaga pikirannya sebelum konsentrasinya benar-benar berkembang. Sehingga mereka tak bisa menjaga pikirannya tetap “diam” ketika mulai berlatih vipassana. Awalnya, pikiran yang tak terlatih ini berkeliaran dengan bebas.
Thera tertua mengajukan pertanyaan yang sama kepada thera kedua. Thera kedua menjawab ia tak mengizinkan pikirannya keluar dari ruang meditasi. Ini membuktikan kekuatan konsentrasi thera kedua lebih berkembang dan lebih baik dari thera termuda.
Setelah itu kedua thera bertanya kepada thera tertua berapa banyak pengawasan yang ia miliki atas pikirannya. Thera tertua menjawab ia hanya membiarkan pikirannya mengawasi kelima khanda. Ini menunjukkan Thera tertua menumpahkan seluruh perhatiannya mengawasi fenomena batin-jasmani yang muncul dari keenam pintu indra. Kemampuan thera tertua dalam mengendalikan pikiran sungguh luar biasa. Barangkali beliau adalah seorang arahat.
Sebagai tambahan, dalam kitab komentar tertulis perenungan cinta kasih, metta bhavana, adalah perenungan yang penting dilakukan. Bila cinta kasih sudah berkembang dengan baik akan membantu perkembangan vipassana.
SATIPATTHANA :
Ladang Subur untuk Mengumpulkan Kebajikan
Sang Buddha mengatakan dari berbagai perenungan satipatthana adalah yang terbaik. Inilah satu-satunya jalan untuk mengumpulkan karma baik dan dhamma bermanfaat secara lengkap. Melalui dana atau melaksanakan sila seseorang bisa mengumpulkan banyak karma baik. Tapi pemberi dana atau orang yang menjalankan sila sewaktu-waktu bisa disinggahi bentuk pikiran negatif. Sehingga ia tidak bisa berdana atau melaksanakan sila secara murni sepanjang hari. Alhasil tidak benar jika ada pendapat yang mengatakan cara terbaik mengumpulkan karma baik adalah dengan berdana dan melaksanakan sila.
Di sisi lain, dengan berlatih satipatthana vipassana seseorang bisa memperoleh kesadaran secara konstan. Sehingga ia bisa menjaga dan mengawasi sikap tubuh, perasaan serta gerak-gerik pikirannya ketika sedang mendengar, melihat dan lain-lain. Bahkan, menjelang tidur di malam hari, seorang yogi bisa menjaga kesadarannya setiap saat sampai benar-benar terlelap.
Saat berlatih seorang yogi wajib mengawasi pikirannya setiap detik. Berarti pada waktu itu ia bisa mengumpulkan dhamma bermanfaat satu kali. Bila dijumlah ia bisa mengumpulkan 3600 dhamma bermanfaat dalam satu jam. Jika dikurangi 4 jam waktu tidur, ia bisa mengumpulkan 720.000 dhamma bermanfaat sehari. Kebajikan hadir kala mereka tengah berlatih setiap waktu, saat duduk, berjalan, berdiri, dan lain-lain. Ia tetap bisa mengumpulkan kebajikan bahkan saat buang air kecil. Jadi cara terbaik mengumpulkan kebajikan secara menyeluruh adalah dengan satipatthana.
Jenis-jenis Perbedaan Cara Pandang
Sakka sangat puas dengan pembabaran dhamma Sang Buddha. Sebelum mengunjungi Sang Buddha ia telah bertemu dengan banyak “orang bijak”. Waktu itu Sakka pun mengajukan pertanyaan kepada mereka tentang dhamma. Sakka mengetahui orang-orang bijak yang ditemuinya itu memiliki cara pandang yang berbeda-beda.
Saat ini ketika ia telah mencapai tingkat kesucian sotapanna ia tahu dhamma sesungguhnya yang membabarkan kesunyataan. Ia juga tahu sosok Buddha dan Sangha sejati. Saat ini ia telah terbebas dari segala keragu-raguan. Kenyataan ini tak diucapkannya kepada Sang Buddha. Tapi, pengertian yang dimilikinya terkandung dalam pertanyaan-pertanyaannya.
“Yang Mulia, apakah semua orang yang menyebut dirinya samana – brahmana memiliki pandangan yang sama? Apakah mereka memiliki kualitas moral yang sama? Apakah mereka punya keinginan dan tujuan hidup yang sama?”
Sakka tahu jawaban dari pertanyaan-pertanyaannya. Ia menanyakan hal ini sebagai pembuka atas pertanyaannya tentang perbedaan-perbedaan mereka.
Sang Buddha menjawab pertanyaan Sakka sebagai berikut, “O Sakka, di dunia ini orang-orang tak memiliki tingkah laku yang sama. Mereka mengungkapkan cara pandang yang salah. Tapi mereka tetap berpegang erat pada pandangan salah yang menyenangkan hatinya”.
“Mereka berkeras kepercayaannya saja yang benar sementara yang lainnya salah. Hal ini terjadi karena kefanatikannya atas ajaran salah yang berpegang pada konsep diri. Orang-orang yang menganggap dirinya suci ini memiliki cara pandang berbeda-beda. Mereka juga memiliki sistem moral, keinginan dan tujuan hidup yang berbeda-beda pula”, demikian Sang Buddha menjelaskan.
Karena berbeda dalam tingkah laku mereka berbeda pula dalam kebiasaan. Misalnya, mereka memilih cara berpakaian, warna, nyanyian, dan lain-lain, yang berbeda-beda. Disamping itu, mereka selalu berbicara tentang kepercayaan yang telah diterima sebagai dasar akan keterikatannya. Hal inilah yang menimbulkan banyak spekulasi di belakang hari. Kelompok-kelompok “orang suci” ini meyakini adanya jiwa yang kekal.
Mereka mengatakan jiwa, atta, adalah kekal. Jiwa tak mungkin musnah atau rusak seperti halnya tubuh. Inilah bentuk ajaran adanya kekekalan (sassata dithi). Kepercayaan ini memiliki banyak pengikut. Inti ajaran kelompok ini tak jauh berbeda dari agama-agama yang mengajarkan bahwa manusia diciptakan oleh tuhan. Lebih jauh, orang-orang yang disukai tuhan meraih penyelamatan dan tinggal di surga setelah meninggal. Sementara orang-orang yang tak disukai tuhan akan terjerumus di neraka selamanya.
Ada lagi kepercayaan yang menyebutkan tak ada kehidupan selanjutnya setelah seseorang meninggal dunia (uccheda ditthi). Bahwa tubuh dan jiwa ini akan hancur setelah kematian. Para penganut kedua ajaran ini meyakini ajaran merekalah yang benar dan yang lainnya salah. Sikap fanatik semacam inilah yang menyebabkan perbedaan dalam ajaran, nilai moral, aspirasi dan tujuan hidup.
Ajaran Sang Buddha dan Kepercayaan Adanya Kekekalan
Dalam Buddha Sasana disebutkan orang yang meninggal akan tumimbal lahir. Orang baru itu tercipta melalui kondisi yang dibentuk oleh karma lalunya. Ketika Sang Buddha membabarkan ajaran hal ini muncul pertentangan karena fakta di atas menjadi pukulan bagi ajaran tentang jiwa yang kekal.
Ajaran Sang Buddha memang jauh dari konsep atau ide tentang eksistensi “diri” atau “ego” yang tetap dan permanen. Sang Buddha menyebutkan, realitas atau kesunyataan sejati berupa proses muncul dan lenyapnya fenomena jasmani dan batin yang berkesinambungan. Ketika proses tumimbal lahir terjadi kesadaran berhenti. Kemudian muncul kekuatan bawah sadar (bhavanga citta). Kekuatan bawah sadar ini pun mengalami proses muncul dan lenyap.
Selama periode itu, bhavanga citta selalu berfluktuasi terus-menerus yang dilanjutkan dengan munculnya kesadaran baru. Kesadaran baru yang muncul tercermin dalam bentuk kemampuan melihat, mendengar, dan lain-lain. Cerminan kesadaran ini kemudian diikuti oleh adanya kesadaran mata, kesadaran telinga dan lain-lain. Ketika kesadaran ini sekali lagi berhenti prosesnya diambil alih oleh bawah sadar lagi.
Dengan cara itulah dua aliran kuat, bawah sadar dan kesadaran, bergelombang, mengalir, secara bergantian. Inilah hidup. Saat kematian bagian terakhir bawah sadar, cuti citta, berlalu. Padamnya cuti citta dikenal oleh umat awam dengan istilah meninggal dunia. Dengan padamnya cuti citta berarti berhentinya proses jasmani dan batin tanpa munculnya kesadaran.
Segera setelah cuti citta berlalu muncul proses kelahiran kembali kesadaran dan kondisinya yang dibentuk oleh karma lalu seseorang. Kelahiran kembali kesadaran ini menandai kemunculan suatu mahkluk baru.
Jadi kelahiran kembali tak ada hubungannya dengan hadirnya “ego” atau perjalanan batin-jasmani yang tetap dari hidup sebelumnya. Dengan berhentinya kesadaran yang baru ini, muncul gelombang bawah sadar, dan lain-lain sebagaimana terjadi dalam kehidupan sebelumnya. “Orang” atau “manusia” adalah nama lain dari adanya bentukan batin – jasmani. Ini bukan berarti ada “ego” di dalamnya. Fakta ini bisa dibuktikan oleh orang yang berlatih vipassana.
Jadi ajaran Sang Buddha jauh dari kepercayaan sassata dithi. Karena beliau mengatakan kerinduanlah yang memicu kelahiran kembali. Ketika seorang yogi meraih kearahatan ia terbebas dari kerinduan, kemelekatan dan kekotoran batin. Saat kematiannya seorang arahat tak diserang oleh berbagai jenis objek. Ia tak dilekati proses kemunculan batin dan jasmani yang baru.
Dhamma Sang Buddha juga tak mempercayai ajaran kehancuran total setelah kematian (uccheda ditthi). Bagi pandangan terakhir ini kehancuran mensyaratkan adanya “ego” atau “diri” pada mahluk hidup. Ego adalah subjek dari pengalaman, baik atau buruk. Sementara yang diajarkan oleh Sang Buddha adalah apa yang dinamakan “orang’ hanya terdiri dari proses batin dan jasmani. Saat seseorang meninggal bukan ego yang lenyap tapi jasmani dan batin yang mengalami penghentian. Kelenyapan ini bisa diamati melalui praktek vipassana.
Theravada dan Mahayana
Ada empat jenis aliran kepercayaan yang diyakini manusia. Kepercayaan yang berbeda-beda itu mengacu pada perbedaan temperamen para pengikutnya. Ini pulalah yang menyebabkan timbulnya perbedaan cara pandang dari pengikut ajaran yang sama.
Dalam Agama Buddha terdapat dua aliran besar yakni Theravada dan Mahayana. Perbedaan keduanya telah berlangsung selama 2000 tahun. Perbedaan ini menyebabkan adanya perbedaan cara pandang dari ajaran yang dibabarkan Sang Buddha.
Dasar pandangan aliran Mahayana adalah semua mahluk hidup memperoleh kebebasan mutlak dan bisa keluar dari lingkaran samsara setelah meraih tingkat kebuddhaan. Seorang arahat atau paccekabuddha belum meraih kebebasan mutlak. Setelah menjadi Buddha kaum Mahayana tak langsung memasuki nibbana. Ia akan menikmati kedamaian nibbana bersama-sama dengan mahkluk hidup lain. Yakni setelah semua mahkluk hidup lain telah menjadi Buddha pula.
Cara pandang ini secara tak langsung menyangkal ajaran tentang adanya “ego”. Tapi pandangan ini pun sulit untuk dipertahankan. Jika parinibbana para Buddha menunggu pencapaian kebuddhaan semua mahkluk hidup dimana dan bagaimana mereka hidup selama itu? Itu tentu bukan waktu yang pendek.
Serangga dan mahkluk-mahkluk dunia bawah tak terhitung jumlahnya. Bila mengacu pada teori ini para Buddha itu akan menunggu pencerahan mereka dengan menderita usia tua, sakit dan kematian. Meski demikian aliran Mahayana ini memiliki banyak pengikut. Karena ajaran ini cocok dengan tabiat atau karakter para pengikutnya.
Cara pandang itu berbeda dengan Theravada. Dimana dasar dhamma Theravada berasal dari ajaran Sang Buddha yang termuat dalam Tipitaka Pali. Menurut cara pandang Theravada, para murid sejati, savaka, adalah mereka yang telah berhasil meraih tingkat terakhir dari kesucian. Setelah meraih kebebasan mutlak para arahat ini selesai, padam, dari memiliki batin dan jasmani yang baru setelah mati. Disinilah akhir penderitaan mereka dalam lingkaran samsara. Mereka tak perlu menunggu setiap orang menjadi arahat ketika parinibbana tiba.
Ajaran Mahayana mengidentifikasikan nibbana-nya dengan kediaman sukhavati. Mereka menggambarkan kediaman ini sebagai surga. Mereka mengatakan Sang Buddha dan semua mahluk hidup akhirnya tinggal di sana. Semua mahluk ini hidup berbahagia selamanya serta terbebas dari usia tua, sakit dan kematian.
Esensi surga sukhavati ternyata tak berbeda dengan surga dari agama lain yang mewah dan megah. Agama-agama ini meyakini jiwa-jiwa yang ada di sini hidup kekal selamanya. Bila belakangan muncul sekte-sekte baru di dalam Mahayana, kemunculan ini ada seiring dengan kebutuhan para pengikutnya.
Kitab komentar menulis Theravada terpecah menjadi delapan aliran. Di Burma saat ini ada perbedaan cara pandang dari ajaran Sang Buddha. Meski demikian ajaran Sang Buddha bisa disarikan kedalam tiga materi utama yakni sila, samadhi dan panna. Dimana ketiganya berasal dari dua ajaran pokok yakni empat kesunyataan mulia dan delapan jalan utama.
Kembali ke aliran Theravada. Beberapa umat dalam lingkungan Theravada menganggap praktek vipassana tak diperlukan. Rupanya orang-orang ini ingin mencari cara termudah untuk menyelamatkan “diri”. Sementara yang lainnya meremehkan praktek sila. Menurut mereka sila tak ada hubungannya dengan tujuan tertinggi dari ajaran agama Buddha.
Pandangan terakhir ini adalah pandangan yang ditularkan oleh mereka yang tak perduli dengan moralitas. Bila berkeras dengan pandangan ini berarti mereka tak mengakui apa yang tertulis dalam Sakka Panha dan sutta-sutta lainnya.
Kepada seorang pertapa penggembara bernama Subbada Sang Buddha menceritakan adanya sekte-sekte lain di luar ajaran Beliau yang menganggap ajaran merekalah yang paling benar. Bahwa ajaran merekalah yang akan membuat seseorang bisa menghapus kekotoran batin.
Dalam intisari Mahaparinibbana Sutta tertulis, ajaran apapun yang tidak mengandung empat kesunyataan mulia dan delapan jalan utama tak akan mengantarkan seseorang ke tingkat-tingkat kesucian. Delapan jalan utama hanya ditemukan di dalam Buddha Dhamma. Itu artinya hanya dhamma Sang Buddha sajalah yang bisa mengantarkan seseorang menjadi sotapanna dan tingkat kesucian lainnya. Melalui cara ini seseorang bisa melihat apakah sebuah ajaran berhubungan dengan dhamma Sang Buddha atau tidak. Meski begitu kenyataan sehari-hari berkata sebaliknya. Sebagian besar orang menganut suatu ajaran (baca: agama) karena sesuai dengan kehendak hatinya.
Cita-cita setiap orang berbeda. Beberapa umat ingin menikmati hidup sebagai manusia. Bila mereka tumimbal lahir bisa muncul sebagai dewa atau mahluk lain. Beberapa yang lain punya keinginan bisa lahir di alam-alam tanpa kenikmatan indra seperti alam brahma. Sementara sebagian lain mempercayai adanya takdir tertentu misalnya mereka akan terlahir lagi di surga atau musnah selamanya. Sedang golongan lainnya ingin terlahir di dunia non konsep bernama asanna. Dimana tempat terakhir ini diyakini sebagai tempat tak berbentuk, arupa, yang bebas dari semua derita.
Sementara itu sebagian umat Buddha berharap dengan melaksanakan sila, sebagaimana yang dipraktekkan para ariya, mereka bisa memiliki moralitas seperti para ariya. Beberapa dari mereka malah merindukan pembaruan dari jasmani dan batinnya.
Semua orang di atas tak memiliki gambaran bahwa proses pembentukan jasmani dan batin bisa dihentikan. Juga, penderitaan bisa diakhiri. Bagi orang-orang bijaksana yang menyadari keburukan samsara, siklus kehidupan, akan mencari cara untuk memadamkan proses tumimbal lahir.
Sekali lagi adanya tujuan hidup yang beraneka ragam ini bergantung pada perbedaan watak para pemujanya. Faktanya, tujuan tertinggi dari hidup adalah nibbana para arahat. Nibbana berarti penghentian mutlak proses jasmani dan batin. Dimana hal ini akan terjadi setelah seseorang mampu membersihkan kekotoran batinnya secara total.
Tujuan Tertinggi
Sakka sangat senang dengan jawaban-jawaban Sang Buddha. Kemudian Sakka mengajukan pertanyaan lain, “Yang mulia, apakah orang-orang yang sering disebut samana – brahmana benar-benar telah meraih tujuan tertinggi?”
“Apakah ada akhir yang benar-benar nyata untuk yoga mereka? Apakah mereka hidup secara bersih dan suci? Apakah mereka meyakini dhamma sejati?”
Apa yang disebut dengan tujuan terakhir dan tertinggi dari yoga, iccantayogakekhami, dan dhamma sejati, iccantapariyosana, merujuk pada nibbana. Kehidupan suci yang dimaksud adalah jalan para ariya dan praktek vipassana. Dengan kata lain, dengan mengajukan keempat pertanyaan di atas Sakka sebenarnya bertanya kepada Sang Buddha apakah para pertapa dan brahmana mempraktekkan vipassana dan delapan jalan utama? Serta, apakah mereka telah meraih nibbana?
Sang Buddha menjawab pertanyaan Sakka dengan kalimat lain berikut ini. Menurut Sang Buddha, hanya para bhikkhu dan orang-orang yang telah terbebas melalui praktek empat kesunyataan mulia yang mampu memadamkan kerinduan dan kemelekatan. Mereka berhasil meraih tujuan tertinggi dan mengakhiri yoganya. Mereka inilah orang-orang yang hidup dengan kehidupan suci dan mengenal dhamma sejati.
Para bhikkhu yang dimaksud Sang Buddha di sini terdiri dari para Buddha, Paccekabuddha dan Arahat. Singkatnya mereka semua arahat. Para arahat telah menyempurnakan yoganya (asava: bias, prasangka, purbasangka, konsep “aku”) yang menyebabkan kelahiran kembali. Arahat adalah orang yang telah mencabut akar-akar yoga. Mereka telah meraih tujuan terakhir dan dhamma tertinggi.
Bagi seseorang yang belum membebaskan diri dari yoganya atau prasangka-prasangkanya masih jauh dari nibbana. Akibatnya ia masih menjadi subjek dari tumimbal lahir dan penderitaan.
Suatu kali Sang Buddha pergi ke hadapan Brahma Baka. Brahma ini bertanya apa yang dimaksud surga yang kekal? Sang Buddha mengatakan kepadanya untuk tak menyimpan khayalan tentang kekekalan dan tak memiliki kerinduan tentang bentuk kehidupan apapun.
Sang Buddha berkata, “Setelah melihat sisi buruk dari semua jenis kehidupan, apakah itu kehidupan di alam manusia, dewa, brahma atau jutaan kehidupan kelas bawah, saya tak mengidamkan jenis kehidupan apapun tapi mencelanya”.
Setiap jenis kehidupan adalah subjek penderitaan. Penderitaan yang amat ekstrim dialami mahluk-mahluk dunia bawah (alam binatang, peta, dan lain-lain). Sementara kehidupan manusia mempunyai sisi buruknya karena pasti mengalami usia tua, sakit dan kematian.
Para dewa menderita karena hasrat-hasrat indrawinya yang tak terpuaskan. Hal ini bisa menimbulkan rasa frustrasi. Penderitaan dirasakan pula oleh para brahma. Brahma adalah pelayan dari pikiran. Karena, mereka selalu dipenuhi rencana yang sering berubah-ubah tiada akhir.
“Saya telah melihat sisi buruk setiap bentuk kehidupan. Saya pun telah melihat kehidupan dari pihak-pihak yang tak menginginkannya serta orang-orang yang mencari pemadamannya. Melihat hal ini saya mencela setiap bentuk kehidupan”, demikian Sang Buddha menjelaskan.
Beberapa orang bijak mulai bertapa dan mencari jalan pembebasan setelah melihat sisi buruk setiap kehidupan. Tapi, mereka tak tahu jalan pembebasan akhir. Mereka pun tak tahu adanya delapan jalan utama yang akan membawa ke kebebasan.
Para pertapa ini hanya mengerti tentang jhana, tingkat-tingkat konsentrasi, yang bisa membuat pikiran tenang dan terpusat. Beberapa dari mereka meraih rupa jhana dan percaya bahwa mereka akan memperoleh hidup kekal di alam kehidupan rupavacarabrahma, salah satu tujuan dari jhana. Bagi pertapa lain kehidupan kekal bisa ditemui di alam asanna. Asanna dianggapnya sebagai kediaman tanpa persepsi dari alam rupavacara. Sementara bagi yang lain hal ini bisa dinikmati hanya di alam arupavacara.
Berseberangan dengan harapan ini, para yogi yang telah berhasil meraih jhana tidak hidup kekal di alam brahma. Setelah meninggal dari alam ini mereka akan turun ke alam panca indra sebagai dewa atau manusia. Di tempat terakhir ini mereka akan meninggal dan terlahir lagi sebagai mahluk baru sesuai dengan karmanya. Sebagai akibat dari karma buruknya, bisa jadi mereka menemukan dirinya terlahir lagi di alam-alam tingkat rendah.
Orang-orang ini tak memperoleh cara memadamkan lingkaran kehidupan meski telah mencarinya dengan banyak cara. Mereka terus terikat pada penderitaan. Karenanya Sang Buddha mencela setiap jenis kehidupan.
Kehidupan baru mengacu pada keterikatan terhadap hidup itu sendiri. Keterikatan ini (tanha) sama dengan kamayoga (prasangka indra) dan prasangka pada kehidupan. Sang Buddha telah berhasil mencabut keterikatan ini.
Menurut kitab komentar, ada 14 pertanyaan yang diajukan Sakka. Tertulis di sana Sakka sangat puas dengan jawaban-jawaban Sang Buddha.
Setelah memberi hormat sekali lagi Sakka menyatakan pandangannya tentang Tanha yang tersurat pada pertanyaan berikut:
“Yang Mulia, tanha yang aktif adalah suatu penyakit. Ia seperti anak panah atau sebuah bisul di dalam daging. Ia merusak mahluk hidup hingga mereka harus hidup dalam penderitaan”.
Tanha bersifat aktif. Sifatnya suka merindukan ini dan itu. Ia terikat pada dirinya sendiri, pada objek menyenangkan dan keinginan menikmatinya dalam waktu lama”.
“Seperti sehelai daun tertiup angin. Daun itu tak pernah beristirahat. Ia terbang kemana-mana. Ia selalu sibuk, lapar dan rakus. Tanha adalah penyakit kronis yang tak bisa disembuhkan. Tapi tak terlalu akut untuk bisa menyebabkan kematian secara tiba-tiba. Tanha membuat seseorang takluk ketika ia terpuaskan. Tapi tanha sendiri tak pernah merasa puas seberapa banyak pun ia diberi makan dengan obyek-obyek indra yang disukainya. Tanha rindu obyek indra yang disukainya dan ingin menikmatinya lagi dan lagi”.
Tanha begitu menakutkan dan menjijikkan. Ia seperti sepotong duri dalam daging. Sepotong duri dalam daging tersembunyi rapi sehingga kita tak bisa melihat keberadaannya. Kita sulit melepaskannya sehingga tetap menimbulkan rasa sakit”.
“Begitu pula sangat sulit menyingkirkan tanha yang selalu menganggu kita. Kita mencemaskan obyek-obyek yang diingini sehingga tak dapat tidur siang dan malam. Karena keterikatan pada hidup kita terus-menerus berputar-putar dari satu jenis kehidupan ke kehidupan yang lain bergantung pada karma-karma kita”.
Setelah mengemukakan komentar di atas kini Sakka terbebas dari semua keragu-raguan. Sebagai akibat tersingkirnya keragu-raguan ini Sakka berhasil meraih tingkat kesucian pertama. Dengan ini ia terjamin tak akan terlahir kembali di alam-alam tingkat rendah setelah kematiannya. Nantinya, ia akan terlahir kembali dalam alam kehidupan yang baik. Dari tempat itu ia bisa meraih tingkat kesucian yang lebih tinggi sampai memperoleh kebebasan akhir.
Praktek-praktek Moral untuk Terlahir sebagai Sakka
Kitab komentar menulis tujuh tugas yang harus dilakukan seseorang bila ingin terlahir sebagai Sakka. Dalam Sagatha Vagga Samyutta hal ini tertulis sebagai berikut:
  1. Ia mendukung dan menjaga kedua orang tuanya seumur hidup.
  2. Selalu menghormati orang yang lebih tua khususnya di lingkungan sanak familinya.
  3. Selalu berbicara lembut dan baik tutur katanya.
  4. Tak pernah berbicara buruk yang dimaksudkan untuk menyakiti orang lain.
  5. Ia mengatur dan menjaga rumah tangganya dengan pikiran bebas dari noda penderitaan.
  6. Selalu berbicara jujur.
  7. Tak pernah marah. Bila muncul kemarahan akan ia singkirkan pada saat itu juga.
Dalam kehidupannya yang lampau Sakka adalah seorang pemuda bernama Magha dari desa Macala – kerajaan Magadha. Pemuda Magha hidup jauh sebelum munculnya ajaran Sang Buddha.
Magha adalah pemimpin 33 pemuda. Kelompok pemuda ini suka memperbaiki jalan dan jembatan. Mereka pun membangun rumah-rumah peristirahatan dan melakukan perbuatan baik lainnya untuk kesejahteraan masyarakat desanya.
Kepala kampung tempat Magha tinggal membenci para pemuda itu. Ia terkenal korup. Sebelumnya, Ia selalu memperoleh uang dari pajak minum-minuman keras yang diperoleh dari orang-orang yang telah melakukan pelanggaran hukum. Setelah mereka berhenti mabuk dan melanggar hukum berhenti pula penghasilan haram si kepala kampung. Setelah berhenti berbuat onar bekas pelanggar hukum yang umumnya berusia muda ini mengikuti keteladanan Magha dan bernaung dibawah lindungannya.
Karena dendam si kepala desa pergi menghadap raja. Di istana ia membuat tuduhan palsu pada Magha dan kelompoknya. Tanpa menyelidiki raja memerintahkan para pengawalnya menangkap kelompok pemuda tersebut. Mereka akan diberi hukuman mati dengan diinjak oleh gajah.
Kepada kawan-kawannya Magha berkata, “Ketidakberuntungan bisa menimpa mahluk-mahluk dalam lingkaran samsara. Itu hal alami. Hal yang sulit dilakukan oleh seseorang justru berkata jujur. Jadi camkan kata-kata ini dalam hati. Jika kalian adalah sekumpulan pencuri atau perampok biarlah gajah menginjak kita. Jika bukan, biarlah gajah menjauh dari kita”.
Teman-teman Magha berbuat seperti petunjuk pemimpinnya. Tak lama seekor gajah menghampiri mereka. Alih-alih mendekat ke kelompok pemuda itu, si gajah justru berlari ketakutan dengan mengeluarkan suara ribut.
Karena kejadian aneh ini Magha dibawa menghadap raja. Menjawab pertanyaan Raja tentang peristiwa itu, Magha berkata bahwa kekuatan kebenaran, sacca, yang mereka himpun telah menahan serangan gajah. Ia juga bercerita kepada Raja apa saja yang telah mereka kerjakan. Secara jujur Magha menuturkan bagaimana keserakahan telah menguasai kepala desa. Sehingga ia tega memberi laporan palsu yang telah merugikan para pemuda tersebut.
Mendengar ini Raja membebaskan para pemuda. Ia juga memerintahkan pengawal untuk memberi mereka hadiah dan kepemilikan atas desa Macala. Para pemuda kian menghargai diri mereka. Mereka semakin tekun dan rajin membantu masyarakat. Setelah meninggal, Magha menjadi Sakka. Dan 33 pemuda lainnya menjadi dewa di wilayah kekuasaannya.
Itulah garis besar kebajikan Magha yang membawanya terlahir kembali sebagai Sakka. Inilah satu hal baik yang harus kita tiru dari cerita pemuda Magha. Meski perbuatan baik yang telah mereka lakukan terjadi jauh sebelum masa Sang Buddha.
Barangkali mereka pernah mendengar cerita bahwa perbuatan baik menghasilkan buah yang baik. Ajaran sederhana itu telah mengilhami Magha untuk melakukan hal-hal baik. Ia tak berharap bisa meraih tingkat-tingkat kesucian atau nibbana dengan melakukan hal itu. Meski begitu, karena perbuatan baiknya ia terlahir kembali sebagai raja para dewa. Kelak setelah mendengar pembabaran dhamma dari Sang Buddha ia berhasil meraih tingkat kesucian pertama.
Kebahagiaan Sakka
Setelah Sakka meraih tingkat kesucian pertama kebahagiaan terpancar dari dirinya. Sang Buddha bertanya apakah ia pernah memiliki jenis kebahagiaan semacam itu sebelumnya?
Sakka menjawab demikian, “Yang mulia, sekali waktu saya pernah memiliki jenis kebahagiaan tertentu. Itu terjadi ketika saya keluar sebagai pemenang dalam pertarungan dengan mahluk-mahluk asura. Tapi, kemenangan itu berkaitan dengan senjata. Hal itu tak ada hubungan sama sekali dengan pelenyapan kekotoran batin. Kemenangan itu tidak membawa tumbuhnya pengetahuan pandangan terang yang khusus atau nibbana. Sementara, kebahagiaan setelah meraih tingkat sotapanna tak berhubungan dengan senjata apapun. Kebahagiaan ini dipenuhi keyakinan tanpa ada sedikit pun terselip perasaan kecewa. Keadaan ini mengarah pada pandangan terang dan kebebasan akhir”.
Kebahagiaan Sakka diliputi keyakinan dan enam keberuntungan yang muncul di dalam diri, yaitu :
  1. Hal pertama yang membuatnya sangat gembira karena ia telah meraih tingkat kesucian sotapanna. Dimana ia telah terlahir kembali sebagai Sakka yang baru. Perhatikan kenyataan ini, karena perbuatan baiknya di masa lalu pemuda Magha terlahir kembali di alam dewa sebagai raja para dewa. Di tempat ini ia memiliki rentang hidup yang panjang. Masa hidup Sakka 35 juta tahun manusia. Ketika mengetahui kematiannya sudah dekat ia mengunjungi Sang Buddha untuk mendengarkan dhamma. Saat mendengarkan pembabaran dhamma Sakka memperoleh keseimbangan batin positif. Ia terus melanjutkan perenungannya sehingga berhasil meraih tingkat kesucian pertama. Melihat kenyataan itu ia merasa berbahagia karena tak akan terlahir kembali di alam-alam rendah. Sementara, sebagai Sakka yang baru ia memiliki peluang hidup 36 juta tahun lagi.
  2. Setelah kematiannya nanti ia akan terlahir kembali di sebuah keluarga manusia yang dipilihnya sendiri. Ini terjadi setelah ia menjalani kehidupan di alam dewa sebagai Sakka yang baru. Tertulis di banyak sutta panjang kehidupan manusia mengalami penurunan setahun dalam satu abad. Telah lewat 2500 tahun sejak Sang Buddha hidup. Sehingga bisa diasumsikan panjang kehidupan manusia telah menurun 25 tahun. Asumsi ini banyak mendapat pembuktian ilmiah kini. Dimana saat ini hanya sedikit saja manusia yang hidup sampai 75 tahun.
    Panjang hidup manusia akan menjadi rata-rata 10 tahun pada 6500 tahun lagi. Waktu itu bahan makanan yang lezat seperti madu, mentega, dan lain-lain sudah lenyap. Varietas beras unggul hanya jadi cerita masa lalu. Hanya padi berkualitas buruk saja yang dikonsumsi manusia saat itu.
    Banyak manusia melanggar sila. Perbuatan tak bermoral sering terjadi. Tak ada penghormatan bagi yang lebih tua. Pencurian, perzinahan dan pembunuhan menjadi hal biasa. Karenanya sulit bagi umat manusia membangun kualitas moralnya. Kehidupan moral umat manusia mengalami penurunan sampai ke tingkat sama dengan hewan.
    Orang-orang menjadi pembenci, suka menyerang dan membunuh. Keadaan ini terjadi pula di antara orang tua dan sanak saudara. Hubungan antar manusia ditandai dengan kesalahfahaman, percekcokkan, perselisihan juga pembunuhan. Selain itu akan muncul konflik bersenjata diikuti lenyapnya kelompok-kelompok masyarakat. Hal ini akan membawa kerusakan yang dahsyat. Bahkan di zaman modern ini ada negara tertentu yang membuat senjata pemusnah massal.
    Kerusakan dahsyat membuat lenyapnya ras manusia. Sebelum ini terjadi segelintir orang yang menolak membunuh dan melakukan perbuatan buruk lainnya telah menyingkir ke hutan. Mereka inilah yang selamat dari kepunahan.
    Merupakan hal sulit menjalani hidup bagi orang-orang yang mencoba bertahan ini. Sulit bagi mereka untuk bertemu satu sama lain. Mereka akan bertemu setelah menempuh perjalanan yang panjang, lama dan jauh. Akibatnya ketika bersua muncul perasaan saling menyayangi satu sama lain. Selain itu muncul keinginan untuk menjaga sesama, tak hendak menyakiti dan membunuh saudaranya. Kualitas-kualitas moral yang mulai tumbuh ini membuat usia manusia semakin panjang. Sekali lagi manusia mulai melakukan hal baik. Kelahiran kembali Sakka akan terjadi ketika kualitas hidup manusia telah mengalami banyak kemajuan. Karena ia hanya akan berhubungan dengan orang-orang baik.
    Sakka menuturkan bahwa ia akan terbentuk lagi di dalam kandungan ibunya tanpa mengalami kebingungan. Ini merupakan kondisi alamiah dari seorang sotapanna. Pada waktu itu ia akan tumimbal lagi sebagai dewa sotapanna. Para dewa umumnya memiliki pikiran yang jernih ketika akan meninggal dunia karena ketiadaan penderitaan fisik.
    Seorang manusia sotapanna juga akan meninggal dunia tanpa mengalami kebingungan. Ada kemungkinan ia akan mengalami beberapa jenis penderitaan fisik. Tapi, kesadarannya tetap jernih dan normal. Meski tak mampu berkata-kata ia akan meninggal tanpa dihinggapi kebingungan dan ketidakpastian akan menuju kemana. Ia akan terlahir kembali di keluarga berbudi luhur yang dipilihnya sendiri.
  3. Sakka mengungkapkan rasa senangnya karena mengenal ajaran Sang Buddha. Sakka akan berusia 9000 tahun di abad 90. Pada waktu itu usia manusia hanya akan berkisar sepuluh tahun saja. Sebagian besar ras manusia sudah berkurang separuhnya karena lenyap melalui perang nuklir. Sementara Sakka akan hidup selama 35 juta tahun. Di akhir masa hidupnya sebagai dewa umur rata-rata manusia akan berkisar antara ratusan dan ribuan tahun.
    Membahas ke tahun 5000. Ajaran Sang Buddha sudah lenyap. Tak ada seorang pun mengingat Buddha Dhamma. Juga tak ada satu pun buku yang berisi ajaran Sang Buddha. Prasasti-prasasti Tipitaka kemungkinan masih ada di Burma. Tapi tak ada seorang pun mengerti artinya.
    Meski begitu Sakka kini adalah seorang sotapanna. Sebagai sotapanna ia tetap mengingat dhamma dengan baik. Bila terlahir kembali, ia akan tetap menjalankan lima sila, memahami aniccha, dukkha dan anatta dan mampu mengikis beberapa kekotoran batin lagi. Dengan kata lain, Sakka akan melanjutkan latihan-latihannya sebagai pengikut Sang Buddha.
    Di alam non materi mahluk sotapanna tak akan lupa mempraktekkan kesadaran. Ia mampu “melihat” proses-proses batin sehingga bisa meraih kearahatan. Mungkin saja mahluk sotapanna ini tinggal di alam Rupavacara brahma selama masa hidup Buddha akan datang. Tapi, sebagai pengikut Buddha terdahulu Ia akan mengenali dirinya sendiri. Keadaan ini terbukti pada masa hidup Sang Buddha Gotama.
    Sakka berkata sejak mengenal Buddha Dhamma seterusnya ia akan menjalani hidup dengan penuh kesadaran. Ia akan terus berlatih menumbuhkan kesadaran dalam kehidupan Buddha mendatang sama seperti yang tengah dipraktekkannya kini. Sakka diliputi kegembiraan karena harapan hidupnya yang baik di kemudian hari.
  4. Sakka berkata, “Yang Mulia, jika melalui praktek benar dari vipassana saya memperoleh sambodhi, saya akan terus bermeditasi lagi agar bisa meraih pandangan terang yang lebih tinggi. Sambodhi yang akan aku raih sebagai mahkluk manusia akan menandai akhir dari perwujudanku sebagai manusia”.
    Setelah meraih tingkat kesucian Anagami, Sakka akan melewati alam Sudhavasa. Nantinya Ia akan meraih kearahatan di alam Akanittha. Sebagai tambahan keterangan kitab komentar menulis kata Sambodhi mengacu pada pengetahuan batin yang diraih para sakadagami.
    Jadi Sakka akan berada pada tingkat Sakadagami ketika ia berada di bumi. Sebagai manusia Sakadagami ia akan mengalami usia tua, sakit dan kematian serta jenis-jenis penderitaan khas manusia. Inilah alasan keempat yang membuat Sakka sangat bergembira.
  5. Sakka berkata setelah kematiannya di alam manusia sekali lagi ia akan terlahir sebagai dewa berpengaruh, Uttamo Devo. Dalam Kitab komentar tertulis, Sakka akan menjadi ketua para dewa di alam surga Tavatimsa. Kesimpulannya, bila Sakka melewatkan satu kehidupan di alam manusia maka masa hidup manusia sama dengan panjang hidup dewa-dewa Tavatimsa. Ini berarti ia akan hidup selama 36 juta tahun. Apakah usia manusia akan selama itu? Kesimpulan lain, Sakka yang sotapanna hidup tujuh kali lagi. Bila Sakka hidup sebagai manusia ia akan terlahir sebagai manusia anagami. Seorang manusia anagami menjadi subjek kelahiran kembali satu kali lagi. Di sisi lain bisa dikatakan, ada kemungkinan Sakka memiliki banyak kelahiran di alam manusia. Seluruh kelahiran Sakka sebagai manusia dianggap sebagai satu kelahiran tunggal Sakka. Meski demikian Sakka sangat gembira menyadari kemungkinan bisa meraih tingkat sakadagami sebagai mahluk manusia dan akan terlahir kembali sebagai raja para dewa.
  6. Sakka berkata, “Akanitta dunia, begitulah disebut karena di sana para dewa memiliki kekuatan, kekuasaan, panjang usia, dan lain-lain. Mereka adalah dewa-dewa mulia. Saya akan memiliki kehidupan terakhir di alam luar biasa ini”.
    Akanitta adalah kehidupan tertinggi di alam Sudhavasa. Meski penghuninya tetap disebut dewa, faktanya mereka adalah para brahma. Dikatakan setiap brahma di sana memiliki banyak pembantu. Jadi Sakka akan meraih tingkat kesucian Sakadagami di bumi dan anagami di alam dewa. Setelah itu ia akan memasuki aviha. Aviha adalah kediaman paling rendah di alam dewa Sudhavasa. Setelah melewati beberapa alam di atasnya, Sakka akan menjadi arahat di alam anakittha.
    Menurut kitab komentar, Sakka akan berada di alam brahma selama 31.000 kalpa. Di tempat ini hanya ada dua brahma lain yakni Anathapindika Sang pedagang dan Visakha. Kualitas hidup ketiga Brahma ini tak ada bandingannya dibanding alam lain dalam lingkaran samsara. Jadi, sebab keenam yang membuat Sakka bahagia adalah adanya peluang baginya meraih kearahatan di alam anakittha.
Kemudian Sakka menyimpulkan seluruh kebahagiaannya dengan kalimat demikian, “Yang Mulia, hari ini saya memberi hormat kepadaMu. Engkaulah sebenar-benarnya Buddha. Engkaulah guru sejati yang bisa memberi petunjuk kepada dewa dan manusia untuk kesejahteraan mereka. Engkau tak ada bandingannya”.
Setelah itu Sakka memberi hormat tiga kali sambil menyebut, “Namo Tassa Bhagavatto Arahatto Samma Sambudhasa“. Arahatto berarti orang yang berjasa mulia. Samma Sambuddha berarti seseorang yang “tahu” empat kebenaran mulia secara langsung.
Inilah akhir uraian Sakka Panha Sutta. Sutta ini telah memberi pencerahan bagi banyak mahkluk sebagai mana yang terjadi pada Sakka dan para pengikutnya. Bagi siapa saja yang mempraktekkan ajaran pasti akan memperoleh pandangan terang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar