Benarkah Stephen Hawking di kutuk Tuhan?
Kaum agamawan umumnya suka memakai contoh diri Stephen Hawking sebagai seorang ateis yang kena kutuk Tuhan.
Kata kaum agamawan, Lihatlah, barangsiapa ateis, dia akan terkena kutuk Tuhan, seperti diri Stephen Hawking yang dibuat lumpuh total.
Apa komentar saya terhadap kaum agamawan yang berpendapat demikian tentang diri Stephen Hawking?
Pertama,
jika Stephen Hawking jadi lumpuh total karena dia dikutuk Tuhan, karena dia ateis, maka betapa kejamnya Allah kaum agamawan.
Jika anda membutuhkan teologi tentang Allah yang kejam, ingatlah bahwa teologi anda adalah juga psikologi anda yang sebenarnya:
anda sendirilah yang sebenarnya berjiwa kejam, bukan Allah manapun.
Kedua,
meskipun tubuhnya lumpuh total karena serangan berkelanjutan penyakit neurone motoris yang berhubungan dengan penyakit sclerosis lateral amyotrofik (ALS) sejak dia berusia 21 tahun, semangat hidupnya tak mati dan pikirannya tak lumpuh.
Kenyataan seperti itu pada diri Stephen Hawking menunjukkan dia tidak dikalahkan oleh Allah kaum agamawan yang kata mereka telah mengutuknya.
Bahwa Hawking terkena sakit semacam ini, memperlihatkan dirinya sama dengan manusia lain, bisa terkena penyakit, bukan karena dia berdosa terhadap Tuhan apapun.
Ketiga,
dalam kenyataannya Stephen Hawking, meskipun lumpuh, lebih hebat dan lebih berprestasi dibandingkan anda yang sehat jasmaniah.
Meskipun dia lumpuh total secara bertahap, sekian buku berkualitas best seller telah ditulisnya lewat pikirannya yang brillian.
Teknologi modern telah membantu Stephen Hawking melampaui kelumpuhannya dan tetap produktif menulis.
Bagaimana dengan anda kaum agamawan yang suka melecehkannya?
Saya membayangkan, kalau anda yang menjadi Stephen Hawking, mungkin sekali anda telah lama memutuskan untuk melakukan euthanasia, yakni memilih mati dengan disengaja sebagai pilihan terbaik ketimbang menanggung penderitaan berat dalam jangka waktu yang panjang.
Pendek kata, bagi saya, Stephen Hawking lebih sehat dari orang sehat, lebih hidup dari orang hidup.
Dan saya sangat mengaguminya.
Kaum agamawan suka sekali mengutip pernyataan Albert Einstein bahwa
“sains tanpa agama lumpuh, dan agama tanpa sains buta”.
Sehabis mengutipnya, mereka langsung berkata, Lihatlah Einstein itu saintis yang saleh, maka itu hidupnya lurus, sehat dan bugar, tak seperti Stephen Hawking yang lumpuh.
Malah ada agamawan yang sangat eksentrik sampai bisa menyatakan bahwa Einstein adalah seorang Muslim syi’ah yang hidupnya diberkati Allah.
Pada sisi lain, banyak juga orang Kristen evangelikal menyatakan bahwa Einstein adalah seorang Kristen saleh yang hidupnya diperkenan dan diberkati Yesus.
Kaum agamawan Buddhis juga mengklaim bahwa Einstein pernah menyatakan Buddhisme non-theis adalah agama yang sejalan dengan sains modern.
Harus diakui bahwa Einstein melihat kemungkinan Buddhisme adalah agama yang paling akomodatif terhadap sains modern setelah sang saintis hebat ini membaca tentang Buddhisme lewat tulisan-tulisan Schopenhauer.
Tulis Einstein,
“Jika ada agama yang dapat berhadapan dengan kebutuhan-kebutuhan saintifik modern, agama ini adalah Buddhisme”
Juga,
“Buddhisme, sebagaimana kami telah pelajari dari tulisan-tulisan hebat Schopenhauer, berisi jauh lebih kuat elemen-elemen perasaan keagamaan kosmik.”
Rupanya kaum agamawan berkepentingan untuk menarik Einstein ke kubu agama mereka masing-masing dan memanfaatkannya.
Pertanyaan pentingnya adalah apakah Einstein seorang saintis yang beragama.
Kalau kita telusuri tulisan-tulisan Einstein tentang Allah dan agama, kita harus simpulkan bahwa Einstein adalah seorang ateis, tidak percaya pada Allah yang diberitakan agama-agama monoteistik, termasuk Allah bangsa Yahudi, bangsanya sendiri.
Kalau Einstein memunculkan kata Allah dalam tulisan-tulisannya, kata ini diberi makna metaforis olehnya, bukan makna ontologis.
Umumnya memang begitu:
Kalau seorang saintis ateis memakai kata Allah, kata ini bermakna metaforis, tak bermakna literal.
Kalau Einstein berkata-kata tentang Allah, bagi dia Allah adalah struktur kosmologis yang sangat mempesonanya, yang diatur hukum-hukum kosmologis.
Einstein dengan tegas menolak untuk percaya pada suatu Allah personal yang diberitakan tiga agama monoteistik, Yahudi, Kristen dan Islam.
“Tentu saja suatu dusta jika anda membaca tentang keyakinan-keyakinan keagamaan saya, suatu kebohongan yang dengan sistimatis diulang-ulang.
Saya tidak percaya pada suatu Allah personal dan saya tidak pernah menyangkali hal ini tetapi telah mengungkapkannya dengan jelas.
Jika ada sesuatu dalam diri saya yang dapat disebut religius, maka ini adalah suatu kekaguman tanpa batas terhadap struktur dunia yang sejauh ini sains dapat menyibaknya.” (Albert Einstein, The Human Side, 1954, disunting oleh Helen Dukas dan Banesh Hoffman, Princeton University Press)
“Saya tidak pernah mengenakan pada Alam suatu maksud dan tujuan, atau apapun yang dapat dipahami sebagai antropomorfisme.
Apa yang saya lihat dalam Alam adalah suatu struktur yang menakjubkan, yang dapat kita pahami hanya dengan sangat tidak sempurna, dan hal itu harus mengisi seorang pemikir dengan suatu perasaan kerendahan hati.
Ini adalah suatu perasaan religius murni yang tidak ada hubungannya dengan mistisisme.”
(Albert Einstein)
Apa yang dimaksud dengan
“religius”
oleh Einstein, sangat tak terduga dalam pikiran kaum agamawan, karena sang saintis ini menyatukan religiositas dengan nalar. Einstein menulis,
“Melalui hikmat dan pemahaman, manusia mendapatkan pembebasan yang berjangkauan luas dari segala belenggu pengharapan dan hasrat pribadi, dan dengan itu mereka memperoleh sikap dan perilaku pikiran yang penuh kerendahan hati terhadap keakbaran Nalar yang mewujud dalam kehidupan, dan yang, sedalam-dalamnya, dapat dimasuki manusia.
Sikap dan perilaku akal budi yang rendah hati inilah yang tampak bagiku religius, dalam arti setinggi-tingginya kata ini….
Semakin jauh perkembangan evolusi spiritual manusia, semakin pasti bagiku bahwa jalan menuju religiositas yang murni tidak terletak pada ketakutan akan kehidupan atau ketakutan akan kematian dan iman yang membuta, melainkan pada usaha keras untuk mendapatkan pengetahuan rasional.”
Kalau Einstein menyatakan bahwa
“Allah tidak sedang bermain dadu”,
Allah dalam pernyataannya ini adalah hukum-hukum sains yang deterministik.
Tentang determinisme saintifik, dalam jawabannya terhadap pertanyaan seorang anak apakah Einstein sebagai seorang saintis berdoa, Einstein menulis,
“Pengkajian saintifik didasarkan pada ide bahwa segala sesuatu yang sedang terjadi ditentukan oleh hukum-hukum Alam, dan dengan demikian determinisme ini juga berlaku bagi setiap tindakan manusia.
Karena itulah, seorang saintis peneliti hampir-hampir tidak bisa percaya bahwa kejadian-kejadian dalam jagat raya ini dapat dipengaruhi oleh sebuah doa, yakni oleh suatu permintaan yang ditujukan kepada suatu Oknum Adikodrati.”
“Aku tidak dapat membayangkan suatu Allah personal yang langsung mempengaruhi tindakan-tindakan orang per orangan, atau secara langsung duduk mengadili semua ciptaan yang telah dibuatnya sendiri.
Aku tak dapat membayangkan semua ini kendatipun kausalitas mekanistik (/deterministik) dalam batas tertentu telah diragukan oleh sains modern
[Dalam hal ini, yang Einstein maksudkan adalah mekanika Quantum yang telah menghancurkan determinisme saintifik].”
Begitu juga, kalau Einstein menyatakan
“sains tanpa agama lumpuh, dan agama tanpa sains buta”
(Albert Einstein, 1941),
dia tidak sedang membela agama-agama monoteistik atau menyamakan sains dan agama atau sebaliknya. Kalau Einstein menulis tentang Allah/agama, baginya Allah/agama adalah daya pesona yang muncul dari struktur kosmologis yang taat pada hukum-hukum sains, sejauh hukum-hukum ini sudah dapat dipahami. Dalam banyak segi, Allah dalam pandangan Einstein sejalan dengan Allah dalam pandangan Baruch de Spinoza, Allah sebagai hukum-hukum sains. Tulis Einstein,
“Aku percaya pada Allah Spinoza yang mewahyukan diri dalam harmoni dan keteraturan segala yang ada, bukan pada Allah yang sibuk mengurusi nasib dan tindakan manusia.”
Dus, dalam dunia sains, ada dua metafora tentang Allah, yakni Allah Baruch de Spinoza dan Allah Einstein, yakni hukum-hukum kosmologis yang menatastrukturkan jagat raya dengan sangat menakjubkan dan deterministik dan belum terpahami semuanya.
Kalaupun Einstein mempunyai visi tentang suatu agama masa depan, agama ini dirumuskannya demikian:
“Agama masa depan akan berupa suatu agama kosmik.
Agama ini harus melampaui Allah personal dan menghindari dogma dan teologi.
Mencakup baik yang natural maupun yang spiritual, agama ini harus didasarkan pada suatu perasaan keagamaan yang muncul dari pengalaman bahwa segala sesuatu yang alamiah dan yang spiritual ada dalam suatu kesatuan yang bermakna.
Buddhisme menjawab gambaran tentang agama yang demikian.
Jika ada agama apapun yang dapat berhadapan dengan kebutuhan-kebutuhan saintifik modern, agama ini adalah Buddhisme.”
Sekalipun Einstein berbicara tentang hal-hal yang spiritual, sang saintis ini tidak percaya bahwa manusia memiliki roh yang akan meninggalkan tubuh ketika manusia mati. Tulisnya,
“Aku tidak dapat membayangkan suatu Allah yang memberi pahala dan yang menghukum objek-objek ciptaannya, yang memiliki tujuan-tujuan yang disusun berdasarkan model dari kita sendiri, suatu Allah, pendek kata, yang hanya merupakan suatu cerminan kelemahan moral manusia.
Aku juga tidak dapat percaya bahwa kita orang per orangan akan bertahan, meninggalkan tubuh kita, setelah kematian, kendatipun jiwa-jiwa yang ringkih memegang pikiran-pikiran semacam itu karena rasa takut atau karena egotisme yang memalukan”
(Albert Einstein, obituary dalam New York Times, April 19, 1955)
Lagi, tulis Einstein,
“Aku tak dapat membayangkan suatu Allah yang memberi pahala dan menghukum ciptaan-ciptaannya, atau yang memiliki kehendak semacam itu yang kita alami dalam diri kita sendiri.
Juga aku tidak dapat atau tidak ingin membayangkan bahwa seorang manusia akan bertahan setelah kematian tubuh jasmaniahnya;
biarlah jiwa-jiwa yang ringkih, karena rasa takut atau karena egotisme yang tak masuk akal, berharap pada pemikiran semacam itu.
Aku puas dengan misteri keabadian kehidupan, bersama dengan kesadaran dan penglihatan sekilas atas struktur yang menakjubkan dari dunia yang sekarang ada, bersama dengan usaha yang serius untuk memahami Nalar sebagian saja, sekalipun sangat sedikit, yang menyatakan dirinya sendiri dalam alam.”
Lagi,
“Aku tidak percaya pada keabadian seorang manusia individual, dan aku memandang etika sepenuhnya adalah perkara manusia tanpa ditopang oleh suatu otoritas adiinsani di baliknya.”
Jelaslah, etika atau moralitas yang diperlukan manusia untuk mengatur masyarakat, bagi Einstein, bukanlah moralitas yang bersumber pada agama, melainkan, tulisnya,
“Perilaku moral manusia harus dilandaskan secara efektif pada simpati, pendidikan, dan kebutuhan-kebutuhan serta ikatan-ikatan sosial; untuk moralitas, basis keagamaan tidak diperlukan.
Sesungguhnya betapa malangnya manusia jika tindakan-tindakan moralnya dikendalikan oleh ketakutan akan penghukuman dan pengharapan akan mendapatkan pahala setelah kematian.”
(Albert Einstein, “Religion and Science” dalam New York Time Magazine, November 9, 1930)
Juga tulis Einstein,
“Fondasi moralitas haruslah tidak dibuat bergantung pada mitos atau diikatkan pada otoritas apapun supaya keraguan atas mitos itu atau keraguan akan legitimasi otoritas itu tidak membahayakan fondasi yang berupa pertimbangan dan tindakan yang matang.”
Dan lagi,
“Tidak ada yang ilahi pada moralitas; melainkan moralitas itu sepenuhnya adalah urusan manusia.”
Jadi, hai kaum agamawan, janganlah kalian, ringkas kata, mengagamakan Einstein atau berusaha menariknya ke kubu kalian.
Let Einstein be Einstein.
Let science be science.
Semoga Semua Makhluk Berbahagia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar