HUBUNGAN ANTARA AGAMA BUDDHA DAN
ILMU PENGETAHUAN MODERN
ILMU PENGETAHUAN MODERN
0leh:
Robert F. Spencer
Robert F. Spencer
Tidak akan ada yang mempermasalahkannya, kiranya, kecuali oleh
ilmu pengetahuan itu sendiri, kalau dikatakan bahwa Agama
Buddha itu merupakan suatu sistem, yang mempunyai
pandangan yang objektif dan mandiri, mengenai sifat
dan tujuan kehidupan manusia. Sifat objektivitasnya
yang menonjol dari Agama Buddha, itu menyebabkan
sistem Agama Buddha itu memisah dari Alam Agama, dan sekaligus
mengakibatkan Agama Buddha lalu menggabung dengan jenis
penyelidikan ilmiah yang berusaha untuk mencari
Kenyataan (=Truth), yang mencirikan India pada zaman
Gupta, dan periode-periode awal lainnya dari
peradaban India, yang memungkinkan sekarang ini,
sebagian besar para cendekiawan dari dunia intellektual, -baik
di Dunia Timur, maupun di Dunia Barat-, terdorong untuk sibuk
memperkembangkan ilmu pengetahuan yang bertujuan untuk mencapai
Kenyataan-Kenyataan tersebut. Penulis dapat memahami pendapat
seseorang (walaupun pendapat itu tidak benar), yang
mengatakan bahwa Agama
Buddha itu memiliki sifat-sifat tersendiri, yang agak
berbeda sifatnya dengan sifat-sifat yang terdapat pada
Agama-Agama lain; Agama Buddha itu merupakan suatu sistem yang
dapat dipergunakan untuk menghayati dan mencapai tujuan
didalam hidup dan kehidupan di dunia, yang
dilingkungi oleh kesukaran-kesukaran dan yang penuh
berisi penderitaan-penderitaan itu.
Saya juga dapat
memahami pendapat seseorang (walaupun, sekali lagi, pendapatnya
itu tidak benar), yang mengatakan bahwa Agama Buddha itu
sepintas nampak seperti bukan Agama-Agama lainnya;
saya katakan bahwa saya dapat memahami pendapat yang
demikian itu, karena pendapat tersebut merupakan
kesimpulan dari penilaian yang mendefinisikan Agama
sebagai suatu pengalaman mystic, dan para penganut Aliran
dari Agama Buddha tertentu, ada yang cenderung kurang tertarik
perhatiannya kepada hal-hal yang bersifat mystic, yang
katanya dapat menimbulkan gejolak perasaan tertentu,
yang dinilai kurang positif. Alasan yang mengeritik
Agama Buddha sifatnya agak berbeda dengan Agama-Agama
lain, ialah karena Agama Buddha itu kurang begitu
menggaris-bawahi kepercayaan mengenai sesuatu, apabila
yang dipercayai itu, merupakan sesuatu yang benar-benar sukar
diketahui, atau bahkan bersifat tidak dapat diketahui oleh
akal manusia, serta menolak dogmatisme. Yang saya
sebutkan terakhir tadi, memang merupakan sesuatu yang
mendorong lajunya perkembangan umat Buddha sendiri
di Negara-Negara Buddhis, namun kiranya tidak ada
penyelidik Agama Buddha yang menganggapnya sebagai
pertumbuhan yang berlebihan, yang sia-sia, dan menyimpang dari
konsepsi Dharma, yang bersifat ilmiah, dari Pendirinya.
Artikel ini memegang teguh pendapat bahwa Agama
Buddha sebagai suatu sistem, itu dapat dibandingkan
dengan kegiatan-kegiatan ilmiah yang dilakukan oleh
para ilmuwan, karena memiki kesamaan-kesamaan yang
besar.
Tetapi, juga terdapat perbedaan-perbedaan antara sistem Agama
Buddha dan sistem Ilmu Pengetahuan : Sang Pemikir Buddhis
itu memiliki kejernihan cara berfikir, sejernih
tujuan-tujuannya: apabila Sang Pemikir Buddhis itu
mempergunakan ilmu pengetahuan dan
methode-methodenya, dia dalam mempergunakan sistem ilmu
pengetahuan itu sadar bahwa ilmu pengetahuan itu hanyalah merupakan
alat untuk mencapai tujuan, dan bukan merupakan tujuan
itu sendiri. Dengan kata lain, umat Buddha melihat
didalam ilmu pengetahuan itu, refleksi, atau
pencerminan, mengenai prinsip-prinsip yang pernah
diungkapkan oleh Sang Buddha, dan bahwa prinsip-prinsip
yang terdapat didalam ilmu pengetahuan itu hanyalah merupakan
ungkapan ulang saja, dari ungkapan-ungkapan yang pernah
dikemukakan oleh Sang Buddha, yang pada zamannya Sang
Buddha, hal-hal seperti yang terdapat didalam
methodologi ilmiah, itu tidak pernah dianggap mutlak,
seperti anggapan banyak ilmuwan sekarang. Sejak zaman
sekarang ini, dunia tidak terpisah dari methode-methode ilmu
pengetahuan; dalam hal ini, kita hanya akan mengemukakan
catatan kita, yaitu betapa sangat bersesuaiannya ilmu
pengetahuan itu dengan sistem Agama Buddha, yang
telah didirikan oleh Sang Buddha, dua ribu lima ratus
tahun yang lampau, di India. Pencapaian-pencapaian
ilmu pengetahuan modern hanyalah merupakan pemberi tambahan
perspektif terhadap konsep-konsep yang telah ada di zamannya
Sang Buddha, yaitu misalnya konsep tidak tetapnya dari
segala sesuatu, mengenai kwalitas yang bersifat
illusi atau khayalan, dan mengenai konsep anatman,
dan sebagainya, yang telah dikemukakan lama sebelum
abad yang sekarang ini. Sebagai tujuan itu sendiri,
memang ilmu pengetahuan itu berkemungkinan mampu memecahkan
problema-problema yang nyata-nyata dihadapi, misalnya mampu
memberikan makan bagi semua penduduk bumi yang makin lama
makin bertambah banyak, mampu membuat makin
panjangnya umur manusia, tetapi juga makin mampu
memberikan sarana-sarana yang effektif untuk
menghancurkan kehidupan. Jika kita tinjau, sekarang ini,
ilmu pengetahuan itu tidaklah lebih dari suatu methode yang
membuat orang-orang mengkultuskannya, yang menjadi sumber
jawaban untuk mengatasi problema-problema; sedang
pertanyaan-pertanyaan yang sifatnya hakiki, misalnya
mengenai tujuan manusia, mendapat tempat yang bukan
yang paling utama. Nampak terdapat kecenderungan di
kalangan para ilmuwan, yang menjadikan ilmu pengetahuan itu
sebagai dogma, dengan maksud untuk menyisihkan perasaan-perasaan
atau sikap-sikap keagamaan, agar tidak mencampuri
kegiatan-kegiatan penyelidikan ilmiahnya. Yang
demikian itu terjadi pada beberapa bentuk sekte
Hinduisme kuno; mereka mencoba mencari keterangan
mengenai Alam Semesta, dengan mempergunakan theori atom, sebagai
sarananya, betapa pun cukup tepat konsepsi-konsepsinya; juga
dapat kita temui keterangan bahwa para Brahmana di
India, di masa-masa yang lampau, itu telah mencoba
menghentikan, atau melenyapkan kematian, untuk
mencapai keselamatan manusia, yang mungkin dapat kita
katakan : mereka itu mencoba berkecimpung didalam
aktivitas yang sifatnya ilmiah. Sekalipun demikian,
pada masa yang sekarang ini pun, keadaannya tidak berbeda, didalam
kenyataannya, tujuan-tujuan ilmiahnya dari para ilmuwan,
di dunia sekarang ini, walaupun terwarnai pula oleh
sifat spiritual, tetapi lebih banyak terwarnai sifat
materialisticnya.
Methode ilmu pengetahuan itu, terutama berisi perumusan suatu
hypothesa: pengetesan hypothesa tersebut, dan pernyataan,
atau penyampaian hypothesa baru, atas dasar
pengetahuan yang dicapai dengan eksperimen-eksperimen
yang telah dilaksanakan. Sang Buddha telah
mengadakan eksperimen-eksperimen dengan idea-idea, tidak
dengan benda-benda, -beliau telah mempergunakan kehidupan manusia
yang penuh tempaan-tempaan kehidupan ini, untuk
mengukur pengalaman-pengalaman manusia, untuk ditarik
kesimpulannya, sebagai jawaban yang dapat memecahkan
persoalan, atau melenyapkan penderitaan-penderitaan
manusia, setelah masalah-masalahnya dikaji dengan penganalisaan
yang paralel dengan cara kerja para ilmuwan.
Ilmu pengetahuan itu dicirikan oleh sifatnya yang “teguh
pendirian”, apabila sesuatu itu telah dikaji secara ilmiah
dan tuntas, serta telah dinyatakan bahwa itu benar, sukar
menarik kembali pernyataannya. Penyelidikan terhadap
kenyataan (= atau Kasunyataan = Truth) itu tidak
selalu mudah dilaksanakan, juga tidak selalu bersifat
menyenangkan. Dikatakan juga bahwa Kenyataan itu
dapat bersifat menyakitkan hati. Walaupun demikian, tetapi
tetap bersifat benar, tetap merupakan kenyataan di mata siapa
pun. Dapatkah kami tambahkan bahwa Buddhisme yang aseli,
itu menawarkan suatu usaha, sesuatu usaha yang
membuahkan hasil yang baik, yaitu agar setelah
menemukannya, mau mempertahankannya dan melihatnya
secara objektif. Bagi kita semua, yang hidup di dunia
ini, yang semuanya memang mencari kesempatan untuk
menghayati saat-saat dapat bebas, walaupun sementara saja, dari
terkena hukuman, untuk bebas dari terkena
kecemasan-kecemasan; pendek kata, untuk mencapai apa
yang kita namai kebahagiaan, yang oleh Sang Buddha
mengenai masalah kebahagiaan itu, bersabda sebagai
berikut : “Baiklah, anda ingin mencapai kebahagiaan,
tetapi ingatlah bahwa penghayatan kebahagiaan itu tidak berlangsung
secara abadi; hari ini anda dapat merasa berbahagia,
tetapi itu sifatnya tidak tetap!”. Sama seperti bahwa
ilmu pengetahuan itu berusaha untuk mendefinisikan
jawabannya secara objektif, tanpa terwarnai oleh
emosi, demikian juga Agama Buddha itu membidik
sasarannya dengan setepat-tepatnya, bebas dari stress emosional,
– tekanan perasaan -, dan memberikan informasi kepada kita
secara ringkas sifat yang sebenarnya dari sesuatu
itu. Dapat saja kita tidak bersikap yang demikian
itu, dan mungkin kita bersikap “teguh pendirian” dan
akan melaksanakannya tidak hanya dalam kata-kata
saja; tetapi sampai sejauh mana kata-katanya itu,
menjadi perbuatan yang nyata, masih harus dibuktikan.
Suatu contoh mengenai ciri “keras-kepala-nya” ilmu
pengetahuan, yang juga segaris dengan yang diperkembangkan oleh
umat Buddha, nampak didalam konsep karma. Bukankah hukum
karma itu merupakan konsep dari Agama Buddha, yang
sifatnva sederhana, namun lebih bersifat ilmiah!?!.
Apabila orang memilih istilah lain, yang lebih nampak
sebagai suatu kepercayaan, adalah prinsip samsara.
Apabila kita tinjau secara objektif mengenai
kehidupan-kehidupan di masa-masa kelahiran sebelum yang sekarang
ini, baik kita tinjau sebagai berada didalam bidang waktu
dan ruang, masalah samsara (atau reinkarnasi, atau
tumimbal lahir), itu masih merupakan hal yang
memerlukan keterangan-keterangan sejelas-jelasnya
(walaupun itu adalah merupakan suatu kenyataan, dan
tidak perlu diragukan akan kebenarannya!). Yang merupakan
pembicaraan yang penuh arti, adalah bahwa “Diri saya”
yang sekarang ini, tidaklah sama dengan “Diri saya”
kemarin, tidak sama dengan keadaan satu tahun yang lampau, atau
bahkan tidak sama dengan beberapa saat yang lalu.
Walaupun tidak nampak dengan mata, namun “Ego” kita
(= “Diri” kita), itu telah mengalami perubahan, wujud
badan jasmani kita, itu dari satu saat ke saat
berikutnya, keadaannya tidak sama. Pula, bahwa
“Penghayatan Ke-Aku-an” dari individu, yang memiliki
kemauan dan kebebasan ber-kehendak, itu dapat berbuat
sesuatu, dan memang selalu berbuat sesuatu. Sesuatu
perbuatan itu di-pra-kondisi-kan oleh perbuatan- perbuatan yang
mendahuluinya. Perbuatan yang dilakukan sekarang ini,
mempunyai effek-effek, atau akibat-akibat, untuk
besok paginya, memiliki akibat-akibat di masa yang
akan datang, di bidang perbuatan dan fikiran. Penulis
artikel ini, berpendapat bahwa itulah yang dinamai
prinsip-prinsip karma dengan applikasinya. Itu sifat
ilmiah, disitu tidak ada sesuatu yang kita namai esoteric, –
keajaiban-keajaiban yang bersifat batiniah.
Sudah sangat banyak dikemukakan orang mengenai hubungan antara
Agama Buddha dan ilmu-ilmu pengetahuan alam, namun kiranya
disini perlu juga saya sajikan uraiannya, asal tidak
sampai ke hal-hal yang sekecil-kecilnya. Sifat dari
zat, sifat dari realitas physik, problema-problema
mengenai ruang dan waktu, semuanya telah terdapat
secara implicit didalam ajaran-ajaran Sang Buddha. Penulis artikel
ini harus mengakui bahwa Sang Buddha itu tidak acuh tak
acuh terhadap hubungan-hubungan yang bersifat mystic
yang demikian itu, sama seperti bahwa beliau juga
tidak acuh tak acuh terhadap hubungan antara jiwa (=
mind) dan zat (= matter). Perhatian Sang Buddha
terutama terletak didalam hubungan antara Agama
Buddha dengan ilmu-ilmu pengetahuan sosial, yang merupakan bidang
yang sangat luas, untuk memahami hubungan antara manusia
dengan manusia, dan tidak antara atom dengan alam
semesta yang tidak dihuni oleh makhluk.
Didalam ilmu-ilmu pengetahuan sosial, sebagai misalnya anthropology
dan sociology, usaha yang dilakukan orang, adalah
memahami bagaimana orang-orang itu bertingkah-laku
didalam kelompok, dan mengapa mereka itu
bertingkah-laku yang demikian itu. Suatu aspek hubungan
(yang sama), kita lihat juga pada ilmu ekonomi, dan ilmu politik.
Masih dapat kita teruskan uraiannya, dengan menambahkan
lagi dengan suatu disiplin ilmu pengetahuan, yang
meng-evaluasi individu, yaitu psychology, atau ilmu
jiwa. Didalam semua lapangan yang disebutkan dimuka
tadi, orang dapat mengambil kesimpulan bahwa terdapat
sesuatu yang maha penting, ialah : bahwa manusia itu
bertingkah-laku, karena telah mengalami keadaan dipersyarati,
– yang oleh ahli anthropology dikatakan karena terkena
pengaruh warisan-warisan kebudayaan. Kita dapat
memahami pendapat orang-orang, yaitu bahwa kita dapat
menganggapnya sesuatu tingkah-laku itu benar dan
baik, sedang orang-orang lain (yang lain kebudayaannya
dengan kebudayaan kita) mungkin menganggap itu sama sekali salah
dan tidak baik. Ilmu-ilmu pengetahuan sosial itu mengajar
kepada kita mengenai sifat relativisme-nya dari
tingkah-laku manusia.
Seandainya kita dapat menerima pendapat bahwa tingkah-laku
manusia itu bersifat relative, maka sebagai akibat selanjutnya,
adalah bahwa tidak ada konsep-konsep mengenai
kebaikan atau kejahatan, yang mutlak. Memanglah,
bahwa kebaikan dan kejahatan, itu sifatnya sangat
relative. Sebagai seorang yang telah terlatih di
bidang ilmu-ilmu pengetahuan sosial, yang telah memperoleh
informasi-informasi mengenai cara kehidupan bangsa-bangsa di
Dunia, yang berbeda-beda itu, penulis artikel ini dapat
menerima pendapat yang demikian itu (bahwa
tingkah-laku manusia itu bersifat relative). Namun,
hanya didalam ajaran Agama Buddha sajalah, yang
beberapa dari konsep-konsep yang kacau, itu telah disusun
kembali menjadi berkeadaan teratur. Coba, silahkanlah memperhatikan
kenyataan bahwa Sang Buddha itu tidak pernah
bersabda : “Janganlah anda…..”. Sang Buddha
mengatakan bahwa adalah merupakan suatu idea yang
bagus untuk menghindari jenis-jenis tingkah-laku
tertentu, dan beliau juga memberikan sejumlah ajaran-ajaran,
yang seluruhnya bersifat positif, terhadap para pengikut beliau.
Agama Buddha itu ajaran-ajarannya dapat diterapkan
bagi siapa saja, tanpa memandang latar belakang,
kepercayaan, sistem ekonomi atau sistem politik, yang
dianut seseorang. Yang diajarkan Sang Buddha
tidaklah lain adalah kegiatan untuk mengembalikan lagi
keseimbangan pada diri orang-orang. Bahkan lebih dari itu, Sang
Buddha selalu mengharapkan agar pada diri orang-orang
senantiasa berkeadaan seimbang kepribadiannya, sesuai
dengan sudut pandangan Agama Buddha. Untuk menyadari
konsep, atau ajaran anicca, jelas tidak
perlu kita permasalahkan, itu adalah merupakan ajaran
yang sangat berguna bagi semua orang.
Tetapi umat Buddha itu dapat menolong dirinya sendiri, dalam
hal pencapaian tujuan-tujuannya, dengan menyadari dan
mengikuti objektivitasnya para sarjana ilmu
pengetahuan sosial. Dalam hal ini, yang saya
maksudkan adalah bahwa para sarjana ilmu pengetahuan
sosial itu dapat menarik-diri, tidak mau tenggelam
dalam masalah-masalah yang dihadapi sesama manusia yang sedang
mengalami permasalahan itu. Namun kadang-kadang para sarjana
ilmu pengetahuan sosial itu ada yang tidak berusaha
untuk membuat agar kehidupan sesama manusia
berkeadaan lebih baik. Namun lain yang dilakukan oleh
Sang Buddha. Umat Buddha, itu walaupun melakukan
yang sama dengan yang dilakukan oleh para sarjana ilmu pengetahuan
sosial, yaitu tidak mau tenggelam pada permasalahan yang
dialami manusia yang sedang menghadapi sesuatu
masalah, tetapi sambil bersikap tidak mau tenggelam
pada permasalahannya, Sang Buddha berusaha mencapai
pemecahan, secara tidak langsung, didalam mengatasi
problem-problema penderitaan yang dialami oleh manusia.
Sang Buddha berpendapat dan menyadari kenyataan bahwa orang
yang dapat menolong dirinya sendiri, itu berarti tidak boleh
tidak, dia dapat menolong orang lain juga. Sang Buddha
itu menaruh perhatian sepenuhnya terhadap
problema-problema kemasyarakatan dan kepribadian.
Ahli Ilmu Pengetahuan Jiwa Psychoanalisa itu dapatlah
didalam beberapa hal diperbandingkan dengan orang yang
telah dapat mencapai Penerangan Sempurna (= Kesadaran Nirvana),
tetapi orang yang telah memperoleh Penerangan Sempurna (=
Enlightenment) itu tidaklah perlu harus diajar
bagaimana cara bergaul dengan sesama manusia. Sifat
dari Kesadaran Nirvana itu, tidak dapat tidak, juga
mendatangkan sikap yang dimiliki oleh ilmuwan. Umat
Buddha dapat menerima ketidak-terikatan yang sifatnya kontemplatif
dari para ilmuwan. Didalam mengerjakan hal yang demikian
itu, dia dapat menjadikan dirinya menjadi umat Buddha
yang lebih baik, dan dapat mengikuti atau
mempraktekkan lebih dekat dan lebih luas lagi,
mengenai ajaran-ajaran pokok dari Agama Buddha.
Objektivitas, atau sikap menghadapi masalah-masalah secara objektif,
didalam menangani masalah-masalah manusia, tetap
merupakan sikap mental yang penting hingga dewasa
ini.
Sumber: http://www.samaggi-phala.or.id/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar