Oleh: Bhikkhu Uttamo
Adalah merupakan satu hal yang sangat membahagiakan kita semua,
bahwa perkembangan agama Buddha di Indonesia akhir – akhir
ini sangatlah pesat. Hal ini dapat dilihat dari
semakin banyaknya vihara yang dibangun lengkap dengan
segala sarana pendukungnya, semakin aktifnya umat
Buddha yang datang mengikuti kebaktian rutin maupun
temporer dan tentu saja, jumlah para pemuda yang
berkeinginan menjadi bhikkhu pun semakin bertambah.
Hanya saja, hendaknya kita jangan merasa terlalu
berbahagia pada perkembangan yang bersifat fisik semacam itu.
Ada hal yang hendaknya kita renungkan secara lebih mendalam
yaitu sudahkah kemajuan fisik ini dibarengi dengan
kemajuan yang bersifat batin juga? Karena
sesungguhnya faktor terpenting dalam Buddha Dhamma
adalah bagaimana seseorang dapat merasakan manfaat
Dhamma dalam kehidupannya setelah ia melaksanakan Ajaran
Sang Buddha tersebut dalam kehidupan sehari-hari.
Permasalahannya sekarang adalah Dhamma manakah
yang dapat dengan mudah dipraktekkan untuk para pemula. Pertanyaan
ini muncul karena telah sedemikian banyak buku Dhamma yang
dicetak dan disebarluaskan, sudah sedemikian banyak
kaset ceramah yang didengarkan, serta masih banyak
sarana pembabaran Dhamma yang relatif dapat dengan
mudah dijumpai dalam masyarakat, tetapi kesemuanya
itu seakan berdiri sendiri – sendiri tidak membentuk
urutan tahap kerangka berpikir yang bisa dijadikan pedoman pelaksanaan
Buddha Dhamma dalam kehidupan sehari-hari.
Melihat kenyataan dalam masyarakat itulah, maka
naskah ringkas ini disusun. Diharapkan, dengan membaca
naskah ini seseorang akan memperoleh, paling tidak, suatu alternatif
pedoman untuk melaksanakan Buddha Dhamma dalam
kehidupan sehari-hari.
Sesungguhnya, untuk mengawali pelaksanaan Dhamma
dalam kehidupan sehari-hari seseorang tidaklah membutuhkan teori
dan pengetahuan Dhamma yang banyak serta berbelit-belit.
Seseorang dapat memulainya dengan membaca Sigalovada
Sutta. Disebutkan dalam sutta ini, Sang Buddha ketika
berada di Rajagaha membabarkan tentang timbal balik
tugas dan kewajiban berbagai unsur masyarakat kepada
seorang pemuda bernama Sigala. Bentuk hubungan timbal
balik tugas dan kewajiban ini dilambangkan dengan arah mata
angin, yaitu:
-
Anak terhadap orangtua seperti arah Timur,
-
Murid terhadap para guru seperti arah Selatan,
-
Suami terhadap isteri seperti arah Barat,
-
Sahabat terhadap kawan-kawan seperti arah Utara,
-
Pimpinan terhadap para karyawan-karyawan seperti arah bawah, dan
-
Umat terhadap para guru agama serta brahmana seperti arah atas.
Namun, untuk menjaga agar naskah ini tetap
ringkas, keterangan rinci sutta tersebut bisa dibaca di banyak
sumber uraian Dhamma. Hanya saja, perlu ditunjukkan di sini
bahwa dengan memperhatikan dan menyimak isi sutta
tersebut sesungguhnya dapat ditarik kesimpulan umum
yaitu setiap orang dalam masyarakat pasti memiliki
tugas dan kewajibannya masing-masing pada saat
berhubungan dengan fihak lain. Hanya saja, dalam pelaksanaannya,
ada hal yang harus dipersiapkan yaitu pengendalian diri
kita. Tanpa adanya pengendalian dan penguasaan diri
sendiri, maka melaksanakan tugas dan kewajiban
seperti yang dinasehatkan oleh Sang Buddha tersebut
menjadi hal yang mustahil. Dalam perkembangannya,
pengendalian diri ini tidaklah mudah dilakukan. Manusia cenderung
memiliki keakuan yang tinggi. Kalau keakuan tidak dapat
dikuasai, maka ia tidak akan merasa lebih rendah
daripada orang lain. Dengan demikian, ia tidak merasa
memiliki kewajiban yang harus dilakukan kepada orang
lain. Ia hanya merasa memiliki hak bahwa orang lain
hendaknya melakukan kewajiban atasnya.
Menimbulkan serta meningkatkan perasaan rendah
hati yang merupakan hasil pengurangan dan pengendalian keakuan
ini kadang bisa dilakukan pada beberapa fihak tertentu, namun
sering tidak bisa dilaksanakan untuk semua fihak.
Padahal, kalau memperhatikan isi sutta Sang Buddha di
atas, kita bisa menyadari bahwa hak dan kewajiban
itu berlaku untuk semua fihak.
Kalaupun seseorang dapat bersifat rendah hati kepada semua fihak, malah ada yang memberikan ‘gelar’ kepadanya sebagai ‘orang bodoh yang baik hati’. Kalau demikian, bagaimanakah sikap kita yang seharusnya?
Kalaupun seseorang dapat bersifat rendah hati kepada semua fihak, malah ada yang memberikan ‘gelar’ kepadanya sebagai ‘orang bodoh yang baik hati’. Kalau demikian, bagaimanakah sikap kita yang seharusnya?
Untuk menyikapi hal ini, kita dapat menjadikan air
sebagai contoh yang nyata. Air akan selalu mampu menyesuaikan
bentuk menurut tempat yang mewadahinya. Air akan berbentuk
botol apabila dimasukkan ke dalam sebuah botol.
Demikian pula bentuknya akan berubah apabila air
dimasukkan ke dalam guci, tempayan, mangkok dan
lain-lain.
Namun, meskipun air selalu menyesuaikan dengan bentuk tempatnya, air tidak pernah kehilangan kualitas pokoknya. Air bunga yang harum akan tetap harum walau berbentuk apapun juga sesuai dengan tempat yang mewadahinya.
Namun, meskipun air selalu menyesuaikan dengan bentuk tempatnya, air tidak pernah kehilangan kualitas pokoknya. Air bunga yang harum akan tetap harum walau berbentuk apapun juga sesuai dengan tempat yang mewadahinya.
Sesungguhnya seperti sifat air tersebut, seseorang
dalam kehidupan sehari-hari hendaknya selalu dapat menyesuaikan
diri dengan lingkungannya tanpa mengubah jati dirinya pula.
Cara seseorang untuk mencapai tahap ini adalah dengan
selalu berusaha menerima serta memahami bahwa setiap
orang memiliki kelebihan dan kekurangannya
masing-masing dengan mengubah pola pikir sendiri. Ia
hendaknya tidak berusaha mengubah perilaku orang lain
dalam waktu yang singkat. Mengubah prilaku seseorang
akan membutuhkan waktu dan tenaga yang banyak.
Kiat mengubah pola pikir sendiri ini juga meneladani sikap Sang Buddha ketika Beliau bermeditasi dengan disiplin tinggi selama enam tahun lamanya. Tujuan tunggal Beliau adalah untuk mengatasi ketidakkekalan dalam kehidupan ini yaitu adanya kesakitan, ketuaan dan kematian. Namun, akhirnya Beliau menyadari bahwa manusia tidak bisa mengubah hukum alam, manusia hanya bisa mengubah pola pikirnya sendiri sehingga mampu melihat hukum alam yaitu ketidakkekalan ini sebagaimana adanya. Dengan menerima kenyataan ini, manusia akan bisa mempersiapkan batinnya untuk menghadapi perubahan.
Perubahan pola pikir ini dapat dicapai dalam banyak cara dari yang sederhana sampai dengan yang sangat rumit. Salah satu cara yang sederhana dan mudah dikerjakan adalah dengan selalu berusaha menanamkan dalam diri kita pemikiran: MEMANG dia demikian, bukannya KENAPA dia demikian?
Kiat mengubah pola pikir sendiri ini juga meneladani sikap Sang Buddha ketika Beliau bermeditasi dengan disiplin tinggi selama enam tahun lamanya. Tujuan tunggal Beliau adalah untuk mengatasi ketidakkekalan dalam kehidupan ini yaitu adanya kesakitan, ketuaan dan kematian. Namun, akhirnya Beliau menyadari bahwa manusia tidak bisa mengubah hukum alam, manusia hanya bisa mengubah pola pikirnya sendiri sehingga mampu melihat hukum alam yaitu ketidakkekalan ini sebagaimana adanya. Dengan menerima kenyataan ini, manusia akan bisa mempersiapkan batinnya untuk menghadapi perubahan.
Perubahan pola pikir ini dapat dicapai dalam banyak cara dari yang sederhana sampai dengan yang sangat rumit. Salah satu cara yang sederhana dan mudah dikerjakan adalah dengan selalu berusaha menanamkan dalam diri kita pemikiran: MEMANG dia demikian, bukannya KENAPA dia demikian?
Terdapat perbedaan yang sangat tajam antara kedua
pola pikir tersebut. Dengan pola pikir ‘Kenapa dia demikian’,
sesungguhnya fihak lain diharapkan dan bahkan dituntut untuk
berubah dan ini tentu saja hal ini akan membutuhkan
waktu serta tenaga yang besar, bahkan kadang tidak
mungkin dapat diwujudkan. Dengan pola pikir ini,
seseorang hanya dapat bergaul dengan orang yang bisa
dikuasai dan dikendalikannya, namun, ia tidak akan
pernah bisa bergaul dengan orang yang lebih tinggi tingkatannya
atau orang yang sulit diatur. Dalam kehidupan sehari-hari,
orang dengan pola pikir ini akan menjadi orang yang
mudah mengeluh dan menuntut serta gampang putus asa.
Sedangkan dengan pola pikir ‘Memang dia demikian’ adalah sikap orang yang mau menerima kelebihan dan kekurangan orang lain. Orang dengan pola pikir inilah yang akan dengan mudah bergaul dengan orang lain. Ia akan mudah menyesuaikan diri. Ia tidak akan gampang mengeluh dan putus asa. Orang inilah yang akan sukses dalam hidupnya.
Sedangkan dengan pola pikir ‘Memang dia demikian’ adalah sikap orang yang mau menerima kelebihan dan kekurangan orang lain. Orang dengan pola pikir inilah yang akan dengan mudah bergaul dengan orang lain. Ia akan mudah menyesuaikan diri. Ia tidak akan gampang mengeluh dan putus asa. Orang inilah yang akan sukses dalam hidupnya.
Oleh karena itu, marilah kita mulai dengan
melaksanakan Dhamma secara sederhana ini. Karena dengan pelaksanaan
ini akan menumbuhkan keberhasilan dalam pergaulan yang
tentunya akan membuahkan kesuksesan dan kebahagiaan
di segala bidang yang kita kerjakan dalam kehidupan
kita sehari-hari.
Semoga pengertian Dhamma yang singkat ini dapatlah
menjadi titik tolak penghayatan Dhamma yang lebih tinggi lagi,
sehingga akhirnya tercapailah kebahagiaan dalam kehidupan
ini, kebahagiaan setelah kehidupan ini, dan tentu
saja, kebahagiaan yang tertinggi, yaitu Nibbana.
Semoga semua mahluk berbahagia.
Semoga semua mahluk berbahagia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar