Minggu, 09 Juni 2013

Mengubah Pola Pikir, Mencapai Kebahagiaan Hidup

Oleh: Bhikkhu Uttamo
Adalah merupakan satu hal yang sangat membahagiakan kita semua, bahwa perkembangan agama Buddha di Indonesia akhir – akhir ini sangatlah pesat. Hal ini dapat dilihat dari semakin banyaknya vihara yang dibangun lengkap dengan segala sarana pendukungnya, semakin aktifnya umat Buddha yang datang mengikuti kebaktian rutin maupun temporer dan tentu saja, jumlah para pemuda yang berkeinginan menjadi bhikkhu pun semakin bertambah.
Hanya saja, hendaknya kita jangan merasa terlalu berbahagia pada perkembangan yang bersifat fisik semacam itu. Ada hal yang hendaknya kita renungkan secara lebih mendalam yaitu sudahkah kemajuan fisik ini dibarengi dengan kemajuan yang bersifat batin juga? Karena sesungguhnya faktor terpenting dalam Buddha Dhamma adalah bagaimana seseorang dapat merasakan manfaat Dhamma dalam kehidupannya setelah ia melaksanakan Ajaran Sang Buddha tersebut dalam kehidupan sehari-hari.

Permasalahannya sekarang adalah Dhamma manakah yang dapat dengan mudah dipraktekkan untuk para pemula. Pertanyaan ini muncul karena telah sedemikian banyak buku Dhamma yang dicetak dan disebarluaskan, sudah sedemikian banyak kaset ceramah yang didengarkan, serta masih banyak sarana pembabaran Dhamma yang relatif dapat dengan mudah dijumpai dalam masyarakat, tetapi kesemuanya itu seakan berdiri sendiri – sendiri tidak membentuk urutan tahap kerangka berpikir yang bisa dijadikan pedoman pelaksanaan Buddha Dhamma dalam kehidupan sehari-hari.
Melihat kenyataan dalam masyarakat itulah, maka naskah ringkas ini disusun. Diharapkan, dengan membaca naskah ini seseorang akan memperoleh, paling tidak, suatu alternatif pedoman untuk melaksanakan Buddha Dhamma dalam kehidupan sehari-hari.
Sesungguhnya, untuk mengawali pelaksanaan Dhamma dalam kehidupan sehari-hari seseorang tidaklah membutuhkan teori dan pengetahuan Dhamma yang banyak serta berbelit-belit. Seseorang dapat memulainya dengan membaca Sigalovada Sutta. Disebutkan dalam sutta ini, Sang Buddha ketika berada di Rajagaha membabarkan tentang timbal balik tugas dan kewajiban berbagai unsur masyarakat kepada seorang pemuda bernama Sigala. Bentuk hubungan timbal balik tugas dan kewajiban ini dilambangkan dengan arah mata angin, yaitu:
  1. Anak terhadap orangtua seperti arah Timur,
  2. Murid terhadap para guru seperti arah Selatan,
  3. Suami terhadap isteri seperti arah Barat,
  4. Sahabat terhadap kawan-kawan seperti arah Utara,
  5. Pimpinan terhadap para karyawan-karyawan seperti arah bawah, dan
  6. Umat terhadap para guru agama serta brahmana seperti arah atas.
Namun, untuk menjaga agar naskah ini tetap ringkas, keterangan rinci sutta tersebut bisa dibaca di banyak sumber uraian Dhamma. Hanya saja, perlu ditunjukkan di sini bahwa dengan memperhatikan dan menyimak isi sutta tersebut sesungguhnya dapat ditarik kesimpulan umum yaitu setiap orang dalam masyarakat pasti memiliki tugas dan kewajibannya masing-masing pada saat berhubungan dengan fihak lain. Hanya saja, dalam pelaksanaannya, ada hal yang harus dipersiapkan yaitu pengendalian diri kita. Tanpa adanya pengendalian dan penguasaan diri sendiri, maka melaksanakan tugas dan kewajiban seperti yang dinasehatkan oleh Sang Buddha tersebut menjadi hal yang mustahil. Dalam perkembangannya, pengendalian diri ini tidaklah mudah dilakukan. Manusia cenderung memiliki keakuan yang tinggi. Kalau keakuan tidak dapat dikuasai, maka ia tidak akan merasa lebih rendah daripada orang lain. Dengan demikian, ia tidak merasa memiliki kewajiban yang harus dilakukan kepada orang lain. Ia hanya merasa memiliki hak bahwa orang lain hendaknya melakukan kewajiban atasnya.
Menimbulkan serta meningkatkan perasaan rendah hati yang merupakan hasil pengurangan dan pengendalian keakuan ini kadang bisa dilakukan pada beberapa fihak tertentu, namun sering tidak bisa dilaksanakan untuk semua fihak. Padahal, kalau memperhatikan isi sutta Sang Buddha di atas, kita bisa menyadari bahwa hak dan kewajiban itu berlaku untuk semua fihak.
Kalaupun seseorang dapat bersifat rendah hati kepada semua fihak, malah ada yang memberikan ‘gelar’ kepadanya sebagai ‘orang bodoh yang baik hati’. Kalau demikian, bagaimanakah sikap kita yang seharusnya?
Untuk menyikapi hal ini, kita dapat menjadikan air sebagai contoh yang nyata. Air akan selalu mampu menyesuaikan bentuk menurut tempat yang mewadahinya. Air akan berbentuk botol apabila dimasukkan ke dalam sebuah botol. Demikian pula bentuknya akan berubah apabila air dimasukkan ke dalam guci, tempayan, mangkok dan lain-lain.
Namun, meskipun air selalu menyesuaikan dengan bentuk tempatnya, air tidak pernah kehilangan kualitas pokoknya. Air bunga yang harum akan tetap harum walau berbentuk apapun juga sesuai dengan tempat yang mewadahinya.
Sesungguhnya seperti sifat air tersebut, seseorang dalam kehidupan sehari-hari hendaknya selalu dapat menyesuaikan diri dengan lingkungannya tanpa mengubah jati dirinya pula. Cara seseorang untuk mencapai tahap ini adalah dengan selalu berusaha menerima serta memahami bahwa setiap orang memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing dengan mengubah pola pikir sendiri. Ia hendaknya tidak berusaha mengubah perilaku orang lain dalam waktu yang singkat. Mengubah prilaku seseorang akan membutuhkan waktu dan tenaga yang banyak.
Kiat mengubah pola pikir sendiri ini juga meneladani sikap Sang Buddha ketika Beliau bermeditasi dengan disiplin tinggi selama enam tahun lamanya. Tujuan tunggal Beliau adalah untuk mengatasi ketidakkekalan dalam kehidupan ini yaitu adanya kesakitan, ketuaan dan kematian. Namun, akhirnya Beliau menyadari bahwa manusia tidak bisa mengubah hukum alam, manusia hanya bisa mengubah pola pikirnya sendiri sehingga mampu melihat hukum alam yaitu ketidakkekalan ini sebagaimana adanya. Dengan menerima kenyataan ini, manusia akan bisa mempersiapkan batinnya untuk menghadapi perubahan.
Perubahan pola pikir ini dapat dicapai dalam banyak cara dari yang sederhana sampai dengan yang sangat rumit. Salah satu cara yang sederhana dan mudah dikerjakan adalah dengan selalu berusaha menanamkan dalam diri kita pemikiran: MEMANG dia demikian, bukannya KENAPA dia demikian?
Terdapat perbedaan yang sangat tajam antara kedua pola pikir tersebut. Dengan pola pikir ‘Kenapa dia demikian’, sesungguhnya fihak lain diharapkan dan bahkan dituntut untuk berubah dan ini tentu saja hal ini akan membutuhkan waktu serta tenaga yang besar, bahkan kadang tidak mungkin dapat diwujudkan. Dengan pola pikir ini, seseorang hanya dapat bergaul dengan orang yang bisa dikuasai dan dikendalikannya, namun, ia tidak akan pernah bisa bergaul dengan orang yang lebih tinggi tingkatannya atau orang yang sulit diatur. Dalam kehidupan sehari-hari, orang dengan pola pikir ini akan menjadi orang yang mudah mengeluh dan menuntut serta gampang putus asa.
Sedangkan dengan pola pikir ‘Memang dia demikian’ adalah sikap orang yang mau menerima kelebihan dan kekurangan orang lain. Orang dengan pola pikir inilah yang akan dengan mudah bergaul dengan orang lain. Ia akan mudah menyesuaikan diri. Ia tidak akan gampang mengeluh dan putus asa. Orang inilah yang akan sukses dalam hidupnya.
Oleh karena itu, marilah kita mulai dengan melaksanakan Dhamma secara sederhana ini. Karena dengan pelaksanaan ini akan menumbuhkan keberhasilan dalam pergaulan yang tentunya akan membuahkan kesuksesan dan kebahagiaan di segala bidang yang kita kerjakan dalam kehidupan kita sehari-hari.
Semoga pengertian Dhamma yang singkat ini dapatlah menjadi titik tolak penghayatan Dhamma yang lebih tinggi lagi, sehingga akhirnya tercapailah kebahagiaan dalam kehidupan ini, kebahagiaan setelah kehidupan ini, dan tentu saja, kebahagiaan yang tertinggi, yaitu Nibbana.
Semoga semua mahluk berbahagia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar