BAB DELAPAN:
PEMECAHAN DILEMA
Setelah merenungkan semalaman mengenai diskusinya dengan Nagasena,
sang raja membuat delapan sumpah untuk dirinya sendiri: “Selama tujuh
hari mendatang ini aku tidak akan memutuskan masalah hukum apa pun juga,
aku tidak akan memelihara pikiran yang berisi nafsu keinginan, pikiran
yang berisi kebencian atau pikiran yang berisi pandangan keliru.
Terhadap semua pelayan dan mereka yang bergantung padaku aku akan
bersikap rendah hati. Aku akan memperhatikan dengan seksama setiap
perilaku tubuh serta enam inderaku. Aku akan mengisi pikiranku dengan
cinta kasih bagi semua makhluk.”
Kemudian Raja Milinda bermaksud berbicara kepada Nagasena seorang
diri. Raja mengatakan, “Ada delapan tempat yang harus dihindari oleh
orang yang ingin berdiskusi secara mendalam:
1. landasan pikiran yang tidak mantap di mana masalah yang didiskusikan menjadi tercerai-berai, bertele-tele, kabur dan tidak ada hasilnya;
2. tempat yang tidak aman di mana pikiran menjadi terganggu oleh rasa takut sehingga tidak dapat mencerap maknanya dengan jelas;
3. tempat yang berangin di mana suara menjadi tidak jelas;
4. tempat terpencil yang mungkin ada orang yang mencuri dengar;
5. tempat yang sakral di mana pokok pembicaraan mungkin menjadi terbelok ke situasi sekitarnya yang khidmat;
6. jalanan di mana pembicaraan mungkin menjadi dangkal;
7. jembatan di mana pikiran mungkin menjadi tidak stabil dan goyah; dan
8. tempat mandi umum di mana pembicaraan akan menjadi omongan sehari-hari.
“Juga ada delapan jenis orang, Nagasena, yang cenderung merusak suatu diskusi:
1. orang yang penuh nafsu,
2. orang yang pemarah,
3. orang yang diselimuti pandangan salah,
4. orang yang sombong,
5. orang yang iri hati,
6. orang yang malas,
7. orang yang hanya punya satu ide (fanatik buta), dan
8. orang tolol yang patut dikasihani.
1. orang yang penuh nafsu,
2. orang yang pemarah,
3. orang yang diselimuti pandangan salah,
4. orang yang sombong,
5. orang yang iri hati,
6. orang yang malas,
7. orang yang hanya punya satu ide (fanatik buta), dan
8. orang tolol yang patut dikasihani.
Delapan jenis ini adalah perusak perdebatan tingkat tinggi.
“Ada delapan penyebab, Nagasena, yang menyebabkan berkembang dan matangnya kebijaksanaan:
1. berlalunya waktu,
2. bertumbuhnya reputasi,
3. seringnya bertanya,
4. berhubungan dengan pembimbing spiritual,
5. penalaran di dalam diri sendiri,
6. diskusi,
7. berhubungan dengan orang-orang yang berbudi luhur, dan
berdiam di tempat yang sesuai.
8. Tidak ada keberatan tentang tempat di sini ini, jadi kita dapat berdiskusi. Aku adalah murid teladan, aku dapat memegang rahasia dan pandangan terangku telah masak.
1. berlalunya waktu,
2. bertumbuhnya reputasi,
3. seringnya bertanya,
4. berhubungan dengan pembimbing spiritual,
5. penalaran di dalam diri sendiri,
6. diskusi,
7. berhubungan dengan orang-orang yang berbudi luhur, dan
berdiam di tempat yang sesuai.
8. Tidak ada keberatan tentang tempat di sini ini, jadi kita dapat berdiskusi. Aku adalah murid teladan, aku dapat memegang rahasia dan pandangan terangku telah masak.
“Inilah, Nagasena, dua puluh lima tugas seorang guru terhadap muridnya yang baik:
1. Guru harus selalu melindungi muridnya,
2. memberitahukan apa yang harus dikembangkan,
3. memberitahukan apa yang harus dihindari,
4. memberitahukan apa yang harus ditekuni,
5. memberitahukan apa yang harus diabaikan.
6. Guru harus mengajar pentingnya tidur;
7. mengajar agar muridnya menjaga kesehatan,
8. mengajar tentang makanan apa yang harus dimakan atau dihindari,
9. mengajar agar tidak makan berlebihan,
10. membagi apa yang diperoleh di dalam mangkuknya.
11. Guru harus membesarkan hati muridnya yang lemah semangat, dan
12. menasihatinya tentang teman yang cocok,
13. menasihatinya tentang desa dan vihara mana yang patut dikunjungi.
14. Guru tidak boleh terseret di dalam canda atau percakapan tolol yang tak keruan dengan muridnya.
15. Bila guru melihat kelemahan muridnya, dia harus sabar terhadapnya.
16. Guru harus rajin,
17. harus hidup sesuai dengan moralitas,
18. harus patut dihormati, dan
19. harus berhati lapang.
20. Guru harus memperlakukan muridnya bagaikan anak kandungnya,
21. berjuang untuk membuatnya maju,
22. menguatkannya dalam pengetahuan,
23. mencintainya dan tidak pernah meninggalkannya saat dibutuhkan,
24. tidak pernah melalaikan tugas apa pun, dan
25. membawa muridnya kembali ke jalan yang benar bila dia khilaf.”
1. Guru harus selalu melindungi muridnya,
2. memberitahukan apa yang harus dikembangkan,
3. memberitahukan apa yang harus dihindari,
4. memberitahukan apa yang harus ditekuni,
5. memberitahukan apa yang harus diabaikan.
6. Guru harus mengajar pentingnya tidur;
7. mengajar agar muridnya menjaga kesehatan,
8. mengajar tentang makanan apa yang harus dimakan atau dihindari,
9. mengajar agar tidak makan berlebihan,
10. membagi apa yang diperoleh di dalam mangkuknya.
11. Guru harus membesarkan hati muridnya yang lemah semangat, dan
12. menasihatinya tentang teman yang cocok,
13. menasihatinya tentang desa dan vihara mana yang patut dikunjungi.
14. Guru tidak boleh terseret di dalam canda atau percakapan tolol yang tak keruan dengan muridnya.
15. Bila guru melihat kelemahan muridnya, dia harus sabar terhadapnya.
16. Guru harus rajin,
17. harus hidup sesuai dengan moralitas,
18. harus patut dihormati, dan
19. harus berhati lapang.
20. Guru harus memperlakukan muridnya bagaikan anak kandungnya,
21. berjuang untuk membuatnya maju,
22. menguatkannya dalam pengetahuan,
23. mencintainya dan tidak pernah meninggalkannya saat dibutuhkan,
24. tidak pernah melalaikan tugas apa pun, dan
25. membawa muridnya kembali ke jalan yang benar bila dia khilaf.”
“O, baginda, untuk murid awam, ada sepuluh sifat ini:
1. Dia harus berbagi suka dan duka Sangha,
2. memegang Dhamma sebagai pembimbingnya,
3. bersukacita di dalam memberi sejauh dia mampu, dan
4. harus berjuang untuk mengembangkan agamanya jika mulai pudar.
5. Dia memiliki pandangan benar, dan
6. setelah terbebas dari kesenangan merayakan pesta,1
7. dia tidak mengejar guru yang lain sekalipun demi kehidupannya.
8. Dia terus mengamati pikiran, perkataan dan perbuatannya,
9. Dia bersukacita di dalam keselarasan, dan
tidak penuh prasangka.
10. Karena tidak munafik, dia berlindung pada Buddha, Dhamma, dan Sangha.
1. Dia harus berbagi suka dan duka Sangha,
2. memegang Dhamma sebagai pembimbingnya,
3. bersukacita di dalam memberi sejauh dia mampu, dan
4. harus berjuang untuk mengembangkan agamanya jika mulai pudar.
5. Dia memiliki pandangan benar, dan
6. setelah terbebas dari kesenangan merayakan pesta,1
7. dia tidak mengejar guru yang lain sekalipun demi kehidupannya.
8. Dia terus mengamati pikiran, perkataan dan perbuatannya,
9. Dia bersukacita di dalam keselarasan, dan
tidak penuh prasangka.
10. Karena tidak munafik, dia berlindung pada Buddha, Dhamma, dan Sangha.
“Semua sifat ini ada di dalam diri baginda. Karena itu, pantas dan
sesuailah jika baginda menginginkan agama tumbuh subur setelah melihat
kemunduran agama Sang Penakluk ini. Saya izinkan baginda bertanya sesuka
Anda.”
1. Tentang Penghormatan kepada Sang Buddha
“Yang Mulia Nagasena, para pemimpin sekte lain berkata, ‘Jika Sang Buddha setuju akan penghormatan dan persembahan, itu berarti Beliau tidak sepenuhnya terbebas dari dunia. Oleh karenanya, semua pelayanan yang dipersembahkan kepada Beliau menjadi kosong dan tidak ada artinya.’ Uraikanlah kekusutan pandangan yang salah ini, pecahkanlah dilema ini, dan berilah pandangan terang bagi siswa Sang Buddha yang akan datang agar dapat membuktikan bahwa lawannya itu berpandangan salah.”
“Sang Buddha, O baginda, telah sepenuhnya terbebas dan tidak lagi memiliki kemelekatan, baik pada persembahan maupun pada penghormatan yang diberikan kepada Beliau.”
“Nagasena, seorang anak boleh memuji ayahnya, atau seorang ayah boleh memuji anaknya. Tetapi itu bukan dasar yang cukup kuat untuk membungkam orang-orang yang mengkritiknya.”
“Sang Buddha sekarang telah mangkat dan tidak dapat dikatakan telah menerima penghormatan dan persembahan yang diberikan kepada Beliau. Akan tetapi, perbuatan baik yang dilakukan di dalam nama Sang Buddha masih berharga dan membuahkan hasil yang besar. Bagaikan angin topan yang dahsyat dan kuat bertiup, begitu juga Sang Buddha telah menyapu dunia dengan cinta kasihnya yang amat melegakan, amat lembut dan amat murni. Bagaikan orang yang tersiksa oleh panas dibuai oleh angin yang sejuk, demikian pula makhluk yang tersiksa oleh panasnya nafsu keinginan, kebencian dan kebodohan batin telah ditenteramkan oleh ajaran Sang Buddha yang mulia. O baginda yang mulia, meskipun Sang Buddha telah mahaparinibbana, Beliau telah meninggalkan ajaran-Nya, siswa-Nya, dan relik-Nya yang berharga, yang nilainya berasal dari kebajikan luhur, konsentrasi, kebijaksanaan dan kebebasan Beliau. Makhluk yang masih terkena penderitaan karena dumadi pun dapat memperoleh manfaat dari hal-hal ini, seperti halnya orang yang mempunyai kipas masih dapat menikmati angin sepoi meskipun angin tidak lagi bertiup. Dan hal ini telah dilihat sebelumnya oleh Sang Buddha ketika Beliau berkata, ‘Mungkin Ananda, beberapa dari kalian akan berpikir, ‘Ajaran dari Sang Guru telah berakhir; kita tidak lagi mempunyai guru’, tetapi janganlah kalian beranggapan demikian. Dhamma yang telah dibabarkan oleh-Ku dan aturan-aturan yang telah Kugariskan, biarlah mereka menjadi Guru kalian setelah Aku pergi.’2
“Dan dengarlah alasan lainnya, O baginda. Apakah baginda pernah mendengar tentang seorang raksasa bernama Nandaka yang berani memukul Bhante Sariputta, dan kemudian tertelan bumi?”
“Ya, Yang Mulia, itu telah menjadi pengetahuan umum.”
“Tetapi apakah Bhante Sariputta yang menyebabkannya?”
“Bhante Sariputta tidak akan pernah menyetujui penderitaan apa pun dikenakan pada makhluk hidup, karena beliau telah mencabut semua akar kemarahan.”
“Tetapi jika Sariputta tidak menyetujuinya, mengapa Nandaka ditelan bumi?”
“Itu karena kekuatan perbuatan jahatnya.”
“Berapa banyak, O baginda, orang yang ditelan bumi?”
“Ada lima, Yang Mulia. Ciñca wanita Brahmana,3 Suppabuddha orang Sakya,4 Devadatta,5 Nandaka sang raksasa,6 dan Nanda si Brahmana.7 Mereka itu semua ditelan bumi.”
“Dan, kepada siapakah, O baginda, mereka telah berbuat salah?”
“Sang Buddha atau siswa-siswa Beliau.”
“Oleh karena itu, O baginda, suatu tindakan yang ditujukan kepada Sang Tathagata, meskipun Beliau telah meninggal dunia, tetap ada nilainya dan menghasilkan buah.”
“Dengan baik pertanyaan yang dalam ini telah dijawab olehmu, Nagasena. Anda telah mengungkapkan apa yang tadinya tersembunyi. Anda telah menguraikan kekusutannya, menebas belukar, meluruskan pandangan yang salah. Anda telah membuat orang-orang yang picik menjadi kebingungan di dalam kegelapan. Anda memang pemimpin terbesar dari segenap pemimpin aliran.”
“Yang Mulia Nagasena, para pemimpin sekte lain berkata, ‘Jika Sang Buddha setuju akan penghormatan dan persembahan, itu berarti Beliau tidak sepenuhnya terbebas dari dunia. Oleh karenanya, semua pelayanan yang dipersembahkan kepada Beliau menjadi kosong dan tidak ada artinya.’ Uraikanlah kekusutan pandangan yang salah ini, pecahkanlah dilema ini, dan berilah pandangan terang bagi siswa Sang Buddha yang akan datang agar dapat membuktikan bahwa lawannya itu berpandangan salah.”
“Sang Buddha, O baginda, telah sepenuhnya terbebas dan tidak lagi memiliki kemelekatan, baik pada persembahan maupun pada penghormatan yang diberikan kepada Beliau.”
“Nagasena, seorang anak boleh memuji ayahnya, atau seorang ayah boleh memuji anaknya. Tetapi itu bukan dasar yang cukup kuat untuk membungkam orang-orang yang mengkritiknya.”
“Sang Buddha sekarang telah mangkat dan tidak dapat dikatakan telah menerima penghormatan dan persembahan yang diberikan kepada Beliau. Akan tetapi, perbuatan baik yang dilakukan di dalam nama Sang Buddha masih berharga dan membuahkan hasil yang besar. Bagaikan angin topan yang dahsyat dan kuat bertiup, begitu juga Sang Buddha telah menyapu dunia dengan cinta kasihnya yang amat melegakan, amat lembut dan amat murni. Bagaikan orang yang tersiksa oleh panas dibuai oleh angin yang sejuk, demikian pula makhluk yang tersiksa oleh panasnya nafsu keinginan, kebencian dan kebodohan batin telah ditenteramkan oleh ajaran Sang Buddha yang mulia. O baginda yang mulia, meskipun Sang Buddha telah mahaparinibbana, Beliau telah meninggalkan ajaran-Nya, siswa-Nya, dan relik-Nya yang berharga, yang nilainya berasal dari kebajikan luhur, konsentrasi, kebijaksanaan dan kebebasan Beliau. Makhluk yang masih terkena penderitaan karena dumadi pun dapat memperoleh manfaat dari hal-hal ini, seperti halnya orang yang mempunyai kipas masih dapat menikmati angin sepoi meskipun angin tidak lagi bertiup. Dan hal ini telah dilihat sebelumnya oleh Sang Buddha ketika Beliau berkata, ‘Mungkin Ananda, beberapa dari kalian akan berpikir, ‘Ajaran dari Sang Guru telah berakhir; kita tidak lagi mempunyai guru’, tetapi janganlah kalian beranggapan demikian. Dhamma yang telah dibabarkan oleh-Ku dan aturan-aturan yang telah Kugariskan, biarlah mereka menjadi Guru kalian setelah Aku pergi.’2
“Dan dengarlah alasan lainnya, O baginda. Apakah baginda pernah mendengar tentang seorang raksasa bernama Nandaka yang berani memukul Bhante Sariputta, dan kemudian tertelan bumi?”
“Ya, Yang Mulia, itu telah menjadi pengetahuan umum.”
“Tetapi apakah Bhante Sariputta yang menyebabkannya?”
“Bhante Sariputta tidak akan pernah menyetujui penderitaan apa pun dikenakan pada makhluk hidup, karena beliau telah mencabut semua akar kemarahan.”
“Tetapi jika Sariputta tidak menyetujuinya, mengapa Nandaka ditelan bumi?”
“Itu karena kekuatan perbuatan jahatnya.”
“Berapa banyak, O baginda, orang yang ditelan bumi?”
“Ada lima, Yang Mulia. Ciñca wanita Brahmana,3 Suppabuddha orang Sakya,4 Devadatta,5 Nandaka sang raksasa,6 dan Nanda si Brahmana.7 Mereka itu semua ditelan bumi.”
“Dan, kepada siapakah, O baginda, mereka telah berbuat salah?”
“Sang Buddha atau siswa-siswa Beliau.”
“Oleh karena itu, O baginda, suatu tindakan yang ditujukan kepada Sang Tathagata, meskipun Beliau telah meninggal dunia, tetap ada nilainya dan menghasilkan buah.”
“Dengan baik pertanyaan yang dalam ini telah dijawab olehmu, Nagasena. Anda telah mengungkapkan apa yang tadinya tersembunyi. Anda telah menguraikan kekusutannya, menebas belukar, meluruskan pandangan yang salah. Anda telah membuat orang-orang yang picik menjadi kebingungan di dalam kegelapan. Anda memang pemimpin terbesar dari segenap pemimpin aliran.”
2. Kemahatahuan Sang Buddha
“Nagasena, apakah Sang Buddha mahatahu?”
“O ya, baginda, tetapi pandangan terang untuk pengetahuan tidak selalu ada bersama Beliau. Itu tergantung pada perenungan.”
“Kalau begitu, Nagasena, Sang Buddha tidak mungkin mahatahu kalau pengetahuannya diperoleh dari perenungan.”
“Saya akan menjelaskan lebih lanjut. Ada tujuh tingkat kekuatan mental. Yang pertama, orang biasa yang penuh dengan nafsu keinginan, kebencian dan kebodohan batin; mereka tidak terlatih di dalam tindakan, ucapan, dan pikiran; pemikiran mereka berjalan dengan lambat dan sulit.
“Yang kedua, Pemasuk-Arus,8 yang telah mencapai pandangan benar, dan telah mengerti ajaran Sang Guru dengan benar. Kekuatan pemikiran mereka berjalan dengan cepat dan berfungsi dengan mudah, sejauh masih berhubungan dengan tiga belenggu8 yang pertama. Tetapi di luar itu, kekuatan pemikiran mereka berfungsi dengan lambat dan sulit.
“Yang ketiga, Yang-Kembali-Sekali-Lagi.8 Di dalam diri mereka, nafsu dan niat jahat telah melemah. Kekuatan pemikiran mereka bekerja dengan cepat dan baik, sejauh masih berhubungan dengan lima belenggu bagian bawah. Tetapi di luar itu sulit dan lambat.
“Yang keempat, Yang-Tidak-Kembali-Lagi.8 Pada mereka, nafsu dan niat jahat telah lenyap. Kekuatan pemikiran mereka berjalan dengan cepat dan baik sejauh masih berhubungan dengan sepuluh belenggu. Tetapi di luar itu sulit dan lambat.
“Kelima, Arahat.8 Pada mereka, banjir hawa nafsu indera, keinginan untuk kelahiran kembali, kepercayaan adanya diri, dan kebodohan batin telah lenyap. Mereka telah menempuh kehidupan suci dan mencapai tujuan akhir. Kekuatan pemikiran mereka bekerja dengan cepat, sejauh masih dalam lingkup yang dapat dilakukan siswa. Tetapi di luar itu sulit dan lambat.9
“Keenam, Buddha Menyendiri (Pacceka Buddha),8 yang bergantung pada diri mereka sendiri saja dan tidak memerlukan guru. Kekuatan pemikiran mereka berjalan dengan cepat, sejauh masih berhubungan dengan lingkup mereka sendiri. Tetapi di dalam lingkup yang khusus bagi Yang Mencapai Pencerahan Sempurna, pemikiran mereka lambat dan sulit. Seperti halnya seseorang yang tak akan ragu menyeberangi sungai kecil di tanahnya sendiri namun akan ragu menyeberangi samudera luas.
“Dan yang terakhir, Buddha yang Mencapai Pencerahan Sempurna. Mereka memiliki segala pengetahuan, memiliki sepuluh kekuatan,8 empat macam ketidaktakutan,9 dan delapan belas ciri seorang Buddha.9 Kekuatan pemikiran mereka bekerja cepat tanpa ada hambatan di dalam pengetahuan apa pun. Seperti halnya sebatang anak panah tajam yang dibidikkan dari busur yang kuat akan dengan mudah menembus kain yang tipis, demikian pula pengetahuan mereka tidak ada batasnya dan jauh melebihi enam tingkat lainnya. Karena pikiran mereka sangat jernih dan cerdas, maka para Buddha itu dapat melakukan Mukjizat Kembar.10 Dari situ kita hanya dapat membayangkan betapa jernih dan aktifnya kekuatan mereka. Dan melihat semua keajaiban ini, tidak ada alasan lain yang dapat dikemukakan, kecuali karena perenungan.”
“Meskipun demikian, Nagasena, perenungan dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui sesuatu hal yang masih belum jelas sebelum perenungan dimulai.”
“Seorang yang kaya tidak akan disebut miskin hanya karena tidak ada makanan yang tersedia pada saat seorang kelana tanpa disangka-sangka datang ke rumahnya; tidak juga sebuah pohon yang penuh buah dikatakan mandul hanya karena tak ada buah yang jatuh di tanah. Demikian juga Sang Buddha benar-benar mahatahu meskipun pengetahuannya diperoleh dari perenungan.”
“Nagasena, apakah Sang Buddha mahatahu?”
“O ya, baginda, tetapi pandangan terang untuk pengetahuan tidak selalu ada bersama Beliau. Itu tergantung pada perenungan.”
“Kalau begitu, Nagasena, Sang Buddha tidak mungkin mahatahu kalau pengetahuannya diperoleh dari perenungan.”
“Saya akan menjelaskan lebih lanjut. Ada tujuh tingkat kekuatan mental. Yang pertama, orang biasa yang penuh dengan nafsu keinginan, kebencian dan kebodohan batin; mereka tidak terlatih di dalam tindakan, ucapan, dan pikiran; pemikiran mereka berjalan dengan lambat dan sulit.
“Yang kedua, Pemasuk-Arus,8 yang telah mencapai pandangan benar, dan telah mengerti ajaran Sang Guru dengan benar. Kekuatan pemikiran mereka berjalan dengan cepat dan berfungsi dengan mudah, sejauh masih berhubungan dengan tiga belenggu8 yang pertama. Tetapi di luar itu, kekuatan pemikiran mereka berfungsi dengan lambat dan sulit.
“Yang ketiga, Yang-Kembali-Sekali-Lagi.8 Di dalam diri mereka, nafsu dan niat jahat telah melemah. Kekuatan pemikiran mereka bekerja dengan cepat dan baik, sejauh masih berhubungan dengan lima belenggu bagian bawah. Tetapi di luar itu sulit dan lambat.
“Yang keempat, Yang-Tidak-Kembali-Lagi.8 Pada mereka, nafsu dan niat jahat telah lenyap. Kekuatan pemikiran mereka berjalan dengan cepat dan baik sejauh masih berhubungan dengan sepuluh belenggu. Tetapi di luar itu sulit dan lambat.
“Kelima, Arahat.8 Pada mereka, banjir hawa nafsu indera, keinginan untuk kelahiran kembali, kepercayaan adanya diri, dan kebodohan batin telah lenyap. Mereka telah menempuh kehidupan suci dan mencapai tujuan akhir. Kekuatan pemikiran mereka bekerja dengan cepat, sejauh masih dalam lingkup yang dapat dilakukan siswa. Tetapi di luar itu sulit dan lambat.9
“Keenam, Buddha Menyendiri (Pacceka Buddha),8 yang bergantung pada diri mereka sendiri saja dan tidak memerlukan guru. Kekuatan pemikiran mereka berjalan dengan cepat, sejauh masih berhubungan dengan lingkup mereka sendiri. Tetapi di dalam lingkup yang khusus bagi Yang Mencapai Pencerahan Sempurna, pemikiran mereka lambat dan sulit. Seperti halnya seseorang yang tak akan ragu menyeberangi sungai kecil di tanahnya sendiri namun akan ragu menyeberangi samudera luas.
“Dan yang terakhir, Buddha yang Mencapai Pencerahan Sempurna. Mereka memiliki segala pengetahuan, memiliki sepuluh kekuatan,8 empat macam ketidaktakutan,9 dan delapan belas ciri seorang Buddha.9 Kekuatan pemikiran mereka bekerja cepat tanpa ada hambatan di dalam pengetahuan apa pun. Seperti halnya sebatang anak panah tajam yang dibidikkan dari busur yang kuat akan dengan mudah menembus kain yang tipis, demikian pula pengetahuan mereka tidak ada batasnya dan jauh melebihi enam tingkat lainnya. Karena pikiran mereka sangat jernih dan cerdas, maka para Buddha itu dapat melakukan Mukjizat Kembar.10 Dari situ kita hanya dapat membayangkan betapa jernih dan aktifnya kekuatan mereka. Dan melihat semua keajaiban ini, tidak ada alasan lain yang dapat dikemukakan, kecuali karena perenungan.”
“Meskipun demikian, Nagasena, perenungan dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui sesuatu hal yang masih belum jelas sebelum perenungan dimulai.”
“Seorang yang kaya tidak akan disebut miskin hanya karena tidak ada makanan yang tersedia pada saat seorang kelana tanpa disangka-sangka datang ke rumahnya; tidak juga sebuah pohon yang penuh buah dikatakan mandul hanya karena tak ada buah yang jatuh di tanah. Demikian juga Sang Buddha benar-benar mahatahu meskipun pengetahuannya diperoleh dari perenungan.”
3. Pentahbisan Devadatta
“Jika Sang Buddha itu benar-benar mahatahu dan sekaligus penuh dengan welas asih, mengapa Beliau mengizinkan Devadatta masuk Sangha? Karena dengan menyebabkan perpecahan Sangha11 [yang hanya dapat dilakukan oleh bhikkhu] Devadatta akhirnya masuk ke neraka selama kalpa itu.12 Jika Sang Buddha tidak tahu apa yang akan dilakukan oleh Devadatta di kemudian hari, berarti Beliau tidak mahatahu. Sebaliknya, jika Beliau tahu, berarti tidak penuh welas asih.”
“Sang Buddha benar-benar mahatahu dan sekaligus welas asih. Justru karena Beliau telah melihat terlebih dahulu bahwa penderitaan Devadatta akan jadi terbatas, maka Beliau mengizinkannya masuk Sangha. Seperti halnya seorang penguasa -yang mempunyai wewenang untuk mengubah hukuman mati menjadi hukuman potong tangan dan kaki- tidak bertanggung jawab atas penderitaan dan kesakitan yang tetap harus dirasakan tawanan itu. Atau seperti halnya seorang tabib yang pintar dapat mengurangi penyakit yang kritis menjadi lebih ringan dengan memberikan obat yang keras. Demikian juga Sang Buddha mengurangi penderitaan yang akan datang bagi Devadatta dengan mengizinkannya masuk Sangha. Setelah menjalani pederitaan di neraka selama kalpa itu, Devadata kemudian akan bebas dan menjadi Pacceka Buddha yang bernama Atthissara.”
“Sungguh besar anugerah yang diberikan kepada Devadatta oleh Sang Buddha, Nagasena. Sang Tathagata menunjukkan jalan baginya ketika tersesat di rimba belantara. Beliau memberikan tumpuan pijakan yang kokoh ketika Devadatta terjatuh ke jurang. Tetapi alasan dan maksud dari semuanya itu hanya dapat ditunjukkan oleh orang sebijaksana Anda!”
“Jika Sang Buddha itu benar-benar mahatahu dan sekaligus penuh dengan welas asih, mengapa Beliau mengizinkan Devadatta masuk Sangha? Karena dengan menyebabkan perpecahan Sangha11 [yang hanya dapat dilakukan oleh bhikkhu] Devadatta akhirnya masuk ke neraka selama kalpa itu.12 Jika Sang Buddha tidak tahu apa yang akan dilakukan oleh Devadatta di kemudian hari, berarti Beliau tidak mahatahu. Sebaliknya, jika Beliau tahu, berarti tidak penuh welas asih.”
“Sang Buddha benar-benar mahatahu dan sekaligus welas asih. Justru karena Beliau telah melihat terlebih dahulu bahwa penderitaan Devadatta akan jadi terbatas, maka Beliau mengizinkannya masuk Sangha. Seperti halnya seorang penguasa -yang mempunyai wewenang untuk mengubah hukuman mati menjadi hukuman potong tangan dan kaki- tidak bertanggung jawab atas penderitaan dan kesakitan yang tetap harus dirasakan tawanan itu. Atau seperti halnya seorang tabib yang pintar dapat mengurangi penyakit yang kritis menjadi lebih ringan dengan memberikan obat yang keras. Demikian juga Sang Buddha mengurangi penderitaan yang akan datang bagi Devadatta dengan mengizinkannya masuk Sangha. Setelah menjalani pederitaan di neraka selama kalpa itu, Devadata kemudian akan bebas dan menjadi Pacceka Buddha yang bernama Atthissara.”
“Sungguh besar anugerah yang diberikan kepada Devadatta oleh Sang Buddha, Nagasena. Sang Tathagata menunjukkan jalan baginya ketika tersesat di rimba belantara. Beliau memberikan tumpuan pijakan yang kokoh ketika Devadatta terjatuh ke jurang. Tetapi alasan dan maksud dari semuanya itu hanya dapat ditunjukkan oleh orang sebijaksana Anda!”
4. Penyebab-penyebab Gempa Bumi
“Sang Buddha berkata, Nagasena, bahwa ada delapan penyebab gempa yang hebat.13 Tetapi kita dapatkan ada sembilan yang disebutkan di dalam teks. Ketika Bodhisatta Vessantara memenuhi kesempurnaan kemurahan hatinya dengan memberikan istri dan anaknya sebagai pelayan, pada saat itu bumi juga bergoncang. Bila pernyataan pertama Sang Buddha itu benar, berarti yang kedua itu salah.”
“Kedua pernyataan itu benar, O baginda. Persembahan Vessantara itu tidak disebutkan sebagai penyebab gempa hebat ke sembilan, karena hal itu merupakan suatu kejadian yang amat sangat langka. Seperti halnya sebuah anak sungai kering yang biasanya tidak berair tidak akan disebut sungai, tetapi pada saat-saat hujan yang tak terduga ia menjadi sungai, demikian juga kebesaran hati Vessantara adalah sesuatu yang khas dan luar biasa, dan karenanya dibedakan dari delapan penyebab umum gempa hebat.”
“Pernahkah baginda mendengar di dalam sejarah agama kita, tentang suatu tindakan pengabdian yang berbuah pada kehidupan sekarang ini juga?”
“Ya, Yang Mulia Nagasena, ada tujuh macam kasus semacam itu: Sumana, si pembuat karangan bunga,14 Ekasataka sang Brahmana,15 dan Punna si pekerja ladang,16 Mallika sang ratu,17 ratu yang dikenal sebagai ibu dari Gopala,18 Suppiya wanita yang penuh pengabdian,19 dan Punna si budak wanita.” 20
“Tetapi sudah pernahkah baginda mendengar bahwa tanah ini bergetar sekali atau dua kali ketika suatu persembahan diberikan?”
“Belum, Yang Mulia, aku belum pernah mendengar hal seperti itu.”
“Demikian juga saya, O baginda, meskipun saya telah dengan sungguh-sungguh belajar dan siap untuk belajar, kecuali pada saat persembahan luar biasa yang dilakukan oleh Vessantara. Bukan hanya karena usaha yang biasa saja bumi besar ini dapat bergetar, O baginda. Hanya ketika bumi terbebani oleh kekuatan kebajikan, tidak kuat menahan kekuatan tindakan-tindakan bajik yang terbukti sepenuhnya murni, maka barulah bumi yang luas ini bergoncang dan bergetar, karena tak sanggup menahan beban kekuatan itu. Dan ketika Vessantara memberikan persembahannya, O baginda, dia memberikan segala sesuatunya bukan demi tumimbal lahir yang mulia, bukan demi kekayaan di masa mendatang, bukan demi mengharap imbalan hadiah, dan bukan demi pujian atau keuntungan pribadi lainnya. Hanya demi kebijaksanaan tertinggi maka dia memberikan semuanya itu.”
“Sang Buddha berkata, Nagasena, bahwa ada delapan penyebab gempa yang hebat.13 Tetapi kita dapatkan ada sembilan yang disebutkan di dalam teks. Ketika Bodhisatta Vessantara memenuhi kesempurnaan kemurahan hatinya dengan memberikan istri dan anaknya sebagai pelayan, pada saat itu bumi juga bergoncang. Bila pernyataan pertama Sang Buddha itu benar, berarti yang kedua itu salah.”
“Kedua pernyataan itu benar, O baginda. Persembahan Vessantara itu tidak disebutkan sebagai penyebab gempa hebat ke sembilan, karena hal itu merupakan suatu kejadian yang amat sangat langka. Seperti halnya sebuah anak sungai kering yang biasanya tidak berair tidak akan disebut sungai, tetapi pada saat-saat hujan yang tak terduga ia menjadi sungai, demikian juga kebesaran hati Vessantara adalah sesuatu yang khas dan luar biasa, dan karenanya dibedakan dari delapan penyebab umum gempa hebat.”
“Pernahkah baginda mendengar di dalam sejarah agama kita, tentang suatu tindakan pengabdian yang berbuah pada kehidupan sekarang ini juga?”
“Ya, Yang Mulia Nagasena, ada tujuh macam kasus semacam itu: Sumana, si pembuat karangan bunga,14 Ekasataka sang Brahmana,15 dan Punna si pekerja ladang,16 Mallika sang ratu,17 ratu yang dikenal sebagai ibu dari Gopala,18 Suppiya wanita yang penuh pengabdian,19 dan Punna si budak wanita.” 20
“Tetapi sudah pernahkah baginda mendengar bahwa tanah ini bergetar sekali atau dua kali ketika suatu persembahan diberikan?”
“Belum, Yang Mulia, aku belum pernah mendengar hal seperti itu.”
“Demikian juga saya, O baginda, meskipun saya telah dengan sungguh-sungguh belajar dan siap untuk belajar, kecuali pada saat persembahan luar biasa yang dilakukan oleh Vessantara. Bukan hanya karena usaha yang biasa saja bumi besar ini dapat bergetar, O baginda. Hanya ketika bumi terbebani oleh kekuatan kebajikan, tidak kuat menahan kekuatan tindakan-tindakan bajik yang terbukti sepenuhnya murni, maka barulah bumi yang luas ini bergoncang dan bergetar, karena tak sanggup menahan beban kekuatan itu. Dan ketika Vessantara memberikan persembahannya, O baginda, dia memberikan segala sesuatunya bukan demi tumimbal lahir yang mulia, bukan demi kekayaan di masa mendatang, bukan demi mengharap imbalan hadiah, dan bukan demi pujian atau keuntungan pribadi lainnya. Hanya demi kebijaksanaan tertinggi maka dia memberikan semuanya itu.”
5. Pernyataan Kebenaran
“Raja Sivi memberikan matanya kepada seorang yang memintanya dan kemudian dia mempunyai mata baru yang muncul sebagai gantinya.21 Bagaimana hal ini mungkin?”
“Karena kekuatan kebenaranlah hal itu terjadi. Seperti halnya ahli kebatinan yang mengucapkan kebenaran dapat membuat hujan turun, mengusir api atau menetralkan racun.
“Ketika Asoka, penguasa yang luhur itu suatu hari berdiri di antara penduduk kota Pataliputta, beliau berkata kepada menterinya: ‘Adakah orang yang dapat membuat sungai Gangga ini mengalir balik arah dan melawan arus?’ Kemudian seorang pelacur yang bernama Bindumati, yang ada di antara kerumunan itu, mempertunjukkan suatu tindakan kebenaran. Pada saat itu juga sungai Gangga yang besar itu bergemuruh dan bergelombang, membalik arah di depan mata semua orang. Lalu Sang Raja yang terperangah mencari wanita yang menyebabkan hal itu terjadi dan bertanya kepadanya ‘Tindakan kebenaran apa yang telah kau lakukan untuk dapat melakukan hal ini?’ Wanita itu menjawab, ‘Siapa pun yang membayar saya, tak peduli apakah dia seorang brahmana, ningrat, pedagang atau pelayan, saya perlakukan mereka semua sama sederajat. Bebas dari kecenderungan saya melayani mereka yang sudah membayar saya. Inilah dasar dari tindakan kebenaran22 yang saya lakukan untuk dapat membalik aliran sungai Gangga.’
“Tidak ada kekuatan biasa yang dapat menyebabkan hal-hal semacam itu terjadi. Kekuatan kebenaran itu sendirilah yang merupakan penyebabnya. Dan tidak ada alasan untuk merealisasikan Empat Kesunyataan Mulia selain dari kekuatan kebenaran itu sendiri.”
“Raja Sivi memberikan matanya kepada seorang yang memintanya dan kemudian dia mempunyai mata baru yang muncul sebagai gantinya.21 Bagaimana hal ini mungkin?”
“Karena kekuatan kebenaranlah hal itu terjadi. Seperti halnya ahli kebatinan yang mengucapkan kebenaran dapat membuat hujan turun, mengusir api atau menetralkan racun.
“Ketika Asoka, penguasa yang luhur itu suatu hari berdiri di antara penduduk kota Pataliputta, beliau berkata kepada menterinya: ‘Adakah orang yang dapat membuat sungai Gangga ini mengalir balik arah dan melawan arus?’ Kemudian seorang pelacur yang bernama Bindumati, yang ada di antara kerumunan itu, mempertunjukkan suatu tindakan kebenaran. Pada saat itu juga sungai Gangga yang besar itu bergemuruh dan bergelombang, membalik arah di depan mata semua orang. Lalu Sang Raja yang terperangah mencari wanita yang menyebabkan hal itu terjadi dan bertanya kepadanya ‘Tindakan kebenaran apa yang telah kau lakukan untuk dapat melakukan hal ini?’ Wanita itu menjawab, ‘Siapa pun yang membayar saya, tak peduli apakah dia seorang brahmana, ningrat, pedagang atau pelayan, saya perlakukan mereka semua sama sederajat. Bebas dari kecenderungan saya melayani mereka yang sudah membayar saya. Inilah dasar dari tindakan kebenaran22 yang saya lakukan untuk dapat membalik aliran sungai Gangga.’
“Tidak ada kekuatan biasa yang dapat menyebabkan hal-hal semacam itu terjadi. Kekuatan kebenaran itu sendirilah yang merupakan penyebabnya. Dan tidak ada alasan untuk merealisasikan Empat Kesunyataan Mulia selain dari kekuatan kebenaran itu sendiri.”
6. Dilema Seputar Kehamilan 23
“Sang Buddha berkata bahwa kehamilan terjadi di rahim dengan adanya tiga penyebab: persetubuhan yang dilakukan orang tua, kesuburan sang ibu, dan seorang makhluk untuk dilahirkan.24 Tetapi Beliau juga berkata bahwa ketika petapa Dukala menyentuh pusar seorang wanita petapa yang bernama Parika dengan ibu jarinya, bayi Sama terkandung.25 Jika pernyataan yang pertama benar, maka pernyataan yang kedua pasti salah.”
“Kedua pernyataan itu benar, O baginda, tetapi baginda jangan berpikir bahwa ada pelanggaran di dalam kasus kedua. Sakka, raja para dewa, setelah melihat terlebih dahulu bahwa para petapa yang luhur tersebut akan menjadi buta, meminta mereka untuk mempunyai anak lelaki. Tetapi kedua petapa itu tidak mau melakukan hubungan seksual sekalipun untuk menyelamatkan jiwa mereka sendiri. Maka Sakka turut campur dengan menyuruh Dukala. Demikianlah Sama terkandung.”
7. Umur Agama
“Setelah pentahbisan para wanita, Sang Buddha berkata bahwa ajaran yang murni itu hanya akan bertahan selama lima ratus tahun.26 Tetapi kepada Subaddha Beliau berkata,
‘Selama para bhikkhu Sangha masih menjalani kehidupan suci yang sempurna maka dunia ini tidak akan kekurangan Arahat.’ Pernyataan-pernyataan ini bertentangan.”
“O, baginda, Sang Buddha memang membuat kedua pernyataan itu, tetapi keduanya berbeda di dalam inti dan arti. Yang satu berhubungan dengan umur ajaran yang murni, sedangkan satunya lagi berhubungan dengan praktek dari kehidupan agama. Dan dua hal ini jelas sangat berbeda. Pada saat berkata tentang lima ratus tahun itu Beliau memberikan batasan kepada agama. Akan tetapi ketika berbicara kepada Subaddha Beliau menyatakan tentang apa yang terkandung di dalam agama. Jika murid-murid Sang Buddha terus berusaha sekuat-kuatnya di dalam lima faktor perjuangan,27 mempunyai keinginan murni untuk tiga latihan,28 menyempurnakan diri mereka di dalam tindakan dan nilai-nilai yang luhur; maka Ajaran Sang Penakluk yang mulia itu akan bertahan lama dan akan semakin kuat dan kokoh dengan berjalannya waktu. Ajaran Sang Buddha, O, baginda, berakar pada praktek. Prakteklah intinya, dan ajaran akan tetap bertahan selama praktek tidak kendur.
Suatu ajaran tetap bisa lenyap karena tiga hal:
1. mundurnya pencapaian pandangan terang menjadi hanya sekadar pemahaman intelektual,
2. mundurnya praktek perilaku yang berhubungan dengan ajaran itu, dan
3. mundurnya bentuk luar ajaran itu.
“Sang Buddha berkata bahwa kehamilan terjadi di rahim dengan adanya tiga penyebab: persetubuhan yang dilakukan orang tua, kesuburan sang ibu, dan seorang makhluk untuk dilahirkan.24 Tetapi Beliau juga berkata bahwa ketika petapa Dukala menyentuh pusar seorang wanita petapa yang bernama Parika dengan ibu jarinya, bayi Sama terkandung.25 Jika pernyataan yang pertama benar, maka pernyataan yang kedua pasti salah.”
“Kedua pernyataan itu benar, O baginda, tetapi baginda jangan berpikir bahwa ada pelanggaran di dalam kasus kedua. Sakka, raja para dewa, setelah melihat terlebih dahulu bahwa para petapa yang luhur tersebut akan menjadi buta, meminta mereka untuk mempunyai anak lelaki. Tetapi kedua petapa itu tidak mau melakukan hubungan seksual sekalipun untuk menyelamatkan jiwa mereka sendiri. Maka Sakka turut campur dengan menyuruh Dukala. Demikianlah Sama terkandung.”
7. Umur Agama
“Setelah pentahbisan para wanita, Sang Buddha berkata bahwa ajaran yang murni itu hanya akan bertahan selama lima ratus tahun.26 Tetapi kepada Subaddha Beliau berkata,
‘Selama para bhikkhu Sangha masih menjalani kehidupan suci yang sempurna maka dunia ini tidak akan kekurangan Arahat.’ Pernyataan-pernyataan ini bertentangan.”
“O, baginda, Sang Buddha memang membuat kedua pernyataan itu, tetapi keduanya berbeda di dalam inti dan arti. Yang satu berhubungan dengan umur ajaran yang murni, sedangkan satunya lagi berhubungan dengan praktek dari kehidupan agama. Dan dua hal ini jelas sangat berbeda. Pada saat berkata tentang lima ratus tahun itu Beliau memberikan batasan kepada agama. Akan tetapi ketika berbicara kepada Subaddha Beliau menyatakan tentang apa yang terkandung di dalam agama. Jika murid-murid Sang Buddha terus berusaha sekuat-kuatnya di dalam lima faktor perjuangan,27 mempunyai keinginan murni untuk tiga latihan,28 menyempurnakan diri mereka di dalam tindakan dan nilai-nilai yang luhur; maka Ajaran Sang Penakluk yang mulia itu akan bertahan lama dan akan semakin kuat dan kokoh dengan berjalannya waktu. Ajaran Sang Buddha, O, baginda, berakar pada praktek. Prakteklah intinya, dan ajaran akan tetap bertahan selama praktek tidak kendur.
Suatu ajaran tetap bisa lenyap karena tiga hal:
1. mundurnya pencapaian pandangan terang menjadi hanya sekadar pemahaman intelektual,
2. mundurnya praktek perilaku yang berhubungan dengan ajaran itu, dan
3. mundurnya bentuk luar ajaran itu.
Bila pemahaman intelektual hilang, maka meskipun orang itu telah
menjalani hidup dengan benar, dia tidak mempunyai pengertian yang jelas
tentang ajaran itu. Dengan mundurnya praktek perilaku, penerapan aturan
Vinaya akan hilang dan hanya bentuk luar agama itu saja yang tertinggal.
Bila bentuk luar itu lenyap maka tradisi itu terputus dan tidak akan
dapat berlanjut.
8. Kemurnian Sang Buddha
“Jika Sang Tathagata telah menghancurkan semua yang tidak baik di dalam diri-Nya saat mencapai kemahatahuan, mengapa Beliau terluka oleh pecahan batu yang dilemparkan oleh Devadatta? Jika Beliau dapat terluka, maka Beliau tidak dapat dikatakan telah terbebas dari segala kejahatan, karena tidak akan ada perasaan tanpa adanya karma. Semua perasaan berakar pada karma dan hanya dengan pengaruh karmalah perasaan timbul.”
“Tidak, baginda, tidak semua perasaan mempunyai akar pada karma. Ada delapan penyebab timbulnya perasaan:
1. angin yang berlebihan;
2. cairan empedu yang berlebihan;
3. lendir yang berlebihan;
4. campuran dari tiga cairan tubuh;
5. variasi temperatur;
6. stress lingkungan;
7. pengaruh luar;
8. karma.
“Jika Sang Tathagata telah menghancurkan semua yang tidak baik di dalam diri-Nya saat mencapai kemahatahuan, mengapa Beliau terluka oleh pecahan batu yang dilemparkan oleh Devadatta? Jika Beliau dapat terluka, maka Beliau tidak dapat dikatakan telah terbebas dari segala kejahatan, karena tidak akan ada perasaan tanpa adanya karma. Semua perasaan berakar pada karma dan hanya dengan pengaruh karmalah perasaan timbul.”
“Tidak, baginda, tidak semua perasaan mempunyai akar pada karma. Ada delapan penyebab timbulnya perasaan:
1. angin yang berlebihan;
2. cairan empedu yang berlebihan;
3. lendir yang berlebihan;
4. campuran dari tiga cairan tubuh;
5. variasi temperatur;
6. stress lingkungan;
7. pengaruh luar;
8. karma.
Siapa pun yang berkata, ‘Hanya karma yang mengatur makhluk’, berarti
dia tidak mengikutsertakan tujuh penyebab lainnya. Dan pernyataannya itu
salah.
“Bila unsur angin di dalam diri seseorang terganggu, gangguan itu dapat terjadi karena salah satu dari sepuluh penyebab:
1. karena dingin;
2. karena panas;
3. karena lapar;
4. karena hawa;
5. karena terlalu banyak makan;
6. karena berdiri terlalu lama;
7. karena pengerahan tenaga yang berlebihan;
8. karena berlari;
9. karena pengobatan medis; atau
10. karena akibat dari karma.
“Bila unsur angin di dalam diri seseorang terganggu, gangguan itu dapat terjadi karena salah satu dari sepuluh penyebab:
1. karena dingin;
2. karena panas;
3. karena lapar;
4. karena hawa;
5. karena terlalu banyak makan;
6. karena berdiri terlalu lama;
7. karena pengerahan tenaga yang berlebihan;
8. karena berlari;
9. karena pengobatan medis; atau
10. karena akibat dari karma.
Empedu dapat terganggu karena tiga hal: karena dingin; karena panas;
atau karena makanan yang tidak tepat. Lendir dapat terganggu karena tiga
hal: karena dingin; karena panas; atau karena makan dan minum. Bila
ketiga cairan yang terganggu itu bercampur, terjadi rasa sakit
tersendiri. Kemudian ada rasa sakit yang timbul dari variasi temperatur,
stress lingkungan, dan pengaruh-pengaruh luar. Dan ada juga rasa sakit
yang disebabkan oleh karma.
Jadi rasa sakit yang disebabkan oleh karma jauh lebih sedikit dibandingkan dengan rasa sakit yang ditimbulkan oleh penyebab-penyebab lainnya. Orang yang salah pandangan sudah keterlaluan bila mengatakan bahwa segala sesuatu yang dialami itu terjadi sebagai buah dari karma. Tanpa pandangan terang dari seorang Buddha, tidak ada yang dapat menentukan jangkauan dari jalannya karma. Dan ketika kaki Sang Buddha terluka oleh pecahan batu, rasa sakitnya berasal dari pengaruh luar. Tetapi meskipun Sang Buddha tidak pernah menderita rasa sakit yang disebabkan oleh karma Beliau sendiri, atau karena stress lingkungan, Beliau tetap menderita rasa sakit yang disebabkan oleh salah satu dari enam penyebab rasa sakit yang lain.29 Dan, O baginda, seperti yang dikatakan oleh Sang Buddha, “Sivaka, ada beberapa rasa sakit yang timbul di dunia ini, karena humor yang menyakitkan. Dan engkau harus tahu apa humor itu karena hal itu hanya merupakan pengetahuan biasa saja. Para petapa dan Brahmana yang berpendapat dan menyatakan pandangan bahwa semua perasaan yang dialami itu disebabkan oleh tindakan yang lalu, mereka sudah melewati batas kepastian dan pengetahuan, dan karenanya Aku katakan bahwa mereka salah.”30
Jadi rasa sakit yang disebabkan oleh karma jauh lebih sedikit dibandingkan dengan rasa sakit yang ditimbulkan oleh penyebab-penyebab lainnya. Orang yang salah pandangan sudah keterlaluan bila mengatakan bahwa segala sesuatu yang dialami itu terjadi sebagai buah dari karma. Tanpa pandangan terang dari seorang Buddha, tidak ada yang dapat menentukan jangkauan dari jalannya karma. Dan ketika kaki Sang Buddha terluka oleh pecahan batu, rasa sakitnya berasal dari pengaruh luar. Tetapi meskipun Sang Buddha tidak pernah menderita rasa sakit yang disebabkan oleh karma Beliau sendiri, atau karena stress lingkungan, Beliau tetap menderita rasa sakit yang disebabkan oleh salah satu dari enam penyebab rasa sakit yang lain.29 Dan, O baginda, seperti yang dikatakan oleh Sang Buddha, “Sivaka, ada beberapa rasa sakit yang timbul di dunia ini, karena humor yang menyakitkan. Dan engkau harus tahu apa humor itu karena hal itu hanya merupakan pengetahuan biasa saja. Para petapa dan Brahmana yang berpendapat dan menyatakan pandangan bahwa semua perasaan yang dialami itu disebabkan oleh tindakan yang lalu, mereka sudah melewati batas kepastian dan pengetahuan, dan karenanya Aku katakan bahwa mereka salah.”30
9. Kesempurnaan Sang Buddha
“Jika Sang Tathagata telah mencapai segalanya di bawah pohon bodhi, mengapa Beliau menghabiskan waktu tiga bulan lagi di dalam kesendirian?”31
“O, baginda, meditasi kesendirian mempunyai banyak manfaat. Semua Tathagata mencapai kebuddhaan lewat cara itu dan kemudian mengajarkan hal itu demi manfaat umat manusia. Ada dua puluh delapan manfaat praktek kesendirian:32
1. meditasi itu melindungi seseorang;
2. memperpanjang usia kehidupannya;
3. memberikan semangat;
4. mengikis kelemahannya;
5. menghilangkan segala reputasi yang buruk, dan
6. membawa kemasyhuran;
7. menghancurkan ketidakpuasan, dan
8. menumbuhkan kepuasan;
9. menghapuskan ketakutan, dan
10. memberikan keyakinan;
11. menghilangkan kemalasan, dan
12. memenuhinya dengan semangat;
13. mengusir nafsu,
14. mengusir niat jahat, dan
15. mengusir pandangan salah;
16. melemahkan kesombongan;
17. menghalau keraguan, dan
18. membuat pikiran terpusat;
19. melembutkan pikiran, dan
20. membuatnya ringan hati;
21. membuatnya serius;
22. membawa banyak keuntungan;
23. membuatnya patut dihormati;
24. memberikan sukacita;
25. mengisinya dengan kegembiraan;
26. menunjukkan kepadanya sifat sejati semua bentukan;
27. mengakhiri kelahiran kembali; dan
28. memberikan kepadanya semua buah dari kehidupan meninggalkan duniawi.
“Jika Sang Tathagata telah mencapai segalanya di bawah pohon bodhi, mengapa Beliau menghabiskan waktu tiga bulan lagi di dalam kesendirian?”31
“O, baginda, meditasi kesendirian mempunyai banyak manfaat. Semua Tathagata mencapai kebuddhaan lewat cara itu dan kemudian mengajarkan hal itu demi manfaat umat manusia. Ada dua puluh delapan manfaat praktek kesendirian:32
1. meditasi itu melindungi seseorang;
2. memperpanjang usia kehidupannya;
3. memberikan semangat;
4. mengikis kelemahannya;
5. menghilangkan segala reputasi yang buruk, dan
6. membawa kemasyhuran;
7. menghancurkan ketidakpuasan, dan
8. menumbuhkan kepuasan;
9. menghapuskan ketakutan, dan
10. memberikan keyakinan;
11. menghilangkan kemalasan, dan
12. memenuhinya dengan semangat;
13. mengusir nafsu,
14. mengusir niat jahat, dan
15. mengusir pandangan salah;
16. melemahkan kesombongan;
17. menghalau keraguan, dan
18. membuat pikiran terpusat;
19. melembutkan pikiran, dan
20. membuatnya ringan hati;
21. membuatnya serius;
22. membawa banyak keuntungan;
23. membuatnya patut dihormati;
24. memberikan sukacita;
25. mengisinya dengan kegembiraan;
26. menunjukkan kepadanya sifat sejati semua bentukan;
27. mengakhiri kelahiran kembali; dan
28. memberikan kepadanya semua buah dari kehidupan meninggalkan duniawi.
Karena Sang Tathagata mengetahui berbagai keuntungan ini maka Beliau menjalankan praktek kesendirian.
“Dan seluruhnya ada empat alasan mengapa Para Tathagata membaktikan diri pada praktek kesendirian:
1. agar dapat berdiam di dalam ketenangan;
2. karena sifat kesendirian yang sama sekali tak tercela;
3. karena kesendirian merupakan jalan bagi semua yang luhur tanpa kecuali; dan
4. karena hal itu dipuji dan dimuliakan oleh semua Buddha.
“Dan seluruhnya ada empat alasan mengapa Para Tathagata membaktikan diri pada praktek kesendirian:
1. agar dapat berdiam di dalam ketenangan;
2. karena sifat kesendirian yang sama sekali tak tercela;
3. karena kesendirian merupakan jalan bagi semua yang luhur tanpa kecuali; dan
4. karena hal itu dipuji dan dimuliakan oleh semua Buddha.
Bukan karena masih ada yang harus dicapai oleh Para Buddha itu, dan
bukan pula karena masih ada sesuatu yang perlu ditambahkan pada apa yang
telah Mereka capai, melainkan hanya karena manfaat-manfaat yang luar
biasa itulah maka Para Buddha mempraktekkan kesendirian.”
10. Keseimbangan Sang Buddha
“Sang Buddha berkata bahwa jika diinginkan, Beliau dapat hidup sampai kalpa33 itu habis. Tetapi Beliau juga mengatakan akan meninggal tiga bulan kemudian.34 Bagaimana kedua pernyataan ini dapat benar semuanya?”
“Kalpa, O, baginda, dalam hal ini adalah jangka waktu lamanya kehidupan seseorang. Dan apa yang dikatakan oleh Sang Buddha adalah untuk menunjukkan hebatnya kekuatan kesaktian. Sang Buddha sudah terbebas sepenuhnya dari keinginan akan bentuk kehidupan mendatang apa pun. Beliau bahkan mencelanya dan berkata, ‘Aku tidak menemukan keindahan sama sekali di dalam bagian terkecil pun dari kehidupan mendatang, sama halnya bahwa bagian terkecil dari kotoran pun tetaplah berbau busuk.’35
“Sang Buddha berkata bahwa jika diinginkan, Beliau dapat hidup sampai kalpa33 itu habis. Tetapi Beliau juga mengatakan akan meninggal tiga bulan kemudian.34 Bagaimana kedua pernyataan ini dapat benar semuanya?”
“Kalpa, O, baginda, dalam hal ini adalah jangka waktu lamanya kehidupan seseorang. Dan apa yang dikatakan oleh Sang Buddha adalah untuk menunjukkan hebatnya kekuatan kesaktian. Sang Buddha sudah terbebas sepenuhnya dari keinginan akan bentuk kehidupan mendatang apa pun. Beliau bahkan mencelanya dan berkata, ‘Aku tidak menemukan keindahan sama sekali di dalam bagian terkecil pun dari kehidupan mendatang, sama halnya bahwa bagian terkecil dari kotoran pun tetaplah berbau busuk.’35
Tidak ada komentar:
Posting Komentar