Rabu, 16 Oktober 2019

Perlindungan dan Keselamatan dalam Ajaran Buddha

Namo Tassa Bhagavato Arahato Sammāsambuddhassa

Diri sendiri adalah pelindung bagi diri sendiri, siapa lagi yang bisa melindungi? Dengan diri sendiri sesungguhnya seseorang memperoleh
 perlindungan yang sangat sukar didapat
(Dhammapada 160)

Secara naluri, semua makhluk hidup memiliki berbagai cara untuk melindungi diri. Jika kita perhatikan berbagai jenis binatang, mereka memiliki cara masing-masing untuk melindungi diri dari ancaman predator, cuaca, atau yang lainnya. Cicak melindungi diri dari predator dengan cara menanggalkan ekornya, Bunglon melindungi diri dengan berkamuflase, Kalajengking dan lebah memiliki penyengat, dan banyak lagi contoh lain. Semua itu dalam usaha untuk melindungi diri agar mendapatkan keselamatan. Tetapi apakah cara-cara itu bisa melindunginya selamanya?

Ketakutan dan ketidaktahuan akan keadaan setelah kematian, menggiring manusia pada pencarian perlindungan agar memperoleh
keselamatan, tidak terlahir di alam neraka, melainkan terlahir di alam surga. Itulah latar belakang munculnya agama-agama di dunia. Maka dalam agama selalu membicarakan surga-neraka, tentang keselamatan, kebebasan dari penderitaan.

Sang Buddha tidak pernah memperkenalkan diri-Nya sebagai juru selamat gaib. Ia tidak mengajarkan adanya juru selamat semacam itu. Tak seorang pun yang dapat menyelamatkan kita selain diri kita sendiri. Beliau bersabda: "Jadilah pulau bagi dirimu; jadilah pelindung bagi dirimu, janganlah menyandarkan nasibmu kepada makhluk lain; peganglah teguh Dhamma sebagai pelindungmu." (Maha Parinibbana Sutta).

Seperti yang sudah dijelaskan dalam tulisan sebelumnya tentang Konsep Ketuhanan dalam Agama Buddha, Tuhan dalam agama Buddha bukanlah sosok yang mengatur segala sesuatu. Lalu pada siapa dan bagaimana umat Buddha berlindung?
Umat Buddha berlindung pada Tiratana (Buddha, Dhamma, dan Sangha). Perlu diketahui konsep perlindungan dalam agama Buddha bukanlah perlindungan yang bersifat pasif, namun bersifat aktif. Ibarat ada payung, ketika turun hujan kita harus aktif melakukan usaha untuk menggunakan payung tersebut agar kita terlindungi dari hujan. Tidaklah mungkin kita terlindung dari hujan jika kita tidak melakukan usaha-usaha mulai dari mengambil payung, membuka payung, dan meletakkannya pada posisi yang benar. Atau ketika tidak membawa payung, dan kita kehujanan, maka agar terlindung dari hujan kita sendiri lah yang harus menuju tempat yang ternaungi, entah di bawah pohon, di bawah atap, atau yang lainnya.

Jadi, bukan Buddha yang aktif melindungi kita, tapi kitalah yang aktif berlindung pada Buddha dengan cara melaksanakan ajaran-ajaran beliau (Dhamma), dan menjadikan Sangha sebagai teladan. Perlindungan dalam ajaran Buddha bisa diibaratkan seperti rambu-rambu lalu lintas. Siapa yang mematuhinya akan lebih aman berkendara, tetapi yang melanggar rambu-rambu akan lebih beresiko untuk membuat dirinya maupun orang lain celaka. Demikianlah nilai-nilai kebenaran itu seperti rambu-rambu lalu lintas. Mereka yang melaksanakan akan memperoleh keselamatan. Jadi keselamatan itu didapat dengan secara aktif menata diri pada jalan kebenaran, bukan sekedar dengan modal keyakinan, apalagi keyakinan membuta, yang sebenarnya kita tidak mengetahuinya secara utuh.

Buddha mengatakan bahwa Ia hanya sebagai penunjuk jalan, kamu sendirilah yang harus melalui jalan itu. Buddha seperti seorang dokter, yang hanya bisa memberikan resep obat (Dhamma) kepada pasien yang sakit. Apakah hanya dengan menyimpan dan mengagumi resep obat itu pasien bisa sembuh dari sakit? tentu tidak. Pasien harus minum obat sesuai resep yang diberikan, dan melakukan usaha-usaha lain seperti menjaga pola hidup sehat dan sebagainya. Hanya dengan melakukan demikian pasien dapat sembuh dari sakitnya.

Jadi, Dhamma itu bukan cukup untuk dikagumi semata, melainkan dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari, setidaknya pancasila Buddhis kita laksanakan dengan sebaik-baiknya, selalu memberi pada mereka yang membutuhkan (dana), maka dengan dengan demikian kita membuat perlindungan diri yang sejati. Berikutnya adalah pengembangan konsentrasi (samadhi) juga merupakan salah satu cara untuk membuat perlindungan. Derngan konsentrasi yang baik, maka pikiran kita akan lebih mudah dikendalikan, tidak liar, dan mudah diarahkan. Ketika pikiran dapat diarahkan dengan baik, maka ucapan dan tindakan kita pun akan terarah pada hal-hal baik, sehingga yang kita katakan dan lakukan pun adalah yang baik-baik.

Contoh sederhana, dengan menjalankan sila keempat pancasila Buddhis, kita selalu berucap benar, lemah lembut, ramah dan santun, seta menghindari gosip dan kata kasar; maka kita akan terlindung /terhindar dari celaan orang lain. Dengan melaksanakan sila kita tidak akan perbuatan buruk, dengan tidak melakukan perbuatan buruk, maka akibat dari perbuatan buruk tidak akan menimpa kita.

Tujuan umat Buddha adalah mencapai keselamatan baik di dunia ini, di kehidupan berikutnya, dan pencapaian Nibbana. Jadi, tujuan umat Buddha itu adalah bahagia dalam kehidupan sekarang, setelah meninggal bisa terlahir di alam-alam bahagia, dan melenyapkan kekotoran batin secara total dengan cara  merealisasi Nibbana. Untuk mencapai Nibbana tidak harus menunggu kematian dulu, justru Nibbana dapat dicapai dalam kehidupan saat ini juga. Pencapaian Nibbana adalah keselamatan sejati, di mana kita dapat terbebas dari dukkha, terbebas dari penderitaan, terbebas dari samsara (lingkaran tumimbal lahir).

Perlindungan yang berasal dari luar hanya bersifat sementara, tetapi perlindungan dari dalam merupakan perlindungan yang sejati. Untuk itu, marilah kita membangun perlindungan sejati dengan melaksanakan Dhamma yang telah dibabarkan Buddha dengan sebaik-baiknya.

sabbe satta bhavantu sukhitatta
semoga semua makhluk berbahagia
sadhu... sadhu... sadhu...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar