No. 19396
CULLA-PADUMA-JĀTAKA
Sumber : Indonesia Tipitaka Center
“Ini tidak lain,” dan seterusnya. Kisah ini diceritakan oleh Sang
Guru ketika berdiam di Jetavana, tentang seorang bhikkhu yang menyesal
(tidak puas).
Cerita pembuka ini akan dikemukakan di dalam Ummadantī-Jātaka97.
Ketika bhikkhu ini ditanya oleh Sang Guru apakah benar bahwasanya dia
itu seorang yang tidak puas, dia menjawab bahwa itu benar.
“Siapakah,” kata Sang Guru, “yang menyebabkan Anda tidak puas?” Dia
menjawab bahwa dia telah melihat seorang wanita yang berpakaian bagus
dan karena ditaklukkan oleh nafsulah menyebabkan dirinya tidak puas.
Kemudian Sang Guru berkata, “Bhikkhu, kaum wanita semuanya tidak
berterima kasih dan tidak setia; orang-orang di masa lampau bahkan
sangat bodoh sampai memberikan darah dari lutut kanan kepada mereka
untuk diminum dan membuat mereka menyerahkan sepanjang hidup mereka,
tetapi masih tidak berhasil mendapatkan hati mereka (wanita).”
Kemudian Beliau menceritakan kisah masa lampau.
____________________
____________________
[116] Dahulu kala ketika Brahmadatta memerintah di Benares,
Bodhisatta dilahirkan sebagai putra permaisuri. Pada hari pemberian
namanya, mereka memberinya nama Pangeran Paduma (Teratai). Setelah
dirinya, lahir enam adik laki-laki. Satu per satu dari mereka bertujuh
tumbuh dewasa, menikah dan menetap, hidup sebagai rekan-rekan raja.
Suatu hari raja memandang ke luar, ke halaman istana dan ketika
sedang memandang, dia melihat pemuda-pemuda ini dengan pengikut yang
banyak dalam perjalanan untuk melayaninya. Timbul kecurigaan bahwasanya
mereka bermaksud untuk membunuhnya dan merebut kerajaannya. Jadi dia
memanggil mereka dan dengan cara begini berkata kepada mereka,
“Putra-putraku, kalian tidak boleh tinggal di kota ini. Jadi pergilah ke
tempat lain dan setelah saya wafat, barulah kalian pulang kembali,
ambillah kerajaan ini yang merupakan milik keluarga kita.”
Mereka setuju dengan kata-kata ayah mereka, dan pulang ke rumah
sambil menangis dan meratap. “Bukan masalah ke mana kita akan pergi!”
ratap mereka; dan membawa istri-istri mereka bersama, mereka
meninggalkan kota dan melakukan perjalanan jauh.
Hingga sampailah mereka ke suatu hutan, tempat mereka tidak bisa
mendapatkan makanan atau minuman. Dan karena tidak bisa menahan sakit
karena kelaparan, mereka bertekad untuk menyelamatkan diri mereka dengan
mengorbankan para wanita.
Mereka menangkap istri dari adik yang paling muda dan membunuhnya;
mereka membagi tubuhnya menjadi tiga belas bagian dan memakannya. Tetapi
Bodhisatta dan istrinya menyisihkan satu bagian dan memakan sisanya
bersama.
Demikian yang mereka lakukan selama enam hari; membunuh dan memakan
enam wanita; dan setiap hari Bodhisatta menyisihkan satu bagian, jadi
dia mempunyai enam bagian yang disimpan. Pada hari ketujuh, yang lainnya
hendak menangkap istri Bodhisatta untuk dibunuh, tetapi sebagai
gantinya dia memberikan enam bagian yang telah disimpannya. “Makanlah
ini,” katanya, “besok saya akan menanganinya.” Mereka semua makan daging
tersebut, dan pada saat mereka tertidur, Bodhisatta dan istrinya
melarikan diri.
Ketika mereka telah mencapai jarak tertentu, wanita tersebut berkata,
“Suamiku, saya tidak bisa berjalan lebih jauh lagi.” Jadi Bodhisatta
mengangkatnya di pundaknya dan pada saat matahari terbit, mereka keluar
dari hutan. Ketika matahari telah terbit, wanita itu berkata—“Suamiku,
saya haus!”
“Tidak ada air disini, Istriku!” katanya.
Tetapi dia memohonnya terus-menerus, sampai dia menusukkan pedangnya
ke lutut kanannya, [117] dan berkata, “Tidak ada air, tetapi duduklah
dan minumlah darah dari lututku.” Demikianlah yang dilakukan istrinya.
Hingga sampailah mereka ke Sungai Gangga yang sangat besar. Mereka
minum, mandi dan makan semua jenis buah serta beristirahat di sebuah
tempat yang nyaman. Dan di sana, dekat tikungan sungai, mereka membuat
sebuah gubuk petapa dan tinggal di dalamnya.
Kala itu, seorang perampok di daerah hulu Sungai Gangga telah
terbukti bersalah. Tangan, kaki, hidung dan telinganya telah dipotong,
dia diletakkan di dalam sebuah perahu yang dihanyutkan ke sungai besar
itu. Sampai tempat ini, dia terapung, sambil merintih keras kesakitan.
Bodhisatta mendengar rintihannya yang amat memilukan. “Selama saya
hidup,” katanya, “tidak boleh ada makhluk malang yang mati untukku!” Dia
pergi ke tepi sungai dan menyelamatkan orang itu. Dia membawanya ke
gubuk dan dengan losion dan minyak, dia merawat lukanya. Tetapi istrinya
berkata dalam hati, “Orang yang dikeluarkannya dari Sungai Gangga untuk
dirawat ini adalah orang yang malas!” Dan dia selalu berjalan sambil
meludah dikarenakan kejijikan terhadap orang tersebut.
Setelah luka orang tersebut mulai menutup, Bodhisatta membiarkannya
berdiam di gubuk itu bersama dengan istrinya, dan dia membawakan segala
jenis buah-buahan dari hutan untuk memberi makan kepada orang tersebut
dan istrinya. Dan karena mereka berdiam bersama, istri Bodhisatta jatuh
cinta kepada orang tersebut dan melakukan zina.
Kemudian dia berniat membunuh Bodhisatta dan berkata kepadanya,
“Suamiku, ketika berada di pundakmu di saat kita keluar dari hutan, saya
melihat bukit di sana dan berjanji jika Anda dan saya selamat dan tidak
terluka, saya akan memberikan persembahan kepada makhluk dewata yang
ada di bukit itu. Sekarang makhluk dewata itu menghantuiku, dan saya
berniat untuk memberikan persembahanku!” “Bagus sekali,” kata
Bodhisatta, tanpa mengetahui muslihatnya. Dia pun mempersiapkan
persembahan tersebut dan mengantar kepadanya benda-benda persembahan,
dia mendaki puncak bukit itu. [118] Kemudian istrinya berkata kepadanya,
“Suamiku, bukan makhluk dewata bukit ini, melainkan dirimulah pemimpin
para dewataku! Kemudian sebagai penghormatan kepadamu, pertama saya akan
mempersembahkan bunga-bunga ini dan berjalan dengan penuh hormat
mengelilingimu dan Anda tetap berada di sebelah kananku, dan saya
memberi hormat kepadamu: setelah itu, saya akan memberikan persembahanku
kepada makhluk dewata bukit ini.” Sambil berkata demikian, dia
mengarahkan suaminya menghadap ke tebing curam dan berpura-pura siap
untuk memberi hormat dengan berpradaksina 98 . Demikianlah
dia berada di belakang suaminya, dia memukul punggungnya dan
melemparkannya ke bawah tebing itu. Kemudian dia berteriak dengan
gembira, “Saya telah melihat punggung musuhku!” dan dia turun dari
gunung kemudian pergi menjumpai kekasihnya.
Bodhisatta jatuh ke bawah tebing, tetapi dia tersangkut di dedaunan, di atas puncak pohon elo99
yang tidak berduri. Tetapi dia masih tetap tidak bisa turun dari bukit
tersebut, jadi di sana dia duduk di antara ranting-ranting, sambil
memakan buah-buah elo. Kebetulan di sana terdapat seekor kadal besar
(iguana) yang biasanya memanjat dari kaki bukit tersebut dan memakan
buah dari pohon elo ini. Hari itu, dia melihat Bodhisatta dan melarikan
diri. Hari berikutnya, dia datang dan memakan beberapa buah dari sisi
lain pohon itu. Lagi dan lagi dia datang, sampai akhirnya dia menjalin
persahabatan dengan Bodhisatta.
“Bagaimana Anda bisa sampai ke tempat ini?” tanyanya; dan Bodhisatta
menceritakan kepadanya. “Baiklah, jangan takut,” kata iguana; dan
membawanya di punggungnya, dia turun dari bukit itu dan membawanya
keluar dari hutan. Di sana dia menurunkannya di jalan besar, menunjukkan
kepadanya jalan mana yang harus ditempuh, dan dia sendiri kembali ke
dalam hutan.
Bodhisatta melanjutkan perjalanan ke sebuah desa dan tinggal di sana
sampai dia mendengar kabar tentang kematian ayahnya. Mengetahui hal ini,
dia kemudian melanjutkan perjalanan ke Benares. Di sana dia mewarisi
kerajaan milik keluarganya dan mendapatkan nama Raja Paduma; sepuluh
kualitas seorang raja100 tidak diabaikannya dan dia
memerintah dengan benar. Dia membangun enam balai distribusi dana (balai
derma), satu di masing-masing ke empat gerbang, satu di tengah kota
dan satunya lagi di depan istana; dan setiap harinya dia
mendistribusikan derma sebesar enam ratus ribu keping uang.
Kala itu istrinya, sambil membawa kekasih di pundaknya, keluar dari
hutan, dia pergi mengemis ke orang-orang, mengumpulkan nasi dan bubur
untuk menghidupi kekasihnya. [119] Kalau dia ditanya apa hubungan
laki-laki itu dengannya, dia akan menjawab, “Ibunya adalah kakak dari
ayah saya, dia adalah sepupu saya 101 ; mereka memberikan
diriku kepadanya. Walaupun dia akan menemui ajalnya, saya tetap akan
memikul suamiku ini di pundakku, menjaganya, dan mengemis makanan untuk
menopang hidupnya!”
“Betapa istri yang penuh pengabdian!” kata semua orang. Dan sejak
saat itu, mereka memberinya lebih banyak makanan daripada sebelumnya.
Beberapa dari mereka bahkan memberinya nasihat, berkata, “Janganlah
hidup seperti ini. Raja Paduma adalah Raja Benares; dia telah
menggemparkan seluruh India dengan kemurahan hatinya. Dia pastinya akan
senang bertemu denganmu; Dia akan menjadi begitu gembira sehingga akan
memberikanmu derma yang banyak. Taruhlah suamimu ke dalam keranjang ini
dan temuilah beliau.” Berkata demikian, mereka membujuknya dan
memberikannya satu keranjang daun.
Wanita jahat tersebut menaruh kekasihnya ke dalam keranjang itu dan
sambil mengangkatnya, dia pergi ke Benares dan hidup dari apa yang
didapatkannya dari balai distribusi dana. Bodhisatta sering menunggangi
gajah kerajaan yang penuh perhiasan ke balai derma, dan setelah memberi
derma kepada delapan atau sepuluh orang, dia akan pulang ke rumah lagi.
Kemudian wanita jahat itu menaruh kekasihnya ke dalam keranjang dan
sambil mengangkatnya, dia berdiri di tempat yang biasa raja lewati. Raja
melihatnya. “Siapakah dia?” tanya raja. “Seorang istri yang penuh
pengabdian,” adalah jawabannya. Raja memanggilnya dan mengenali siapa
dirinya. Raja memerintahkannya untuk menurunkan laki-laki itu dari
keranjangnya, dan bertanya kepada wanita tersebut, “Apa hubungan
laki-laki ini denganmu?”—“Dia adalah anak dari kakak ayah saya,
diberikan kepadaku oleh keluargaku, suami saya sendiri,” jawabnya. “Ah,
betapa seorang istri yang penuh pengabdian!” teriak semua orang, karena
mereka tidak tahu seluk-beluknya; dan mereka memuji wanita jahat
tersebut.
“Apa—orang rendah ini sepupumu? Apakah keluargamu memberikannya
kepadamu?” tanya raja, “Suamimu, benarkah demikian?” Wanita tersebut
tidak mengenali raja, dan, “Ya, Paduka!” katanya. “Dan inikah putra Raja
Benares? Bukankah Anda istri Pangeran Paduma, putri dari seorang raja
anu, namamu adalah anu? Bukankah Anda yang minum darah dari lututku?
Bukankah Anda jatuh cinta kepada orang rendah ini, dan melempar saya ke
bawah tebing? Ah, Anda pikir saya telah mati, dan di sini Anda berada,
dengan kematian tertulis di dahimu sendiri—dan inilah saya, masih
hidup!” [120] Kemudian dia menoleh ke arah pejabat istananya. “Ingatkah
kalian tentang apa yang saya ceritakan, ketika kalian bertanya kepadaku?
Enam adik-adikku membunuh enam istri mereka dan memakannya; tetapi saya
melindungi istriku tanpa terlukai dan membawanya ke tepi Sungai Gangga,
tempat saya tinggal di gubuk petapa. Saya menarik seorang pelaku
kejahatan keluar dari sungai itu dan merawatnya. Wanita ini jatuh cinta
kepadanya dan melempar saya ke bawah tebing, tetapi saya dapat
menyelamatkan diriku dengan menunjukkan kebaikan. Ini tidak lain adalah
wanita jahat yang melempar saya dari tebing itu: ini, dan tidak lain,
adalah makhluk rendah yang dihukum itu!” Dan dia mengucapkan bait
berikut:
Ini tidak lain, dan wanita rendah ini adalah dia;
Makhluk rendah yang tidak bertangan, tidak lain,
yang kalian lihat;
Kata wanita itu—‘Ini adalah suamiku.’
Para wanita pantas mati;
mereka tidak mempunyai kebenaran.
Dengan sebuah tongkat besar, pukullah makhluk rendah ini
sampai mati, yang berbaring menunggu untuk merampas istri orang lain.
Kemudian bawa wanita rendah yang setia ini segera,
potonglah hidung dan telinganya sebelum dia mati.
[121] Walaupun Bodhisatta tidak bisa menyembunyikan amarahnya dan
menjatuhkan hukuman ini untuk mereka, tetapi dia tidak melakukan seperti
itu; dia kemudian menahan amarahnya dan memerintahkan untuk mengikat
keranjang tersebut ke kepala wanita itu dengan sangat kencang hingga dia
tidak bisa melepasnya; makhluk rendah itu diletakkannya ke dalam
keranjang dan mereka diusir keluar dari kerajaannya.
____________________
Setelah Sang Guru mengakhiri uraian ini, Beliau memaklumkan
kebenaran-kebenaran dan mempertautkan kisah kelahiran mereka:—Di akhir
kebenaran-kebenaran, bhikkhu yang menyesal itu mencapai tingkat kesucian
Sotāpanna:—“Pada masa itu, para thera anu adalah keenam bersaudara
tersebut, Ciñcā adalah sang istri, Devadatta adalah pelaku kejahatan,
Ānanda adalah iguana, dan Raja Paduma adalah diri-Ku sendiri.”
____________________
Catatan kaki :
96 Lihat Pañcatantra IV. 5 (Benfey, II hal. 305); Tibetan Tales, no. XXI. “How a Woman requites Love.”
97 No. 527.
98 Berjalan sambil tetap mengarahkan sisi kanan badan pada objek yang dihormati; berpradaksina; paddakhiṇā.
99 udumbara; Ficus glomerata.
100 Rajadhamma: dāna (kedermawanan), sīla (moralitas),
pariccāga (kemurahan hati), ajjava (kejujuran), maddava (kelembutan),
tapo (pengendalian diri), akkodha (cinta kasih), avihimsā (belas
kasih), khanti (kesabaran), avirodhana (kesantunan).
101 Di dalam versi Sansekertanya berbunyi “dia dianiaya oleh sanak saudara,” yang menyebabkan dia berada dalam keadaan seperti itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar