Oleh: Tanhadi
Didalam Riwayat hidup Sang Buddha, yaitu sebelum Beliau menjadi Buddha,
Ada suatu kisah, pada saat itu sang Bodhisatta sedang melakukan
pertapaan dibawah salah satu pepohonan yang rindang dan letaknya
berdekatan dengan seorang petani bernama Senani dan mempunyai Istri
bernama Sujata. Suatu pagi, Sujata memberikan persembahan kepada Dewa,
Ia melihat sang Bodhisatta tengah bermeditasi dan Ia menganggapnya
sebagai Dewa, kemudian Sujata mempersembahkan beberapa susu beras yang
lezat.
Setelah makan, Bodhisatta bertanya maksud dan tujuan Sujata memberikan persembahan itu. Sujata menjawab bahwa ia membuat haturan terima kasih untuk membayar kaul telah diberikan anak lelaki. Siddhattha menyatakan bahwa Ia bukan Dewa hanya manusia biasa dan memberi berkat kepada anak itu.
Setelah terlibat pembicaraan dengan Sujata, sang Bodhisatta pun kemudian melanjutkan perjalanan dengan membawa mangkuk kosong. Ia menuju ke tepi Sungai Nerañjara dalam perjalanannya ke Gaya. Tiba di tepi sungai sang Bodhisatta melempar mangkuknya ke tengah sungai dan berkata, "Kalau memang waktunya sudah tiba, mangkuk ini akan mengalir melawan arus dan bukan mengikuti arus." Suatu keajaiban terjadi karena mangkuk itu ternyata mengalir melawan arus.
Dan pada hari yang sama, saat itulah sang Bodhisatta setelah menerima penawaran jerami dari penjual jerami yang bernama Sotthiya, kemudian membuat tempat duduk dari bahan itu dan duduk bermeditasi di bawah sebuah pohon bodhi yang besar, Beliau mengucapkan tekad yang kuat pada dirinya sendiri: "Dengan disaksikan oleh bumi, meskipun kulitku, urat-uratku dan tulang-tulangku akan musnah dan darahku habis menguap, aku bertekad untuk tidak bangun dari tempat ini sebelum memperoleh Penerangan Agung dan mencapai Nibbana."
Dari kisah inilah muncul ungkapan “Dhamma melawan arus” (meninggalkan semua keinginan-keinginan (kemelekatan) yang hanya untuk pemuasan indriya /keduniawian), sehingga digambarkan sebagai swastika/Roda Dhamma yang berputar melawan arah jarum jam.
Setelah makan, Bodhisatta bertanya maksud dan tujuan Sujata memberikan persembahan itu. Sujata menjawab bahwa ia membuat haturan terima kasih untuk membayar kaul telah diberikan anak lelaki. Siddhattha menyatakan bahwa Ia bukan Dewa hanya manusia biasa dan memberi berkat kepada anak itu.
Setelah terlibat pembicaraan dengan Sujata, sang Bodhisatta pun kemudian melanjutkan perjalanan dengan membawa mangkuk kosong. Ia menuju ke tepi Sungai Nerañjara dalam perjalanannya ke Gaya. Tiba di tepi sungai sang Bodhisatta melempar mangkuknya ke tengah sungai dan berkata, "Kalau memang waktunya sudah tiba, mangkuk ini akan mengalir melawan arus dan bukan mengikuti arus." Suatu keajaiban terjadi karena mangkuk itu ternyata mengalir melawan arus.
Dan pada hari yang sama, saat itulah sang Bodhisatta setelah menerima penawaran jerami dari penjual jerami yang bernama Sotthiya, kemudian membuat tempat duduk dari bahan itu dan duduk bermeditasi di bawah sebuah pohon bodhi yang besar, Beliau mengucapkan tekad yang kuat pada dirinya sendiri: "Dengan disaksikan oleh bumi, meskipun kulitku, urat-uratku dan tulang-tulangku akan musnah dan darahku habis menguap, aku bertekad untuk tidak bangun dari tempat ini sebelum memperoleh Penerangan Agung dan mencapai Nibbana."
Dari kisah inilah muncul ungkapan “Dhamma melawan arus” (meninggalkan semua keinginan-keinginan (kemelekatan) yang hanya untuk pemuasan indriya /keduniawian), sehingga digambarkan sebagai swastika/Roda Dhamma yang berputar melawan arah jarum jam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar