Kamis, 03 Oktober 2019

Ketuhanan Buddhisme

Salah satu topik yang paling menarik dibahas dalam ajaran Buddha adalah topik tentang ketuhanan. Karena konsep ketuhanan dari sudut pandang Buddhisme ternyata jauh berbeda dengan konsep-konsep ketuhanan agama lain. Jika dalam agama lain, mungkin terbiasa dengan konsep bahwa Tuhan adalah pencipta alam beserta isinya, yang maha tahu, maha pengasih, maha pemurah, pemaaf, dan penentu segala sesuatu yang ada dan terjadi di dunia ini. Tuhan adalah sosok adikuasa  dimana manusia sebagai salah satu makhluk ciptaannya wajib tunduk dan memuja-Nya, meminta segala sesuatu dengan cara berdoa pada-Nya. Namun, jika kita lihat dalam ajaran Buddha, konsep di atas tidak pernah kita temukan. Mengapa?
Karena jika Tuhan itu maha tahu, untuk apa manusia berdoa, mengeluh dan meminta pada-Nya? Bukankah tanpa kita mengeluh dan meminta Ia sudah tahu? Seperti seorang ibu yang mengetahui bahwa sepatu anaknya sudah rusak, tanpa diberitahu pun, tanpa menunggu anaknya mengeluh dan meminta, jika ibu itu memiliki cukup uang ia akan membelikan sepatu baru untuk anaknya.
Jika Tuhan itu pencipta, pengasih, dan penyayang, mengapa ada  banyak yang terlahir cacat? Apakah mereka adalah produk gagal? Mengapa ada yang hidup dalam kondisi yang memprihatinkan? Dimana Tuhan ketika terjadi bencana yang demikian hebat, seperti Tsunami, kebakaran, kecelakaan, dan sebagainya sehingga kita manusia saja tidak tega melihatnya. Mengapa Tuhan yang maha pengasih justru tega membiarkan makhluknya mengalami itu semua?
Jika semua yang terjadi adalah atas kehendak-Nya, maka ketika seseorang melakukan kejahatan, Tuhanlah yang paling bertanggungjawab, karena kejahatan itu dilakukan atas dasar restu dan kehendak-Nya. Tidak perlu ada orang yang dipenjara, tidak perlu ada manusia yang dipersalahkan, karena manusia hanya menjalani dan melakukan apa yang dikehendaki-Nya. Ketika terjadi bencana yang memakan banyak korban, Tuhanlah yang patut dipersalahkan, Karena lagi-lagi semua itu atas kehendak-Nya.
Jadi, apakah ajaran Buddha tidak mengenal Tuhan? Lalu pada siapa umat Buddha berdoa? Apakah pada patung Buddha?
Sebelum kita bahas lebih jauh lagi, saya akan memberikan analogi mengenai ini. Dulu, ketika awal masuknya bangsa barat dan Eropa ke Birma/Myanmar dan Tibet. Orang-orang Birma dan Tibet belum mengenal celana, karena mereka terbiasa mengenakan sarung. Orang-orang barat setelah kembali ke negaranya, menceritakan pada keluarga dan teman-temannya bahwa orang Birma dan Tibet itu tidak pakai celana. Keluarga dan teman-temannya berkata, “Oh… kalau begitu mereka tidak berpakaian?” Tidak, mereka tidak pakai celana tetapi bukan berarti mereka tidak berpakaian. Mereka memiliki pakaian bawah yang berbeda dengan celana, yang disebut sebagai sarung. Sebaliknya, ketika orang Birma dan Tibet pergi ke barat, mereka hampir tidak melihat ada orang yang mengenakan sarung. Karena kebanyakan orang di sana mengenakan celana. Setelah pulang ke negara asalnya, mereka bercerita bahwa orang barat itu tidak pakai sarung. Tentu, jika cerita itu tidak dilanjutkan dengan penjelasan, orang yang mendengar ceritanya akan dapat berpikir bahwa orang barat tidak berpakaian. Padahal kenyataannya orang barat tidak mengenakan sarung bukan berarti mereka tidak berpakaian, tetapi mereka memiliki pakaian yang berbeda dengan sarung, yang disebut celana.
Dari cerita di atas mungkin kita bisa paham, mengapa ada orang yang menyimpulkan secara dangkal bahwa agama Buddha itu tidak percaya Tuhan. Padahal sebenarnya, konsep ketuhanannya lah yang berbeda dengan konsep ketuhanan agama lain. Dan memang konsep ketuhanan dalam agama Buddha tidak harus sama dengan konsep ketuhanan dalam agama lain. Ada banyak konsep atau pandangan-pandangan Buddhisme yang tidak sama atau bahkan berseberengan dengan agama lain. Inilah uniknya Buddhisme.
Jika demikian, lalu bagaimana konsep ketuhanan yang ada dalam Buddhisme? Buddha menjelaskan bahwa “di dunia ini ada yang tidak dilahirkan, tidak diciptakan, tidak menjelma, dan tak berkondisi”. Inilah konsep “Esa” yang sesungguhnya. Tak terceritakan, tak tergambarkan,  tak terbayangkan, melampaui pikiran dan imajinasi manusia. Untuk itu, pembicaraan tentang Tuhan jarang sekali ada dalam Buddhisme, karena Buddhisme sadar, bahwa Tuhan itu tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata dan logika manusia. Maka, Karen Amstrong dalam jurnalnya mengatakan, “jika kita berusaha menjelaskan tentang Tuhan, semakin jelas kita menjelaskannya, maka kita akan semakin salah”. Inilah konsep ketuhanan yang dipegang dalam Buddhisme. Tuhan dalam ajaran Buddha bukanlah personifikasi, yang memiliki sifat-sifat seperti manusia, yang melihat, mendengar, mengasihi, mengatur, mencipta, mengetahui, dan menentukan segalanya.
Tuhan dalam agama Buddha lebih cenderung merupakan suatu tujuan yang harus dicapai. Dan untuk menuju yang tidak dilahirkan, tidak diciptakan, tidak menjelma, dan tak berkondisi itu, kita perlu mengikis habis kekotoran-ketoran batin yang ada dalam diri kita. Dengan demikian kita akan dapat menuju Tuhan. Untuk itu, satu-satunya musuh yang layak untuk kita kalahkan adalah diri kita sendiri. Apa yang dikalahkan? Keserakahan, kebencian, dan kebodohan yang ada dalam diri kita ini. Dengan demikian kita akan dapat mencapai tujuan, yang disebut sebagai Nibbana.
Apakah orang yang telah mencapai tujuan (Nibbana) seperti Buddha dan para siswa-siswa beliau berarti menjadi Tuhan? Bagaimana menurut anda, jika saya memiliki tujuan ke pasar, sehingga saya melukan usaha-usaha untuk mencapai tujuan itu, misalkan dengan berjalan atau mengendarai kendaraan sehingga saya bisa sampai kepasar. Apakah ketika saya sampai di pasar saya menjadi pasar? Tentu tidak. Demikian pula dengan pencapaian Nibbana, bukan berarti mereka yang telah mencapai Nibbana lalu menjadi Tuhan.
Lalu, pada siapa umat Buddha berdoa dan meminta? Umat Buddha berdoa dengan cara berbeda, bukan dengan cara meminta, tetapi dengan pengharapan. Salah satu  doa yang paling umum dan mudah dijumpai di kalangan umat Buddha adalah “semoga semua makhluk berbahagia”. Sebuah kalimat pendek namun sarat akan makna. Agak aneh memang, umat Buddha yang terbiasa menggunakan patung, tapi justru tidak pernah meminta dalam doa-doanya. Patung hanyalah simbol, alarm yang mengingatkan kita untuk selalu menjadikan Buddha sebagai teladan hidup.
Semoga ini dapat memberikan pemahaman tentang sedikit cara pikir Buddhisme pada semua yang membaca, sehingga dapat memperluas pengetahuan dan kebijaksanaan untuk dapat menjadi lebih baik lagi. Sekali lagi, ini adalah doa saya, harapan saya, bukan permintaan saya.

Sabbe satta bhavantu sukhitatta
Semoga semua makhluk hidup berbahagia
Sadhu… sadhu… sadhu…

Somo Wibowo
Mempawah,  Oktober 2019

Tidak ada komentar:

Posting Komentar