Sabtu, 01 Juni 2013

Lima Hal yang Hendaknya Direnungkan

Namo Tassa Bhagavato Arahato Samma Sambuddhassa
Terpujilah Sang Bhagava, Yang Maha Suci, Yang telah mencapai Penerangan Sempurna.

Kalena dhammasavana
Etammagalamuttama
Mendengarkan Dhamma pada saat yang sesuai
Itulah Berkah Utama

Namo Buddhaya,
Kali ini saya ingin membahas salah satu sutta/kotbah Sang Buddha favorit saya, yang termaktub pada Anguttara Nikaya V, 57 yaitu Lima Perenungan bagi Setiap Orang,
yang kita lebih kenal di paritta suci buku biru sebagai Perenungan Kerap Kali atau dalam bahasa Pali disebut juga ABHIHAPACCAVEKKHA
A.
Mengapa saya sebut ini sebagai sutta favorit? Setidaknya ada 2 alasan, pertama, _ dan saya harap Anda sekalian tidak meneladani saya dalam hal ini _, mungkin dengan kesibukan dan rutinitas harian kita yang padat, terkadang kita lupa untuk membaca paritta, atau enggan untuk melakukan meditasi harian. Jadi, sutta ini selalu mengingatkan saya untuk tetap “merenung”, berkontemplasi, dan introspeksi akan lima fakta kehidupan yang akan saya jelaskan berikut ini. Kedua, lima fakta kehidupan ini sangatlah universal, berlaku menyeluruh kepada semua makhluk. Tidak peduli mereka Buddhist atau Non Buddhist. Mereka PASTI akan mengalami lima hal tersebut.

Perenungan pertama:
Jara dhammomhi
Jaram anatito
Aku akan menderita usia tua, (aku wajar mengalami usia tua), aku belum mengatasi usia tua,
Perenungan akan fananya kehidupan. Bahwa semua manusia, semua makhluk, baik itu hewan, setan, penghuni neraka, bahkan para dewa pun akan mengalami usia tua.


Saya teringat akan penjelasan Ajahn Chah, seorang guru dan praktisi meditasi yang hebat dari Thailand, pernah menceritakan sebuah kisah. Ketika itu di dalam misinya mengunjungi vihara yang telah berusia tua, para guide, umat dan bhikkhu muda yang tinggal di vihara tersebut merasa segan dan malu akan buruknya kondisi dan keadaan vihara tersebut. Banyak tembok yang retak, berwarna kusam, dan tidak sedap dipandang. Namun, beliau mengatakan, “Sungguh bagus vihara ini. Semua kondisi di sini dapat menginspirasi kita akan anicca atau ketidak kekalan.”
Selama ini, kita mungkin merasa malu, segan dan menderita akan proses penuaan kita. Hal ini terbukti dari apa yang terjadi pada tubuh kita. Saat rambut mulai memutih, kita cemas dan gelisah, sehingga kita mencari semir warna hitam, atau ada yang lebih gaul dengan mengubah warna seperti warna bajunya. Saat gigi kita mulai tanggal, kita buru-buru lari ke dokter gigi untuk memasang gigi palsu. Saat badan mulai letih dan kekuatan berangsur menurun, kita malah tampil sok ABG, tua-tua keladi istilah saat ini.


Padahal sang Buddha sudah menekankan bahwa suatu kehidupan, bila di kehidupan yang lalu banyak berbuat kebajikan sehingga usia di kehidupan saat ini cukup panjang, kita pasti akan mengalami proses penuaan. Bahkan semenjak hari pertama kita terlahir, proses penuaan telah terjadi.
Di dalam Anguttara Nikaya Bab V tersebut disampaikan oleh Sang Guru, bahwa di luar sana, banyak makhluk merasa sombong akan kemudaannya, sehingga mereka melakukan perbuatan jahat baik dari ucapan, perbuatan dan pikirannya. Ah, mumpung saya masih muda, saya bisa bersenang-senang untuk melakukan perbuatan buruknya. Sehingga ia tidak peduli kapan ia akan pindah ke alam lain, atau meninggal. Ia begitu tergila-gila akan kemudaannya, sehingga ia lupa bahwa ia akan mati. Cepat atau lambat.


Jadi, jangan pernah takut pada usia tua! Malah saya cukup berharap, seperti Bapak Ibu, Oom dan Tente di sini yang diberi berkah luar biasa oleh karma masa lampau masih hidup dan mungkin sekali dua hingga tiga kali usia saya. Dengan usia tua yang kita miliki ini, manfaatkan makin banyak perbuatan kebajikan yang akan kita lakukan.
Perenungan kedua:
Byadhidhammomhi
Byadhim anatito


Aku akan menderita sakit, (aku wajar mengalami sakit), aku belum mengatasi penyakit,
Adakah umat di sini yang sepanjang hidup tidak pernah mengalami sakit? Saya piker semua orang pasti pernah, meski mungkin hanya flu, batuk, mencret dan penyakit kecil yang lain. Bila perenungan tentang usia tua, belum tentu semua orang mengalami usia tua, namun ada “kemungkinan” besar seseorang bisa sakit.
Sebab tubuh yang kita miliki ini, dari ujung rambut di atas hingga telapak kaki di bawah, bukanlah “milikku”, bukanlah “aku”. Jadi kita tidak mampu untuk membuat tubuh ini selalu sehat seperti yang kita inginkan. Selalu kuat seperti yang kita harapkan. Justru adanya rasa sakit, kita dapat menjaga kesehatan kita dengan baik. Saya sering berkata kepada beberapa teman, bahwa kita ingat bila kita bernapas, saat sakit pilek. Bila kita tidak rajin meditasi, kadang kita lupa bahwa kita bernapas. Karena kita menganggap napas sudah “biasa” kita lakukan, sehingga kita tidak benar-benar menyadari dan mensyukuri napas keluar masuk melalui hidung kita.
Di dalam Anguttara Nikaya Bab V tersebut disampaikan oleh Sang Guru, bahwa di luar sana, banyak makhluk merasa sombong akan kesehatannya, sehingga mereka melakukan perbuatan jahat baik dari ucapan, perbuatan dan pikirannya. Ah, mumpung saya masih kuat, masih sehat, aku masih mempertahankan perbuatan jahatnya, ia tidak menyadari bahwa kesehatan tidak selama pada dirinya. Saat ia sakit, ia akan menyadari bahwa waktu kematian akan mendekat, dan ia telah terlambat untuk memperbaiki dirinya.


Di dalam bukunya Membuka Pintu Hati, Ajahn Brahm bercerita saat awal ia menjalani masa kebhikkhuannya di Thailand Timur Laut. Beliau mengalami sakit tipus yang berat. Ia begitu senang dan bahagia, saat gurunya, Ajahn Chah akan mengunjungi dan menjenguknya. Saat Ajahn Chah bertemu dengannya, hal ini tidak akan pernah ia lupakan hingga saat ini. Ajahn Chah berujar, “Bila kamu tidak sembuh, maka kamu akan mati.” Awalnya, Ajahn Brahm merasa sakit hati dan kecewa terhadap “teguran” tersebut. Namun, setelah ia mencari tahu, bahwa Sang Guru selalu berkata demikian terhadap semua muridnya yang sedang sakit, lalu ia merenungkan akan makna kebenaran tersebut. Setelah keesokan harinya, Ajahn Brahm merasa kondisinya sudah sangat lebih baik daripada sebelumnya. Inilah kebenaran yang disampaikan oleh murid Buddha sejati.


Hadirnya sakit di dalam diri kita, hendaknya kita sikapi dengan bijak. Tidak semua orang menderita saat sakit. Bila kita sakit gigi misalnya, terasa menderita karena mau ada acara piknik ke luar kota. Tetapi, orang tertentu yang tidak minat atau senang pergi ke tempat tujuan piknik tersebut, dengan sakit giginya, ia malah hepi karena mungkin bias nonton teve atau dengerin musik di rumah saja. Hal ini tergantung di dalam pikiran kita sendiri untuk menjalani hidup ini.

Perenungan ketiga:
Marana dhammomhi
Marana? anatito
Aku akan menderita kematian, (aku wajar mengalami kematian), aku belum mengatasi kematian.
Siapapun, tanpa terkecuali, suatu makhluk yang terlahir pasti akan mati. Baik makhluk yang terlahir sebagai hewan, setan, dewa, bahkan di alam brahma yang jutaan tahun hidup di sana, sehingga mereka cenderung memiliki pemahaman sesat terhadap keabadiaan dan proses penciptaan (seperti yang tertulis di dalam Digha Nikaya, Bab I tentang Brahmajala Sutta). Mereka semua belum terlepas dari proses tumimbal lahir. Dan tentu bisa mati.


Mungkin timbul pertanyaan di dalam benak Bapak Ibu, lalu mengapa Sang Buddha mengajarkan perenungan dimulai dari usia tua, sakit dan mati? Menurut hemat saya, karena kita “telanjur terlahir”. Ingat, Sang Buddha di dalam Dhammapada mengatakan “Sungguh sulit terlahir sebagai manusia, sungguh sulit kehidupan sebagai manusia, sungguh sulit mendengarkan ajaran Dhamma, dan sungguh sulit terlahirnya seorang Buddha.” Karena tiga hal, kita bertumimbal lahir, yaitu karena kita memiliki kama tanha (nafsu keinginan), bhava tanha (nafsu untuk menjadi), dan vibhava tanha (nafsu untuk musnah). Hal ini dapat dijelaskan secara mendalam dan panjang lebar di satu session khusus dhammadesana, yang kiranya tidak cukup untuk disampaikan di sini. Namun, di Anguttara Nikaya, bab X, Sang Buddha pun menjelaskan lahir, usia tua, sakit dan mati, disebabkan oleh nafsu keserakahan, kebencian dan kegelapan batin.


Bila kita memahami bahwa kelahiran sebagai manusia itu sungguh sulit, maka hendaknya kita mengisi kehidupan yang berharga ini dengan penuh kebajikan. Di dalam Anguttara Nikaya Bab V tersebut disampaikan oleh Sang Guru, bahwa di luar sana, banyak makhluk merasa sombong akan kehidupannya, sehingga mereka melakukan perbuatan jahat baik dari ucapan, perbuatan dan pikirannya.


Ah, mumpung aku masih hidup, aku puas-puasin untuk berbuat kejahatan, tindakan keji, menghancurkan kehidupan dan kesejahteraan pihak lain. Sehingga saat menjelang kematian, ia telah menyesali begitu percumanya ia hidup, namun sudah terlambat.


Perenungan wajarnya kematian, dan kita tidak perlu gentar untuk menghadapinya, sangat apik disampaikan oleh Bhante Uttamo di dalam artikelnya yang berjudul Penyebab Kematian. Beliau menyampaikan ada 4 (empat) sebab kematian, yang beliau ilustrasikan seperti api yang menyala di lilin.


Pertama, semisal lilin ini sepanjang 10cm, apinya dinyalakan, lalu habis secara perlahan, awalnya tiga perempatnya, lalu separuhnya atau sisa 5 cm, kemudian seperempat, hingga habis. Akan tetapi, saat habisnya lilin, kita masih kesalahan.html”title=”" >melihat ada sumbunya. Ini yang dinamakan sudah “jatah” hidup kita habis. Lilin digambarkan sebagai fisik dan raga kita, sedangkan sumbu adalah karma kita. Dan api tersebut adalah masa kehidupan kita. Misal, kita memiliki jatah hidup 100 tahun, tapi setelah berusia 50 tahun kita meninggal, karena kita masih memiliki “jatah” 50 tahun, maka di kehidupan yang akan datang, mungkin di kehidupan ke-3, ke-10, atau kesekian jatah tersebut baru kita “ambil”. Sebab tidak selalu, orang yang meninggal, langsung terlahir kembali sebagai manusia. Ingat, terlahir sebagai manusia sungguh sulit. Malah lahir di alam surga begitu mudahnya, karena di dalam agama Buddha terdapat 26 alam surga. Atau kita mungkin mampir ke alam hewan, karena menjelang sakratul maut, kita begitu bodoh dan melekatnya terhadap sesuatu di dunia ini. Atau kita berlaku jahat sehingga harus terjun bebas kea lam neraka. Jadi lebih baik, kita senantiasa kembangkan kebajikan, agar siapa tahu, kita dapat terlahir di alam surga. Di alam surga terdekat saja, seperti Catumaharajika atau she tha tien wang, kita bias hidup 10.000 tahun manusia. Bayangkan kalau banyaknya kebajikan yang kita lakukan di kehidupan, kita kembali terlahir sebagai manusia, eh di sana telah terlahir atau masanya Buddha Maitreya. Begitu indahnya bukan?


Ilustrasi yang kedua, tidak semua lilin, antara sumbu dan lilinnya sama panjang. Ada lilin yang sumbunya setengah atau tiga per empatnya. Jadi saat sumbunya habis, maka api pada lilin mati. Ini adalah gambaran tidak semua orang meninggal saat tua. Bahkan saat kekuatan fisiknya masih ada, masih paruh baya, ia dikarenakan sebab tertentu, ia meninggal. Mungkin disebabkan oleh sakit, dan lain sebagainya. Penyebab ketiga, digambarkan sebagai lilin dan sumbunya habis bebarengan. Sehingga api mati saat habisnya sumbu dan lilin tersebut. Hal ini adalah fenomena kematian seorang Arahat yang tidak berbekas. Karmanya habis seiring habisnya kekuatan raga kehidupannya. Sesosok makhluk yang benar-benar telah mengatasi kelahiran, usia tua, rasa sakit dan kematian.
Gambaran keempat, adalah bila lilin masih panjang, sumbunya pun juga masih panjang, namun karena ada angina kencang lewat, maka padam pula api lilin tersebut. Ini adalah kejadian orang yang meninggal karena kecelakaan, musibah, bencana alam, bahkan orang yang nekat bunuh diri dengan minum obat serangga.
Kembali kepada buku Membuka Pintu Hati karya Ajahn Brahm, saya teringat sebuah kisah tentang fenomena kematian ini. Di Thailand, seperti yang kita ketahui, di tiap sudut jalan terdapat vihara. Bahkan banyak terdapat gubuk atau saung semirip kuil yang disebut vihara hutan. Saat itu ada seorang bhikkhu yang tinggal di vihara hutan, di mana ia hendak melakukan latihan meditasi malam. Di luar vihara angin ribut bergelora menghantam para pepohonan, seakan hendak mencerabutnya dari dalam bumi. Namun ia tidak bergeming, dan beranjak dari meditasinya. Karena ia yakin, bahwa ia tidak akan mati karena tertindih oleh bangunan reot vihara tuanya. Pada keesokan harinya, ia keluar dari gubuknya bermeditasi, saat angina rebut telah reda. Seperti yang ia renungkan di dalam meditasinya, bahwa ia yakin banyak dedauanan yang akan berguguran. Ia menemukan daun yang telah tua, berwarna kecoklatan, keriput dan kerontang yang terbanyak jatuh dari dahannya. Ia merenung, seperti di kehidupan ini pula, yang terbanyak mati adalah orang-orang yang telah berusia senja. Kemudian, ia pun menemukan daun-daun berwarna kekuningan, yang ia renungkan sebagai gambaran orang-orang yang separuh baya harus meninggal karena bencana angin ribut. Tak jauh ia berjalan memasuki hutan, ia juga menemukan tak sedikit dedaunan yang masih berwarna hijau muda turut berguguran. Sehingga tidak ada keraguan di dalam benaknya tentang banyaknya umat manusia yang meninggal di usia masih sangat muda, bahkan ada yang masih 1 bulan, 3 bulan, 1 tahun, 5 tahun, bahkan belasan tahun. Saat ia mendongakkan kepala melihat pepohonan, ia melihat dengan tersenyum bahwa masih banyak pula dedaunan berwarna coklat yang kering kerontang masih kuat menempel di dahan.


Di dalam ajaran Buddha, sungguh sangat melegakan. Mendapati kondisi kita yang mungkin menua, bahkan andai sakit sekalipun, hanya mampu berebahan di atas pembaringan, kita masih dapat untuk melakukan kebajikan. Apakah kebajikan yang dapat kita perbuat? Yaitu menguncarkan satu kalimat doa yang luar biasa pengaruhnya, yaitu Sabbe satta bhavantu sukhitatta. Yaitu harapan agar semua makhluk hidup berbahagia. Satta di sini mengacu kepada semua makhluk, tidak hanya kepada orang tua kita yang mungkin meninggal mendahului kita, kepada saudara, pasangan hidup dan anak kita, namun kepada semua makhluk hidup. Jadi jangan pernah mengeluh dan takut menjelang kematian tiba, sebab kita masih memiliki potensi kebajikan untuk kita lakukan.

Perenungan keempat:
Sabbehi me piyehi manapehi nanabhavo vinabhavo
Segala milikku yang kucintai dan kusenangi akan berubah, akan terpisah dariku
Ini adalah perenungan yang sungguh dahsyat. Bahwa sebuah derita berpisah dengan yang dikasihi, dan bertemu dengan yang dibenci. Bukan hanya orang, situasi, kondisi dan perasaan kita yang labil tentu akan menemukan hal ini.


Seperti misal di dalam kehidupan rumah tangga saya. Ada 2 hal yang paling kurindukan di rumah, sehingga tiap kali pulang kerja, saya merasa ingin segera kembali ke rumah. Pertama, istri saya yang menunggu di rumah. Bayangkan, beliau ini begitu setia dan mencintai saya, sehingga harus makan setelah saya pulang ke rumah. Pernah suatu kejadian, karena saya harus menengok seorang rekan kerja di kantor sedang sakit, ia rela untuk tidak makan, hingga ketiduran. Kedua adalah anak saya yang masih bayi dan berusia tiga bulan. Anehnya, ia pun sering kali menanti papanya pulang kerja, becanda sebentar, merengek minta digendong, lalu baru beberapa menit kemudian tertidur dengan pulas. Hampir jarang sekali ia tertidur, sebelum saya tiba di rumah. Nah, suatu ketika saat anak saya ini bertemu dengan saya, menangis, sudah digendong masih menangis, kadang sebagai orang tua kita jengkel, dan capek menghadapi tingkah rewel si anak. Ini sedikit penjelasan tentang perubahan kondisi yang tidak kita inginkan.


Di dalam Anguttara Nikaya Bab V tersebut disampaikan oleh Sang Guru, bahwa di luar sana, banyak makhluk memiliki nafsu yang tinggi terhadap apa yang dicintai dan dikasihinya, sehingga mereka melakukan perbuatan jahat baik dari ucapan, perbuatan dan pikirannya. Tetapi di dalam diri seseroang yang rajin merenungkan perpisahan dari hal yang disayangi dan dikasihi, maka nafsu yang tinggi tersebut akan pudar, melemah dan musnah.

Untuk saat ini, saya masih menyampaikan empat terlebih dahulu dari Lima Perenungan yang hendaknya kerap kita lakukan. Sebab yang kelima membutuhkan waktu atau dhammadesana dengan topik khusus terhadap perenungan akan tanggung jawab pribadi.
Demikianlah yang bisa saya sampaikan, semoga penjelasan ini bermanfaat bagi saya pribadi yang sedang menjalankan Ajaran Mulia Guru Buddha yang sungguh sederhana namun berdampak luar biasa ini, bagi Bapak Ibu yang hendak menjalani kehidupan benar, bagi semua makhluk baik yang tampak maupun tak tampak, semoga semua makhluk hidup berbahagia.
Sabbe satta bahavantu sukhitatta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar